-24-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat ide sudah menjadi keputusan, maka niat 'kan memperkuat segalanya. Mungkin kali ini Dikta salah, tetapi dukungan sang ibu tak membuat inginnya pudar. Dia tidak memiliki keinginan membantu Jendra, hanya saja demi Anila dia rela berdiri di hadapan seorang gadis bergaun biru malam, umurnya sepadan dengan kakak tirinya.

Miranda, nama gadis itu. Sangat cocok dengan wajah dan tindakannya yang begitu tenang dan tak membuat mata mudah bosan. Baiklah, anggap saja Jendra memberikan keuntungan untuknya. Kakaknya sempat berbincang dengan Miranda dan cowok itu sama sekali tidak tertarik kepada si gadis, bahkan Jendra terang-terangan mengatakan kesalahannya.

Reaksi Miranda? Cewek itu hanya mengangguk dan tersenyum saat Jendra berlalu. Sekarang Dikta cuma bisa memandang wajah Miranda. Sudah beberapa menit berlalu, tak ada suara yang mau memecah keheningan. Sampai ketika Dikta gemas sendiri dengan kesunyian yang tercipta.

"Ini kedua kali kita ketemu. Pertemuan pertama saat gue ikut bokap ke rumah lo, dan sekarang berdiri di sini sebagai calon tunangan." Dikta membuang napas, gugup. "Maaf, gue harus lakuin ini."

Miranda lagi-lagi tersenyum hingga membuat Dikta kebingungan. "Gak masalah. Aku lebih senang sama kamu, kalau Jendra ... dia kaku. Orang kaku ketemu sama aku yang kaku bisa-bisa gak ada perbincangan sama sekali," kekehnya di akhir kalimat, terdengar terpaksa.

Cowok berusia dua puluh tahun itu menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sepertinya jantungnya sedang tidak normal, organ itu berdetak tak karuan.

Daya tarik yang luar biasa, ringis Dikta dalam hati.

"Lo udah ngerti, kan, kenapa Jendra gak bisa nerima perjodohan ini?"

Sebagai jawaban Miranda hanya mengangguk.

"Apa orang tua lo gak masalah kalau tunangan lo jadinya gue?"

Entah dorongan dari mana yang pasti gadis berusia dua puluh satu tahun itu langsung tertawa. Baginya wajah was-was Dikta sangat betah dipandang mata dan terkesan imut.

"Apa yang aku mau selalu jadi prioritas orang tua aku. Aku maunya kamu, gak papa kalau gak sama Jendra." Jeda sejenak sebelum Miranda kembali berucap. "Kamu mau sama aku karena terpaksa, kan?"

Dikta diam, tampak berpikir sejenak. "Gak juga. Gue rasa kita cocok ... mungkin."

Miranda menunduk seraya tersenyum kecil.
"Mungkin? Kalau kamu gak mau aku bisa bujuk papa buat batalin perjodohan ini."

Mendengar itu membuat Dikta berdiri tegak. Tidak, dia tidak mau perjodohan ini dibatalkan. Bisa-bisa misi yang telah diatur dengan sistem kebut semalam hancur seketika.

"Gak! Gue mau, kok. Ya udah, sekarang kita kembali ke meja makan. Orang tua mungkin pada nungguin kita," ajaknya.

"Gimana sama Jendra? Gimana kalau orang tua kalian gak mau, terkhusus Pak Galih?"

Tidak mungkin seorang Miranda mengabaikan fakta sikap keras kepala Ragalih. Dia tahu sikap calon mertuanya.

Dikta tersenyum manis membuat Miranda salah tingkah. "Bilang aja lo ngusir dia karena lo gak suka. Bilang aja kalau kita berdua udah pacaran dari dulu."

Miranda membulatkan mata, saran tak terduga itu berhasil membuatnya meringis. Bagaimana tidak, orang tuanya akan sulit percaya sebab dia memiliki pergaulan yang sempit. Namun, tak ada salahnya mencoba, bukan? Dia pun mengangguk samar, setidaknya mencari kemungkinan, entah buruk atau baik, ada bagusnya menemukan kemungkinan itu.

Mereka pun segera kembali ke tempat pertemuan keluarga. Sudah terduga bahwa tatapan bingung dari empat kepala yang berada di satu meja makan panjang khusus di sana akan bereaksi demikian. Miranda dan Dikta berjalan beriringan dengan senyum terus merekah tanpa Jendra di tengah-tengah dua remaja itu.

Galih bangkit dari kursi, mulai mencium sesuatu yang tak beres. Setelah kedua remaja tersebut sampai di hadapan meja, akhirnya pria paruh baya itu bertanya.

"Ke mana Jendra?" Nada dingin tidak menyurutkan semangat seorang Dikta, berbeda dengan Miranda, gadis itu tiba-tiba menunduk semakin dalam.

Melihat anak gadisnya sedikit ketakutan, Aira, sang mama, sigap menghampiri. "Ada apa?"

Miranda mendongak, dilihatnya wajah Aira dengan sungguh-sungguh. "Mama sayang sama Miranda, kan? Papa juga?"

Galih dan orang tua Miranda saling pandang. Keadaan seketika menjadi kaku. Berbeda dengan Dikta dan Syahna, keduanya saling melempar senyum kecil.

"Miranda gak mau sama Jendra. Aku maunya sama Dikta, kita berdua udah pacaran semenjak pertemuan pertama di rumah bareng Pak Galih," ucap gadis itu.

Galih menjatuhkan diri di atas kursi, lalu menautkan jari-jarinya. Santoso dan Aira seketika bungkam. Mereka tidak menyangka keinginan seperti itu yang anaknya mau dan sebuah fakta tak terkira cukup membuat ketiganya terkejut. Miranda berdoa dalam hati. Bagaimanapun dia tidak mau dijodohkan dengan Jendra, hanya tidak mau. Lagi pula Dikta juga anak Galih, bukan?

Santoso mamandang lekat wajah puteri semata wayangnya. "Papa gak percaya sama ucapanmu, Miranda. Kenapa kamu menolak Jendra?"

Gadis itu menghela napas. Tentu saja tak akan ada yang percaya mengenai alasannya tadi. "Miranda sebenarnya ... lebih suka sama Dikta daripada Jendra. Itu aja, kok, alasannya. Dikta sesuai sama kriteriaku, Pa," ucapnya seraya berharap-harap cemas.

Santoso tersenyum tipis seraya melempar pandang ke arah Galih. "Saya tidak pernah menolak permintaan Miranda. Kalau Miranda mau sama Dikta, saya akan setuju. Bagaimana dengan Anda, Pak Galih?"

Mendengar itu, Dikta bagaikan mendengar petasan meletus di atas sana, seolah menyambut keberhasilan misi. Galih hanya punya dua pilihan, menolak dan kesempatan menjodohkan Jendra gagal dan terpaksa menjalankan kerja sama perusahaan dalam keadaan canggung, atau menerima dan kerja sama perusahaan tetap berjalan dengan baik.

Galih melihat mata anak tirinya. Cowok itu sedang tersenyum manis. Terdengar helaan napas pasrah hingga membuat Syahna berpaling ke arah sang suami. Sementara itu, Miranda, Dikta, dan Aira kembali duduk ke tempat masing-masing.

"Kalau boleh saya tahu, apa alasan Nak Miranda menolak Jendra?" tanya Galih.

Miranda terkesiap, mengedipkan mata berulang kali. Sedetik kemudian dia meringis. "Entah kenapa Dikta jauh lebih mampu bersama Miranda daripada Jendra. Miranda cuma menebak, tapi mengikuti kata hati tak ada salahnya, kan, Om?" jelasnya sedikit kikuk. "Miranda tau kalau Jendra gak setuju sama perjodohan ini, tapi Dikta mau gantiin posisi kakaknya."

Dikta berusaha menahan tawa, gadis di sebelahnya ini sungguh menarik hatinya.

"Bagaimana dengan Nak Dikta? Tidak masalah sama perjodohan ini? Dan di mana Jendra?" Pertanyaan beruntun diajukan oleh Santoso kepada Dikta.

Cowok berkemeja putih dibalut jas hitam tersebut menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Saya terima aja, Om. Miranda sesuai sama kriteria saya. Soal Jendra ... kakak saya itu sedang mengejar kebahagiaan lainnya sekarang."

***

"Kita perbaiki semuanya. Mulai dari orang tua lo, sampai berita lo yang udah nyebar ke kampus." Jendra berucap sembari menyendokkan bubur untuk Anila.

Ada yang berbeda dari dirinya. Melihat keadaan gadis itu semenyedihkan ini membuat batinnya tersiksa. Lantas, tak ada alasan bagi Jendra untuk meninggalkan Anila sendiri. Mungkin ini yang dinamakan tumbuhnya perasaan. Dimulai dari khawatir sampai ke tahap saling merasakan penderitaan satu sama lain.

Anila tersenyum lemah. "Gak perlu urusin berita yang udah nyebar di kampus, Kak. Berita yang disebarin GDC gak akan hilang dalam sekejap," ucapnya pasrah. "Gue hanya sedih karena gak berhasil runtuhin komunitas itu."

Dia yakin GDC sedang berpesta pora merayakan musibah yang menimpanya. Namun, dia bisa apa dalam kondisi seperti ini? Dia sadar bahwa ada beberapa hal yang tak bisa berjalan sesuai rencana, salah satunya menghancurkan GDC. Entah bagaimana nasib Bintang dan mereka yang menjadi bahan rundungan? Anila hanya bisa berdoa semoga ada jalan bagi mereka untuk menemukan bahagia.

Tak perlu mencari siapa dalang di balik penyebaran berita kehamilannya di kampus. Anila sudah tahu, siapa lagi jika bukan Magnolia. Tindakan gadis itu cukup membuatnya kembali patah berkali-kali. Apa kata teman-teman satu jurusannya?

Hanya saja, dia tidak mau ambil pusing untuk saat ini mengenai perkuliahan. Dia sudah tertinggal jauh dan memilih mengambil cuti. Sekarang Anila hanya ingin menemui orang tuanya, mencoba melunakkan hati yang mungkin tak akan berhasil karena ulahnya.

"Lo kayak gini karena gue. Kalau lo ngorbanin kuliah, gue juga harus ikut."

"Jangan! Kalau lo gak kuliah lo bakalan susah cari kerja. Mau dikasih makan apa anak kita nanti?" ujar Anila hingga membuat Jendra membisu.

Untung saja Mia sudah pulang, jadi Anila tidak malu berucap seperti tadi. Gadis itu menatap Jendra lekat. Cowok di hadapannya ini tidak sepenuhnya bersalah, dia juga menjadi pemantik, bukan?

Manusia tempatnya khilaf, tak ada alasan tidak memaafkan Jendra, apalagi cowok ini tidak sadar melakukan kesalahannya. Anila hanya bisa berharap untuk kehidupan yang lebih baik setelah ini.

"Kalau lo milih gue, gimana sama tunangan lo? Gimana sama Dikta dan bokap lo?"

"Cewek itu lebih milih Dikta, dan Dikta juga mau sama dia. Soal bokap urusan belakangan yang penting sekarang gue bisa sama lo dan akan yakinin orang tua lo biar kita bisa nikah."

"Kapan kita nikah?" Pertanyaan polos itu berhasil membuat Jendra tertawa.

Jendra mendekatkan duduknya di sebelah Anila dan berbisik. "Secepatnya."

***
27/06/2021
Menuju ending 🤭.

Ayo terus baca kisah mereka sampai tamat, yoh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro