-09-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sedari tadi Mia menatap datar gadis bergaun selutut di hadapannya, tetapi sebenarnya dari dalam hati sangat mengkhawatirkan Anila. Dia tidak pernah tenang jika melihat gadis itu menangis karena jika hal itu terjadi berarti tangisan Anila bersinggungan dengan masa lalu. Sebagai manusia yang pernah berada diposisi serupa dia turut merasakan sakit. Dia jadi teringat kejadian saat SMA, awal mula pertemanannya dengan Anila dan Dikta terjalin karena kedua orang itu menolongnya dari tindakan perundungan.

"Jangan nangis, Nil. Lo tau, kan, kalau gue dan Dikta paling gak suka liat lo nangis," ujar Mia seraya bersidekap dada.

Anila tidak menjawab. Dia sibuk menyesap perih dari luka lama. Ya, seharusnya tak begitu perih, tetapi luka tetaplah luka. Kalau tergores kembali rasanya tak pernah baik-baik saja, ada perih yang tertangguh dan sewaktu-waktu mengeluarkan darah. Dia menangis bukan karena malu, melainkan ucapan menusuk yang diterima dari Jendra beberapa menit lalu cukup menorehkan pedih, sebut saja dia terlalu baper. Dia tidak pernah sembuh dari perundungan semasa SD, di mana teman-teman sekelasnya tak pernah bersikap manis padanya, selalu menusuk dari arah mana saja.

Ucapan dan tindakan peruntuh mentalnya kala itu sebenarnya memberi kekuatan agar bisa lebih kuat lagi, itulah harapannya, tetapi dia tidak mampu menahan setiap gejolak pedih. Kepalan tangan dan tetesan air matanya menandakan bahwa dia pernah mencoba menjadi kuat, tetapi mereka selalu meremehkan dan memukulnya mundur, masuk ke dalam jurang tergelap yang pernah ada. Namun, semua berubah cerah ketika menginjak bangku SMP, dia bertemu Jendra dan mengubah kisah hidup kelamnya.

Mia menyenderkan dagu pada meja beton di hadapannya, menatap pohon-pohon cemara di depan gedung Fakultas Hukum. "Gue sayang sama lo, Nil. Jangan nangis, gue tau lo terluka, gak papa nangis, tapi jangan kelamaan."

Gadis itu berhenti menangis dan menyisakan isakan. "Gue bego banget nangis gara-gara hal sepele doang."

"Itu bukan hal sepele. Lo itu keren, cewek paling pemberani yang pernah gue kenal. Lo berani lawan trauma lo dengan bantu mereka yang tertindas. Zaman sekarang kebanyakan orang cuman nyebar rasa kasihan mereka di media sosial saat lihat pembulian, tapi lo beda. Lo malah berani nantang mereka," papar gadis berkaca mata itu sembari merangkul sahabatnya.

Tanpa bisa dicegah, Anila sigap memeluk Mia, sangat erat. "Makasih karena selalu dukung gue. Jangan lupa kirim SMS ke nomor di bawah ini, ya," kekehnya di akhir kalimat hingga membuat Mia terbahak.

Sekelompok mahasiswa yang tak jauh dari tempat mereka berdua, saling tatap dalam ketidak mengertian. Beberapa menit lalu mereka sempat melihat Anila menangis, lalu detik berikutnya tertawa, tawa yang cukup menganggu ketenangan mereka. Namun, kedua gadis itu tak peduli dan memilih menjauh dari sana dengan wajah semringah.

"Eh, eh. Dari tadi Dikta nanyain kita berdua," ucap Mia sambil tetap berjalan.

Mereka memilih berjalan di belakang gedung menuju kantin. Jalan yang mereka tapaki sangat sepi dan tempat pohon-pohon besar tumbuh hingga matahari hanya bisa menembus daun-daun di atas sana. Meskipun rada-rada seram, keduanya terlihat santai saja. Mereka malah cekikikan sambil membalas pesan dari Dikta. Kedua gadis itu berniat mengikuti perkuliahan kedua hari ini tanpa menghadiri kelas pertama.

Awalnya, Mia bersikukuh agar Anila tidak membolos. Namun, kondisi sahabatnya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, dan memaksakan bukanlah hal baik maka dia mengizinkannya saja, dia pun terpaksa tidak ikut menghadiri kelas. Dia tahu betul perannya sebagai sahabat sedang diperlukan saat ini. Walaupun sebenarnya tidak pernah setuju jika Anila membolos karena menjalankan misi, tetapi dia telah berjanji agar selalu mendukung Anila untuk menaklukkan hati Jendra.

"Ya', gue gak nyaman banget pakai baju kayak ginian," keluh Anila seraya menguncir rambut menggunakan karet hitam yang selalu disimpan di pergelangan tangan.

Cewek yang menggunakan rok hitam dengan panjang sebetis itu berkacak pinggang sembari melayangkan tatapan jengah. "Siapa suruh dipakai. Maksudnya apa coba pakai dress kayak gitu?" Wajah sendu dan menenangkan milik Mia tiba-tiba berubah menjadi judes jika dalam mode galak, tetapi tetap terlihat kalem.

Cewek bergaun biru malam itu menyengir. "Biar Kak Jendra bisa terpesona, eh, tau-taunya malah hati gue keseleo, sakit banget karena ucapan dia setajam silet. Gue emang sensitif banget jadi orang."

"Ya, lo emang sensitif banget kayak pantat bayi," hardik Mia.

"Ck, kalau ngomong gak usah bener-bener banget kali," kesal Anila, lalu kembali berderap.

Baru melangkah beberapa kali mereka tiba-tiba mendengar benatakan di sekitarnya. Beberapa detik keduanya saling beradu pandang, sama-sama mengeluarkan tanya dari dalam hati.

"Tugas kayak gini aja lo gak bisa? Sia-sia gue pinjamin lo uang buat kuliah!" Suara itu terdengar keras saat Anila dan Mia semakin mendekati salah satu pohon mangga di depan sana. Sigap, Anila berlari mendekati dua cewek itu. Namun, Mia langsung menahan pergelangan tangan sahabatnya.

"Jangan," larang Mia.

"Lo udah janji buat dukung gue." Anila pun melepas cekalan tangan Mia.

Akan tetapi, langkah Anila terhenti kala melihat Magnolia serta objek perundungannya kali ini. Dia menganga tak percaya, begitu pula Mia, sama-sama menampakkan raut terkejut. Bagaimana tidak, korbannya kali ini adalah Bintang Adiyaksa, seorang gadis terkenal cuek dan tegas kala berbicara di depan umum, tetapi melihatnya menangis dan mengemis di tangan Magnolia seketika meruntuhkan wajah dingin gadis itu.

"Bi-bintang ...." lirih keduanya, lagi-lagi sambil melempar tatapan tidak percaya.

Magnolia berjongkok di hadapan Bintang dan meraih dagu gadis itu hingga menimbulkan ringisan. "Lo mau gue berhenti berbaik hati? Cih, kerjain tugas gue aja sesulit itu? Harusnya lo bisa berhubung otak lo encer, belum lagi tugas yang gue kasih cuman satu, beruntung karena semua tugas gue gak gue kasihin ke lo."

Dari jarakya berdiri Anila menyaksikan kepalan tangan Bintang mengerat, terlihat jelas wajah merah padam gadis itu. Dia tahu Bintang ingin melawan, tetapi tak dapat dilakukannya entah karena apa. Sudah gerah dengan tindakan semena-mena Magnolia, dia sigap menghampiri gadis Fakultas Kedokteran itu sebelum sempat menyiram laptop Bintang dengan air mineral.

"Berhenti!" jerit Anila hingga membuat Bintang terkejut.

✖️
12/06/2021

Revision: 07/06/2023

.
Ikan Nila siap berperang🔥. Tungguin kelanjutannya besok✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro