-20-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Riuh suara televisi mengisi apartemen di mana Anila duduk termenung tanpa memperhatikan siaran yang tengah berlangsung dari benda segi empat di hadapannya. Bayangan akan kemarahan sang ayah dan wajah kecewa sang ibu tak pernah lepas dari ingatan. Apa kabar mereka? Apakah amarah itu belum surut?

Gadis itu tertawa sumbang. Tentu saja, mungkin tak ada maaf baginya. Takdir memang tidak dapat ditebak. Tak pernah terpikir hidupnya 'kan seperti ini.

Dia tak marah Tuhan memberi cobaan berat seperti sekarang. Serumit dan sekeruh apa pun yang dia tempuh saat ini pasti ada kisah haru nan indah di belakang sana, Anila yakin itu. Paling tidak sekarang dia bisa tinggal di sini, bersama ayah dari bayi dalam kandungannya.

"Kamu baik-baik, ya." Anila berucap pelan seraya mengelus lembut perut yang masih terlihat datar.

"Jika besar nanti, kamu gak boleh kayak aku. Resikonya besar," lirihnya seraya sedikit tertawa.

Di belakang sana, Jendra mematung. Jantungnya terasa dihantam palu besar kala mendengar penuturan Anila. Sampai kapan pun rasa bersalah tidak akan pernah angkat jejak dari lembar hidupnya. Ingin sekali melihat gadis itu berkumpul bersama sang ibu, seperti yang pernah dia saksikan kala itu.

Anila dan Nintia sangat akrab. Anak dan ibu tersebut begitu kompak. Namun, karena kesalahannya dia malah memisahkan dan menghancurkan keakraban yang ada. Bagaimana mungkin Jendra dapat hidup tenang setelah merusak kebahagiaan orang lain?

"Sekalipun gue bertanggung jawab, tetap aja gue salah, Nil. Maafin gue." Jendra menunduk dalam, tangannya mengepal kuat.

Untuk saat ini cobaan hanya datang dari kehamilan dan pengusiran keluarga sang gadis. Bagaimana jika berita kehamilan Anila menyebar di kampus? Apa yang akan dialami oleh gadis itu?

"Pengen ngampus?"

Teguran Anila menyadarkan Jendra dari berbagai kemungkinan-kemungkinan yang bernarasi di dalam otak. Dia mendongak, menatap Anila yang tengah melihatnya dengan sorot sedih.

"Iya," jawab Jendra.

Cowok berkemeja hitam dibalut celana jins hitam itu mengerutkan kening. Dia memperhatikan penampilannya sendiri, takut ada yang aneh. Akan tetapi, tak ada sama sekali. Dia pun kembali melihat Anila, tak lupa menaikkan kening tanda bertanya.

"Salam sama gedung Fakultas Hukum, ya. Gue rindu nangkring di sana sama teman gue." Air mata tak dapat dibendung lagi. Dia sungguh merindukan kampus beserta tugas-tugas kuliah, makanan di kantin, dan juga tawa kedua sahabatnya.

Apa kabar Mia dan Dikta? Dia sama sekali tak pernah mengaktifkan ponsel. Mungkin keduanya sedang sibuk mencari keberadaannya, atau mungkin tengah sibuk berlatih di ruang sidang bersama yang lain. Anila ingin menjadi hakim suatu saat nanti, tetapi nampaknya harapan tersebut harus dia kubur dalam-dalam.

Jendra tertampar untuk kesekian kali. Ucapan Anila memang terdengar bercanda, tetapi makna lain dari kalimat tersebut kembali menempatkannya sebagai seorang penjahat yang mesti diadili seberat-beratnya.

"Gue ... min---"

"Pengen ngampus, kan? Udah sana!" potong Anila. Dia tidak ingin mendengar maaf lagi. Telinganya sudah bosan, hatinya tak lagi bergetar mendengar kata itu. Meskipun berjuta maaf terhampar di hadapannya, tetap saja kenyataan tak akan berubah, bukan?

Cowok itu mengangguk kecil, tanpa berkata-kata lagi dia segera meninggalkan Anila sendirian. Hatinya kembali hancur. Dia sungguh merusak masa depan seorang gadis.

Baru beberapa detik menutup pintu, dia kembali membukanya. "Jangan ke mana-mana," setelah berucap demikian barulah dia benar-benar pergi.

Anila tersenyum kecut. Jendra laki-laki baik. Kesalahan ini hanya tak sengaja dilakukan olehnya. Lantas, keputusannya untuk tidak terlalu menyalahkan cowok itu tidak salah, bukan?

***

Cuaca di dalam maupun di luar gedung kuliah ternyata tetap saja sama. Hawa panas terus membekap mahasiswa yang berada di gedung Fakultas Hukum, begitu pun dengan Mia dan Dikta. Mereka berdua baru saja menyelesaikan kuliah hari ini dan memutuskan untuk menyambangi kantin terlebih dahulu sebelum kerutinitas berikutnya.

"Nila apa kabar, ya?" celetuk Mia seraya menarik kursi plastik berwarna hijau di depannya.

Dikta tak menjawab. Terakhir bertemu Anila saat gadis itu muncul di kediamannya bersama sang kakak tiri. Anehnya, setelah itu Anila seakan ditelan bumi, tak ada kabar sama sekali. Jendra pun demikian. Apakah ada kejadian yang tak dia ketahui?

"Nanti kita ke rumahnya, gimana?" usul Dikta.

Mia menggeleng. "Gue udah pernah ke sana sebulan lalu, tapi gak ada orang. Mungkin mereka masih di luar kota. Soalnya Anila pernah ngirim pesan gitu, katanya pengen keluar kota sama keluarganya dan gak tau kapan baliknya," jelas gadis berkaca mata itu.

Cowok berjaket parasut hitam itu mengernyit. Mengapa dia tidak tahu?

"Kok dia gak ngabarin gue?"

"Serius? Gue gak bilang-bilang karena gue pikir lo udah tau."

Dikta menggeleng cepat. "Aneh. Ini udah sebulan lewat dan Anila belum balik-balik juga?"

Tak ada yang mampu Mia katakan selain mengiakan dalam hati. Dia percaya Anila berada di luar kota jadi tak pernah mengunjungi rumah gadis itu lagi. Namun, ketidakhadiran Anila yang hampir menginjak dua bulan cukup menciptakan keanehan.

"Lo benar."

"Coba nanti lo ke rumahnya," suruh Dikta dan disanggupi oleh gadis berambut panjang di hadapannya.

"Lo gak pengen ikut?"

"Gue harus ngerjain sesuatu yang mendesak."

"Aelah, apa'an? Sejak kapan lo pengen ngerjain yang mendesak? Biasanya lo ngerjain yang gak penting dan gak mendesak," cibir Mia.

"Serah gue," balas Dikta tak kalah sewot. Sebenarnya dia sedang mencari keberadaan Jendra. Kakaknya itu sangat ahli dalam hal kabur dari rumah. Jendra benar-benar tidak meninggalkan petunjuk apa pun.

Ponsel yang tergeletak di atas meja tiba-tiba menyala. Mia langsung membuka pesan dari grup, dikirim oleh ketua tingkat. Gadis berkacamata itu membelalak begitu membaca informasi di sana.

"Dikta ... Anila cuti kuliah?" tanyanya tak percaya.

Dikta langsung merebut ponsel Mia dan membaca sendiri isi pesan tersebut. Setelah yakin tidak salah baca, dia menyimpan benda pipih itu di meja. Gue yakin ada yang gak beres.

"Kok tiba-tiba Nila cuti? Dia gak bilang sama kita? Kenapa?" Mia mulai menahan tangis. Pikiran-pikiran buruk mulai menggerayangi otak.

"Lo tenang dulu. Kita cari jawabannya sama-sama," hibur Dikta.

***

"Ayah tidak mau tahu, Jendra. Meskipun dia hamil, kamu harus tetap terima perjodohan ini." Galih mengeraskan rahang. Entah harus melakukan apa lagi agar Jendra menurutinya.

Dia sudah sabar, tetapi kesabarannya malah tergilas habis karena kelakuan bejat sang anak. Bagaimana mungkin anak kandungnya berani melakukan hal sekeji itu!

"Dia hamil anak saya! Saya tidak bisa turuti kemauan Ayah!" seru Jendra, tak mau kalah.

Anila sudah terisak, seharusnya sehabis dari kampus tadi untuk meminta cuti, dia kembali saja ke apartemen. Hatinya hancur, dia tidak sanggup mendengar teriakan berulang-ulang kali. Dia juga takut, takut Jendra meninggalkannya. Ternyata kehamilan dirinya tak berarti apa-apa bagi Galih. Jika sudah seperti itu apa yang akan terjadi padanya nanti?

"Itu kesalahan kamu. Ayah tidak peduli, kamu harus tetap dijodohkan!"

Jendra mendecih, kobaran emosi semakin menguasai. Susah payah dia menguatkan diri agar bisa menginjakkan kaki ke rumah ini lagi. Namun, penolakan yang tak Jendra duga justru keluar begitu lancarnya.

"Harusnya seorang ayah menanamkan sikap tanggung jawab kepada anaknya, tapi Ayah memang selalu berbeda. Bagaimana mungkin saya meninggalkan seorang gadis di mana dia sedang mengandung anak saya!"

"Apa!"

Teriakan itu menggema di seluruh sudut ruang tamu. Semua pasang mata beralih ke satu titik. Dikta.

"A-an-Anila hamil?"

***
23/06/2021
.
Semakin panas🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro