Bab 20 ( pengobatan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat rasa sakit makin mendera, senyum orang tersayanglah menjadi obat pereda sakit yang paling mujarab.

~***~

Sesuai pesanan dokter semalam, Hanita kembali datang. Setelah mengantarkan makanan untuk Rea dan Oliveria.

Dia mendapat antrian lebih cepat, saat dia memasuki ruangan dokter. Di sana ada dua orang dokter.

"Silakan duduk Ibu." Dokter Kania mempersilakan Hanita duduk, namanya tertera di name tag yang terjepit di saku jas putihnya.

Hanita duduk dan memperhatikan kedua dokter sedang membahas penyakitnya.

"Begini Ibu, karena penyakit yang Ibu alami bukan lagi keahlihanku. Dokter Kania lah yang akan menangani dan menjelaskannya," kata dokter muda itu.

Kania menatap Hanita sendu. "Sebaiknya penyakit Ibu harus segera jalani pengobatannya dan keluarga Ibu juga harus tahu."

Hanita menatap sedih kertas yang berada dalam genggamnya. Semua gejala yang dia alami selama ini bukanlah sakit biasa yang dialami kaum masyarakat.

Hanita mendengar semua metode pengobatan dan efek samping yang akan dialaminya nanti saat menjalankan pengobatan.

Hanita berkutat dengan pikirannya, masih banyak belum dia lakukan untuk orang-orang yang disayanginya.

Hanita bangkit dan berkata, "Berapa lama aku bisa bertahan dengan menggunakan obat?"

"Obat hanya untuk menahan sementara, tapi tak mengurangi. Kondisi Ibu tak akan bertahan lama."

Hanita menatap Dokter Kania. "Setidaknya biarkan aku menyelesaikan semua keinginanku."

Dokter Kania mengalah. "Baiklah, tiga minggu. Dan tiap tiga hari Ibu harus kemari untuk memeriksa perkembangan penyakit Ibu. "

Segera Hanita menyetujui permintaan itu. Lalu Hanita pulang menyimpan hasil tes darah dan biopsi sumsum tulangnya di lemari baju.

Tempat yang tak bakal ditemukan Manuel ataupun Leony. Segera dia menyiapkan segala hal yang dia perlukan, karena waktunya singkat.

~***~

Dalam kesibukan Hanita, dia tetap melakukan semua anjuran Dokter Kania padanya.

Meminum obat di saat dirinya tinggal sendirian. Pagi saat Leony dan Manuel berangkat. Malam saat memastikan keduanya sudah tertidur.

Seperti pagi ini, setelah memastikan Leony dan Manuel berangkat. Hanita akan masuk ke dapur, menggeser toples yang mengisi gula dan kopi.

Obat Hanita berada di belakang toples itu, tak akan ada yang tahu. Karena Hanita menyembunyikan dengan baik.

Hanita meminum obatnya, duduk sendiri di dapur sebentar. Perlahan rasa mual memenuhi rongga mulutnya. Tanpa menyimpan obatnya, dia berlari ke kamar mandi memuntahkannya.

Di sisi lain, perempatan jalan. Manuel yang sedang berhenti di rambu-rambu lalu lintas, kembali memeriksa dokumennya. Ternyata dia ketinggalan salah satu dokumen penting di meja kerjanya. Memutar balik, dia pulang ke rumah.

"Untung masih pagi, jadi tak macet," gumamnya sambil menyetir ke arah rumah.

Sampai di rumah, dia langsung ke ruang kerjanya. Melihat ke arah dapur sepi tak ada sosok istri tercintanya.

Masuk ke dapur mendapatkan obat berserakan di atas meja dapur. Menoleh ke arah kamar mandi mendengar suara lelah Hanita yang sedang memuntahkan di closet.

"Sayang, kamu kenapa?" Manuel segera mendekat, memijitkan tengkuknya Hanita.

Hanita membersihkan sisa muntahannya dan menggeleng pelan. "Mungkin maag kambuh."

Manuel segera menggendong Hanita ke kamar, membaringkannya di atas tempat tidur. Membawakan air hangat untuk Hanita.

"Mau ke dokter?" Hanita menggeleng lemah.

Membaringkan diri di kasur empuknya dan mengelus tangan Manuel yang sedang memijitkan kepala Hanita dengan perlahan.

"Kamu ke kantor saja, ada rapat pentingkan. Tak bagus terlambat, aku hanya butuh istirahat. Nanti juga enakan. "

"Tapi–"

Perkataan Manuel terpotong Hanita. "Pokoknya kalau nanti tetap tak enak bakal aku cari kamu kok, Sayang."

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Aku cinta kamu." Hanita meneteskan air matanya, segera diusapnya dan mengangguk pelan.

"Aku juga mencintaimu. " bagi Hanita, berpisah dengan kekasih yang telah memenuhi hatinya adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.

'Beri aku waktu untuk membahagiakan mereka berdua, ' doa tulus Hanita.

Akhirnya Manuel berangkat meninggalkan Hanita sendirian, tapi bersamaan dengan itu Zeroun yakin Hanita menyembunyikan sesuatu darinya.

Berjalan menuju dapur, mengambil obat yang ada dan difotonya. Manuel mengirimkan ke temannya, Faiz. Lalu pergi ke kantor dengan rasa khawatir.

~***~

Thory yang mendapat tugas mengikuti kegiatan Hanita harus ekstra hati-hati. Menyelesaikan tugas dan tak diketahui oleh Hanita.

Setelah mendapat semua informasi, Thory kembali pada Manuel. Menyerahkan laporan yang dia dapatkan.

Manuel yang mengkhawatirkan kesehatan Hanita harus melakukan hal ini dengan diam-diam.

Manuel tahu Hanita tak akan kasih tahu sebelum saatnya, jadi Manuel menggunakan caranya mencari tahu.

Apalagi setelah mendapat penjelasan dari Faiz tentang obat yang diminum Hanita setiap harinya.

Manuel tak ingin berpikiran buruk, tapi melihat Hanita yang makin pucat, dan kurus.

Manuel bisa memastikan keadaan Hanita tak baik seperti katanya selalu 'aku baik-baik saja, jangan khawatir. '

Napas Manuel sesak, seperti ratusan jarum menusuk hatinya, kenapa Hanita merahasiakan penyakitnya?

"Thory, kamu urus kantor dulu. Aku pulang!" Thory hanya mengangguk.

Manuel memakai jasnya dan langsung pulang.

~***~

Mobil Manuel yang terparkir sembarangan, langsung pintunya terbuka. Manuel melarikan diri ke dalam.

Manuel masuk ke kamarnya, membuka lemari dengan kasarnya. Mengacak-acak isi lemari.

Ya, dia mencari surat putih yang memiliki cap rumah sakit, itu hasil tes darah Hanita.

Dia ingat hari itu dia sedang mencari dasinya dan menemukannya di bagian rak ini, tapi tak dibukanya sama sekali. Dan itu sudah seminggu yang lalu.

Dengan tangan gemetar Manuel memegang surat putih itu. Perlahan membukanya, membaca baris per baris. Air matanya menetes, kakinya goyah.

Manuel mundur beberapa langkah hingga di sisi ranjang, dia terduduk di sana. Menutup mukanya dengan telapak tangannya yang besar. Kertas tersebut diremasnya hingga kusut.

Hanita yang berada di ruang kerjanya, mendengar suara yang berisik dari kamarnya.

Dia beranjak ke sana, membuka pintu kamar mendapatkan Manuel dengan rambut acak-acakan.

Hanita menajamkan penglihatan pada gumpalan yang berada di tangan Manuel, dia membungkam mulutnya dengan punggung tangannya. Menahan supaya isak tangisnya tak didengar Manuel.

Manuel menoleh, mata merahnya menatap Hanita sedih. Berjalan mendekat lalu memeluk Hanita.

Isak tangisnya makin kuat. Manuel merosot ke lantai sambil memeluk kaki Hanita.

Badan besarnya terguncang kuat. "Aku gagal menjagamu, kenapa kamu rahasiakan ini dariku? Aku ini belahan jiwamu … bukan orang lain."

"Aku gagal. Gagal melindungi orang yang kucintai." air mata Hanita tak dapat dibendung lagi.

"Aku gagal menjadi suamimu. Kau menyimpan sakitmu sendirian, melewatinya sendirian. Aku yang tiap malam tidur di sisi bahkan tak tahu kamu sakit."

"Aku gagal …aku gagal." kata yang sama terus terulang seperti kaset rusak.

Hanita menjongkok, lalu memeluk Manuel dan mengelusnya. "Tidak … kamu suami yang baik, Papa yang baik. Jangan salahkan dirimu, Manuel."

Manuel menatap Hanita, Hanita menangkup pipi basah Manuel. "Aku merahasiakannya karena tak ingin kau dan Leony khawatir. Dan aku ingin memberikan suatu hadiah untuk Leony. Bisakah kau merahasiakannya untukku? "

~***~

Seperti jadwal rutin bagi Hanita. Kali ini dia tak lagi sendirian. Sejak Manuel tahu kondisi Hanita, dia selalu berusaha berada di sisinya, kecuali rapat. Dia baru akan meninggalkannya sendirian.

Jawaban yang sama akan dilontarkan Hanita, 'aku tak apa-apa' atau 'aku baik-baik saja'.

Hal itu membuat Manuel, yang enggan melepaskan Hanita sendirian harus merelakan. Dan Manuel, akan segera menyelesaikan masalahnya untuk kembali ke sisi Hanita.

Hanita datang ke rumah sakit, hari ini jadwal dia kontrol dengan Dokter Kania. Setelah menjalankan tes dan sekarang Kania membaca hasilnya.

"Ibu Hanita, aku harap Ibu segera menjalani pengobatan, karena ini akan sangat bahaya. Sewaktu-waktu Ibu bisa kehilangan kesadaran."

Manuel meremas jemari Hanita memohonnya mengikuti saran dokter.

Hanita menghela napasnya. "Baiklah, dua hari lagi aku akan mengikuti semua pengobatannya."

"Bagus, ini resep obatnya diteruskan. Saat menjalani pengobatannya semoga dapat mengurangi sakitnya."

Manuel senang akhirnya Hanita mau mengikuti pengobatannya.

Sepulang dari rumah sakit, Hanita menuju ruang kerjanya. Tersenyum melihat hasilnya yang begitu indahnya.

"Semoga mereka menyukainya, " gumamnya sambil memasuki hasil kerjanya ke dalam kotak.

Ada tiga kotak yang tertera nama mereka di sana. Hanita tinggal menyelesaikan satu lagi, maka keinginannya akan terwujud.

~***~

Leony yang melihat perubahan tubuh mamanya merasa khawatir, tapi Hanita selalu bisa menyakinkan kondisinya baik-baik saja.

Hari ini ada rapat guru, jadi seluruh murid dipulangi, seperti biasa Zeroun akan mengantarkan Leony pulang tanpa diminta.

Mereka langsung masuk ke dapur. Memang semenjak kecelakaan itu, Leony lah yang memasak. Dialah berinisiatif meringankan pekerjaan mamanya yang tampak begitu cepat lelah.

Saat melewati meja makan, Leony menangkap sepasang kaki tergeletak di dekat kulkas.

Napas Leony menjadi berat, tiap tarikan napasnya begitu susah masuk ke paru-paru, jantungnya berdetak tak karuan.

Leony berlari mendekat, terkejut melihat mamanya yang kehilangan kesadarannya terbaring di sana.

Membawa kepala mamanya ke pangkuannya sbil menepuk pelan pipi mamanya. "Mama … Mama, kamu kenapa?"

Zeroun segera menggendong Hanita. "Leony, cepat bawa Tante Ayu ke rumah sakit."

Leony segera bangun dan menyusul Zeroun. Mengunci rumahnya dan berlari mendekati Zeroun yang di depan mobil, membukakan pintu mobil. Membaringkan Hanita di kursi penumpang, Leony memangku kepala mamanya.

Zeroun langsung menyetir menuju rumah sakit yang dekat sekolahan. Leony merongoh sakunya, mengambil telepon genggamnya memberitahukan pada Manuel.

"Papa, Mama pingsan, sekarang aku bawa Mama menuju rumah sakit."

"Apa? Aku akan segera menyusul."

~***~

Leony memperhatikan guru menerangkan pelajaran. Benar, tapi pikirannya menerawang ke mana-mana. Dia memikirkan mamanya yang terlihat semakin tak sehat.

Dia pun mengacungkan tangannya, bukan untuk menjawab soal, melainkan meminta izin pulang dengan alasan mamanya sedang sakit dan ia sangat khawatir. Sebagai anak, ia tak bisa meninggalkan mamanya yang terlihat sakit.

"Bu, saya minta izin pulang. Mama saya sedang sakit."

Guru pelajaran bahasa indonesia pun memandang Leony dengan sendu, dia pun adalah seorang anak, jika orangtua sakit, pasti dia merasa sedih juga. Maka ia pun mengizinkan Leony pulang.

Teman Leony pun titip salam untuk mamanya karena tak bisa menemani. Leony pun pulang, terburu-buru agar segera sampai ke rumah sakit. Namun saat di ruangan kamarnya Hanita, tak menemukan siapa pun.

Leony pun panik, segera menanyakan pada perawat yang kebetulan melewatinya. Namun, tak ada perawat yang tahu. Karena baru pergantian shif kerja. Segera dia menelepon mamanya, tapi tak diangkat meski tersambung.

Leony menelepon papanya, menanyakan jika saja papanya tahu keberadaan mamanya. Dan papanya saat ini sedang menunggui mamanya menjalankan kemoterapi.

Hanita yang sudah mendapat injeksi dan merasakan berjam-jam ngilu luar biasa di sumsum tulang belakangnya. Dia pun mengernyit sambil menahan sakit.

"Leony," gumam Hanita saat melihat Leony datang.

Hanita tersenyum dan meringis bersamaan, menahan sakit yang dirasakannya.

Melihat Hanita menangis merintih sendirian, membuat Manuel melihat wajah isterinya yang sedih tak tega.

Leony berlutut di sisi brankar mamanya, memegangi tangan mamanya dan tersenyum meski dalam derai air mata.

Hanita mengelus rambut Leony dengan lembut. "Leony, kamu tak sekolah?"

Leony menggeleng cepat. "Aku tak bisa fokus, aku khawatir dengan Mama."

"Jangan gitu, kamu harus tetap sekolah. Sama Papa juga harus kerja. Jangan karena Mama semua kerjaan dan kewajiban jadi terbelengkalai." Hanita memberikan nasehat.

"Iya, aku akan menuruti semua kata Mama, asal Mama cepat sehat," pinta Leony.

Sambil mengelus rambut Leony. "Iya, Mama akan selalu ada di sisimu. Sampai kapanpun."

~***~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro