Konflik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Irwan dan Jamet menyantap bubur di kantin seusai PKL. Tak disangka-sangka, mereka sudah dua hari PKL . Ya, PKL ini menguras banyak tenaga, ditambah kasus yang semakin bertambah yang sama sekali mereka belum pecahkan.

"Gue jadi mikir apa kita bisa selesain kasus ini?" Irwan mulai ragu. Kepalanya terasa pusing.

"Gue juga mikir gitu, Wan, " jawab Jamet, kembali mengunyah buburnya.

Seketika Hamdan dan Nuno datang menghampiri keduanya. Bisa jadi mereka sudah selesai mengasdos.

"Kalian baru makan jam segini?" tanya Hamdan, menyelidik.

Irwan mengangguk. "Belum sempat sarapan tadi."

"Gimana? Lo udah mikirin belum misi selanjutnya?" Hamdan menaruh kedua tangan di atas meja, menatap Irwan serius.

"Gue baru nggak bisa mikir, Ndan, " jawab Irwan, menatap Hamdan balik. Pikiran Irwan benar-benar buntu. Dia sama sekali tak bisa berpikir jernih sama sekali.

"Karena lo terlalu lamban mikirin kasus ini, " tegas Hamdan, "Lo itu terlalu santai menurut gue."

Mendengar ucapan Hamdan, Irwan sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menahan amarahnya. Cowok itu hanya tersenyum. "Kita nggak bisa bongkar semua, karena kita nggak punya bukti banyak, Ndan."

Hamdan malah memandang Irwan tajam. "Terus sekarang lo mau apa?" Hamdan menaikkan sebelah alis.

Jamet dan Nuno saling pandang. Ada sedikit rasa tidak terima dalam diri mereka, bagaimana pun Irwan adalah sahabat mereka. Jamet menaikkan dagu, bermaksud memberi kode untuk Nuno supaya Hamdan menghentikan menghakimi Irwan.

"Ndan, lo apaan, sih?" Nuno mengebrak meja lumayan keras. Untung saja suasana kantin sudah sepi.

"Apaan lo bilang? Cuma lo pikir, No, kalau kita lamban nanganin kasus ini, lama-lama kita duluan yang dibunuh sama pelaku itu!" seru Hamdan. Dia benar-benar marah atas misi penyelidikan yang mulai tidak jelas arahnya ke mana.

"Sabar. Semua butuh proses. Daripada lo banyak bicara, mending lo juga mikir caranya gimana?" Kini Jamet yang angkat bicara.

"Proses mulu, kapan selesainya?" Hamdan memutarkan kedua bola mata.

Berdebatan pun mulai terjadi. Lama kelamaan Irwan pusing sendiri mendengar perdebatan ketiga temannya. "Kalau lo udah nggak mau nanganin kasus ini, mending lo diem aja."

Dari nada bicara Hamdan yang mulai tak mengenakan hati, Irwan memilih pergi setelah membayar di kasir.

"Lo lihat? Gara-gara lo, Irwan jadi pergi." Nuno menyalahkan Hamdan atas kepergian Irwan. Hamdan tak peduli, dia malah berbalik marah.

"Oke kalau kalian berdua nyalahin gue terus! Jangan salahin gue kalau pelakunya bunuh kalian duluan! " Hamdan menunjuk Nuno dan Jamet secara bergantian. "Bilangin sekalian, tuh, sama Irwan, kalau nggak bisa nanganin kasus jangan sok-sokan."

Perkataan Hamdan yang sangat menyakitkan itu tampak menyakiti hati Nuno dan Jamet. Kedua remaja itu saling pandang.

"Kok Hamdan bilang gitu ke Irwan?" Jamet menghela napas. Hatinya benar-benar sakkt tatkala mengingat ucapan kasar Hamdan tadi meskipun yang dimaksud cemoohan itu bukan dirinya, melainkan Irwan.

Bagaimanapun Irwan adalah sahabat terbaiknya, yang selalu membantunya dalam keadaan susah.

Nuno mengangkat bahu. "Udah biarin aja, dia cuma bisa ngomong doang. Suka-suka dia aja. Gue bodo amat," jawab Nuno.

"Mending kita cari Irwan, yuk?" ajak Jamet.

Akhirnya Nuno dan Jamet berjalan menelusuri koridor kampus untuk mencari keberadaan Irwan. Berbagai sudut kampus sudah mereka jelajahi, tapi keberadaan Irwan masih nihil.

"Irwan ke mana? Kok kita cari nggak ada di mana-mana." Nuno menghela napas seraya membersihkan keringat di wajah.

"Gue juga nggak tahu, No." Jamet ikutan bingung harus mencari Irwan ke mana lagi. Matanya menerawang ke segala arah.

Ingatan Nuno menuju ke suatu tempat. Ya, bisa saja Irwan mendatangi tempat itu. "Kayaknya gue tahu Irwan di mana, " ucap Nuno, menarik tangan Jamet ke suatu tempat rahasia yang ada di kampus.

Kedua remaja itu menaiki beberapa tangga menuju ke lantai empat. Benar saja , Irwan berada di sana. Cowok itu sedang duduk sambil menunduk. Jamet dan Nuno beradu pandang,  mereka tahu Irwan masih memikirkan perkataan Hamdan.

"Wan, lo ngapain di sini?" tanya Nuno menghampiri Irwan yang tengah diam.

Irwan tetap menunduk, diam seribu bahasa. Irwan merasa perseteruan antara Hamdan dengan Nuno dan Jamet adalah salahnya. Mungkin benar apa yang dikatakan Hamdan jika dirinya terlalu lamban menangani kasus ini.

"Wan, jawab, lah, " ucap Jamet, menepuk bahu Irwan.

"Gue nggak apa-apa, kok, " jawab Irwan. Cowok itu tersenyum, meskipun senyuman itu hanyalah palsu untuk menutupi rasa kecewa. baginya,  dia sangat bodoh menagani kasus ini.

"Udah, lah, omongan Hamdan nggak usah dimasukin ke hati. Biarin aja, " saran Nuno. Nuno tahu bagaimana rasanya jadi Irwan disalahkan. Sebenarnya tak ada yang salah, karena memang kasus ini lumayan rumit untuk membuktikan kebenaran. Mengingat pelaku yang sudah mereka ketahui jago menghilangkan jejak.

"Perkataan Hamdan emang bener, kok, " jawab Irwan. Irwan terus menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. "Ini semua murni salah gue. Andai gue bertindak cepat."
Irwan mencengkram kedua tangan erat, mengalihkan pandangan ke Jamet dan Nuno. Irwan tahu ucapan Nuno dan Jamet hanya menenangkan dirinya saja. Di sini dia tetap yang bersalah atas semuanya.

"Bro, dengerin gue, " ucap Nuno. "Kita nggak bisa nyamain diri kita kayak polisi. Semua butuh proses panjang, apalagi yang kita tangani pelakunya cerdik."

"Polisi aja ada yang nangangin kasus sampai bertahun-tahun. Lo pernah tahu tentang kasus di luar negeri, yang ceritanya dia mengaku pada polisi kalau istrinya hilang? Nah, polisi melakukan penyelidikan, dan hasilnya nihil, mereka nggak bisa nemuin istrinya. Ujung-ujungnya apa? Lo tahu? Sang pelapor sendiri yang udah bunuh istrinya, dan jasadnya dikubur di rumahnya," jelas Jamet.

Irwan mengangguk. Samar-samar dia pernah menonton kasus itu di televisi. "Gue tahu, kok. Gue sekarang bingung harus ngapain?"

"Mending lo tenangin pikiran lo dulu, " ucap Nuno, mencoba menenangkan. "Lo harus fokus, bentar lagi kita selesai PKL, kan? Gue rasa harapan kita masih ada, kita sabar dan cari cara lain. Penting kita bertindak perlahan, tapi pasti. Oke?"

Irwan tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro