-14-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deru mesin motor menggema di lorong-lorong telinga seorang gadis yang kini setengah mati menahan senyum. Mata bulatnya mengerjap berulang kali melihat punggung cowok berbalut jaket parasut hitam. Dia masih tidak percaya bisa berboncengan dengan seorang Jendra, sang pacar.

Anila menggigit bibir kuat-kuat, menahan agar tidak berteriak. Namun, dia malah memukul pundak Jendra hingga membuat cowok itu terkejut dan menyebabkan motor yang dikendarai sedikit oleng.

"Lo gila?" bentak sang senior. Mood-nya sudah hancur beberapa hari lalu, dan kini semakin hancur saat harus menyatakan perasaan tak berdasar cinta kepada seorang gadis yang sungguh menyebalkan baginya.

Anila tertawa renyah. "Maaf, Kak. Reaksi kesenangan gue emang berlebihan banget, heheh."

Cowok itu mendengkus. Salahkan perjodohan konyol berkat kebodohan orang yang dulu sangat Jendra banggakan, kini malah memporak-porandakan hidupnya. Hari ini dia akan menginjakkan kaki di rumah setelah kabur selama tiga hari. Dia tahu adik tirinya mencari keberadaannya dari Adnan dan Darash.

Selama pelariannya dia memilih menetap di rumah sewaan Adnan, selama itu juga kampus tak pernah dia jamah guna menghilangkan jejak dan untuk menenangkan pikirannya. Ponsel pun tak pernah dinyalakan. Jendra menghela napas panjang, membuang beban pikiran yang seakan menambah penuaan di wajah.

"Mungkin lo bisa bawa pacar bohongan, kenalin ke bokap-nyokap lo."

Saran Adnan memang tidak menunjukkan hilal keberhasilan untuk mencegah perjodohan itu, tetapi patut dicoba. Sialnya, mengapa dia malah memilih Anila sebagai misi pembatalan rencana konyol papanya?

Jendra memukul spidometer saat lampu lalu lintas menampilkan warna merah. Berulang kali melakukan hal serupa tanpa memedulikan atensi pengendara lain terarah padanya. Anila mengerjap bingung, dia bisa melihat jelas tindakan sang senior.

"Kak, lo waras, kan?"

Pertanyaan Anila tak Jendra gubris. Cowok bercelana jins hitam itu melajukan motor dengan kecepatan penuh tanpa memedulikan lampu di atas sana belum menunjukkan hijau. Anila yang tidak siap sama sekali sampai-sampai sedikit terjengkang.

Tanpa memprediksikan keadaan emosi Jendra, gadis itu meninju punggung sang pengendara motor. Dia terlampau kesal menerima kejutan tadi.

"Jangan cari gara-gara sama gue kalau lo mau selamat," ancam Jendra sebelum Anila sempat melayangkan protes.

Walaupun sempat gentar tetap saja detik berikutnya gadis itu malah menatap seniornya dengan tatapan tajam, berusaha memperlihatkan diri di kaca spion.

"Lo pikir gue takut! Kalau gue mati lo juga mati!" teriaknya, takut suaranya teredam angin. Dia sudah terlampau jengkel.

Jendra terlalu kencang mengendarai kendaraan beroda dua ini. Anila sampai harus berpegangan kuat pada besi dibagian belakang motor. Jantungnya sudah berdangdut ria di dalam sana.

"Gue emang pengen mati!" Jendra balas berteriak, membuat penumpangnya terkejut bukan main. Namun, bukan teriakan Jendra yang menjadi penyebab keterkejutan Anila, melainkan pernyataan cowok itu.

"Heh! Turunin gue sekarang atau gue hubungin polisi sekarang juga!" Ancaman Anila jauh lebih menakutkan, tidak peduli cara bicaranya telah berubah.

Mau tidak mau Jendra akhirnya menurunkan gas motor menjadi laju normal. Dia sempat lupa kalau kini Anila bisa bersama dirinya karena sebuah misi. Tidak seharusnya dia mengedepankan emosi untuk saat ini. Untuk memenangkan sebuah pertarungan, dia harus tetap waras.

"Gitu, dong. Gue heran sama cowok-cowok yang suka pakai gas tinggi kalau ngendarain motor. Emang segitu pengennya kalian mati muda?" Anila berdecak jengkel. Dia pernah berkata seperti itu saat berboncengan dengan Dikta.

Bukan hanya seorang atau dua orang bertindak ugal-ugalan di jalan, melainkan tak terhitung. Kalau mereka tidak ingin selamat di jalan, setidaknya jangan mencelakakan orang lain!

"Apa bagusnya coba ugal-ugalan? Biar keren?"

"Bisa lo diam?" Jendra memijat pangkal hidungnya, sedang tidak ingin mendengar celotehan apa pun sampai urusannya selesai.

"Gue pacar lo sekarang. Jadi, biarin gue perhatian sama lo. Bahkan sebelum pacaran pun gue tetap perhatian," jelas gadis itu, menyombongkan diri.

Setidaknya sampai misi kabur selesai, Ndra. Jangan emosi dulu. Jendra menaikturunkan napas, berusaha mengontrol emosinya agar tidak dimuntahkan lagi. Masih banyak yang perlu dibenahi. Mulai dari perjodohan konyol sampai penjelasan yang akan dia berikan nanti untuk Anila.

Setelah perjalanan yang mendebarkan dan cukup menjengkelkan, mereka akhirnya tiba. Anila menautkan alis saat berdiri di depan rumah bernuansa oranye. Rumah bertingkat dua yang terlihat sederhana ini memiliki halaman yang terawat. Terdapat pohon mangga di ujung pagar bagian dalam. Di bawahnya ada tempat duduk panjang terbuat dari besi.

Gadis itu meninggalkan Jendra yang tengah sibuk menata hati. Anila menyusuri pinggiran tembok. Terdapat berbagai macam bunga dengan aneka warna yang memikat mata. Dia sangat menyukai bunga, baginya bunga adalah obat dari kegundahan yang tengah melanda.

Perlahan, dia berjongkok, meraih bunga berwarna ungu tua bergradasi ungu muda yang terjatuh dari batangnya. Bunga digenggamnya tak layu, mungkin terjatuh karena siraman air. Dengan senyum semringah dia mendekati Jendra dan menyodorkan bunga itu.

"Kak, apa pun yang buat lo gak karuan sekarang, coba lihat bunga ini. Warnanya kalem banget, semoga lo bisa kalem juga seperti bunga ini yang jatuh dari batangnya tanpa layu." Anila tak menatap Jendra, melainkan bunga hasil pungutannya.

Andaikan gadis itu melihat Jendra sekarang, dia yakin Anila sudah mengeluarkan ponsel dan merekam momen langka di hadapannya. Jendra tengah tersenyum seraya mengamati raut bahagia gadis di depannya. Dia akui meskipun Anila menjengkelkan, dia tetap bisa menemukan sisi menggemaskan dari juniornya itu.

Sebelum Anila sadar dia tengah tersenyum, dia meraih tangan gadis itu dan menyeretnya masuk ke dalam rumah, tidak peduli keterkejutan si gadis, yang terpenting sekarang dia berdiri di hadapan sang papa dan menjelaskan bahwa Anila adalah pacarnya.

"Kak, tunggu dulu. Ada apa, sih? Dari tadi gue ngikutin lo mulu sampai sini tanpa penjelasan apa-apa. Lo ngajak gue juga pacaran tiba-tiba? Kenapa, sih?" Ya, Anila memang tidak bertanya macam-macam saking senangnya. Barulah dia tersadar setelah Jendra menyeretnya memasuki rumah.

"Nanti lo bakalan tau. Gue perlu bantuan lo sekarang," lirih Jendra dan kembali membuat gadis itu penasaran setengah mati.

"Jendra." Suara berat seorang laki-laki di ruang tamu membuat Anila terlonjak.

Kini dia mulai menduga-duga bahwa pria itu adalah papanya Jendra, terlihat jelas kemiripan wajah keduanya. Dari dalam, muncul seorang wanita paruh baya berdaster abu-abu dengan secangkir kopi di tangan. Meksipun mengenakan daster, penampilan wanita itu begitu anggun dan sangat enak dipandang mata.

"Jendra, akhirnya kamu pulang, Nak," sambut wanita itu, tetapi tak digubris oleh Jendra.

Anila merasakan tangannya semakin digenggam erat oleh cowok itu. Rasa penasarannya semakin meninggi saat melihat tatapan tajam dari Jendra dan pria paruh baya di hadapannya.

"Papa gak punya alasan apa pun buat jodohin Jendra. Dia pacar Jendra dan sampai kapan pun gak bakalan pernah lepasin dia. Jadi, daripada capek-capek jodohin saya, mending jodohin anak tiri Anda."

Anak tiri? Anila sama sekali tidak menyangka.

"Jendra! Jaga ucapan kamu. Papa tidak akan jodohkan Dikta!" Teriakan Galih menggema mengisi ruangan.

Dikta! Tidak mungkin. Banyak Dikta di dunia ini. Dikta tidak pernah mengatakan punya saudara tiri. Ya, Anila mengangguk yakin, pasti bukan Dikta sahabatnya.

"Kenapa tidak? Dia udah cukup umur. Kalau Anda tetap maksa, saya akan pergi selama-lamanya dari rumah ini, dan tidak usah cari saya." Jendra dengan lantang menyeruakkan isi kepalanya, dia tidak peduli kemarahan Galih akan semakin menjadi-jadi nantinya.

Galih mengepalkan tangan. "Putuskan pacar kamu sekarang juga atau dia akan celaka!" cekal Galih. Dia tidak main-main dengan ucapannya agar sang anak menurut.

Jendra tertawa remeh. "Silakan. Kalau dia celaka, saya akan mati lebih dulu. Permisi." Setelah berujar demikian, dia melangkah keluar rumah, meninggalkan ruang tamu dalam keadaan memanas untuk kedua kalinya. Setidaknya dia sudah menyeruakkan keinginannya dengan Anila di sisi, sebagai pacar bohongan. Akan tetapi, kedepannya akan jauh lebih runyam lagi.

Jendra membuang napas. Kenapa hidupnya jauh lebih kacau sekarang.

"Dikta ...."

Lirihan Anila menyapa telinga. Sementara di dalam sana sang papa sudah berteriak keras menggaungkan namanya. Di depannya kini Dikta berdiri tegang. Dia tahu apa penyebabnya. Ya, karena kehadiran Anila.

"Jelasin ke gue, Ta. Kenapa lo gak pernah ngomong sama gue." Suara Anila merendah dan terdengar sangat kecewa. Sementara Dikta menunduk dalam, tidak menyangka mendapati kehadiran Anila dan Jendra di sini.

Sebelum sempat bersuara, Jendra sudah menarik paksa Anila menjauh dari Dikta. Cowok itu tidak punya banyak waktu sekarang.

"Lepasin gue, Kak. Gue butuh penjelasan!" teriaknya.

"Gue jelasin nanti, gue janji."

✖️
17/06/2022
.

Here we go! Chapter terpanjang.😆 Happy reading, guys. Eh, ada sepatah dua patah gak nih buat Jendra, Anila, dan Dikta?
Komen dibawah, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro