Maura

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah apa yang dapat aku katakan saat melihat sosok itu. Aku benar-benar terpaku dan tak dapat berbicara satu katapun saat aku melihatnya.

Sosok itu begitu mengerikan dan membuatku terluka. Bukan... bukan karena darah yang terus mengalir dari lehernya yang hampir putus. Bukan pula karena kulit wajahnya yang sebagian telah terkelupas.

Tapi karena sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi padanya. Aku hanya mengira bahwa hanya Evi saja yang hidupnya masih menyedihkan walau telah meninggal.

Aku melihat Maura di balik kaca mobil. Sosoknya memang lebih mengenaskan dari Evi.

Aku tak pernah mengira jika sosoknya akan semengenaskan itu. Lehernya hampir putus dan darah segar terus mengalir dari tenggorokannya. Kulit wajahnya sebagain telah mengelupas dan sebagian masih utuh. Selain itu, matanya satu keluar dan satu lagi telah hancur.

Tidak... itu belum seberapa. Aku lebih terperanjat saat melihat kepala bagian atasnya terbelah dan menunjukkan isi kepalanya.

Aku memang tak pernah melihat kondisinya sejak kejadian itu. Aku tak menyaksikan pemakamannya juga karena pihak keluarganya memang merahasiakan pemakamannya dari teman-teman KKN yang lain.

Setauku Maura tidak tinggal di kota ini, dia juga tak berasal dari kotaku. Tapi aku tak pernah tahu pasti dia berasal dari mana.

"Maura...," teriakku.

Tak ada respon dari dia, dia hanya terus mengetuk pintu dan mencoba membuka pintu mobilku. Sedang aku masih terpaku menatapnya.

"Lihat sini Di!" teriak Hendra.

Tapi aku tak menghiraukan teriakan Hendra, aku benar-benar terpaku dengan sosok Maura yang ada di hadapanku.

"Kamu harus mati Di!" kata Maura menggema.

Aku masih tak dapat merespon perkataannya. Aku terus menatapnya dengan penuh tak percaya.

Ssrreett... tiba-tiba sebuah tangan menggenggam pundakku dan menghentakannya dengan cukup keras ke belakang hingga dudukku menjadi lurus.

"Di sudah kubilang jangan lihat!" teriak Hendra sambil terus menjalankan mobilnya.

"Tapi dia Maura Hen, dia temanku,"

"Dia temanmu semasa dia hidup, bukan sekarang!"

Kata-kata terakhir Hendra benar-benar bagai petir di siang bolong. Kata-katanya begitu tepat mengenai hatiku.

"Dia temanmu semasa dia hidup, bukan sekarang!" kataku dalam hati mengulang kata-kata Hendra.

Begitu mudahnya dia mengatakan semua itu. Apakah dia tak memahami dan mengerti bagaimana perasaanku saat melihat tubuh temanku dalam keadaan seperti itu.

"Turunkan aku di sini Hen!" kataku kepada Hendra.

"Kenapa?"

"Untuk apa aku bersama orang yang tak bisa mengerti perasaanku?"

"Di... bukan maksud aku seperti itu..."

"Lalu apa? Kamu bilang Maura bukan temanku,"

"Di... pahami kondisinya saat ini!"

"Aku gak peduli, aku mau turun,"

Alih-alih aku meminta berhenti, tapi Hendra malah menjalankan mobilnya dengan semakin cepat. Dia sungguh tak menghiraukan semua perkataanku.

Beberapa kali tubuhku terbanting ke sana-ke mari karena Hendra yang menjalankan mobil jauh lebih cepat dari sebelumnya, sepertinya dia memang tak menginginkan aku turun dari mobil.

"Hen... hentikan mobilnya atau aku loncat?" kataku sambil membuka kaca mobil.

Aku kira Hendra akan menghentikan mobilnya, tapi ternyata aku salah. Dia terus menjalankan mobilnya tanpa menghiraukan ancamanku.

"Aaaaggghhh..." teriakku saat sebuah tangan meraih pundakku.

Rasa nyeri langsung menjangkit pundakku. Rasanya ada suatu benda yang menancap dengan dalam hingga merobek pundakku, padahal hanya sebuah tangan yang memegang pundakku.

Aku langsung melihat pundak kiriku yang di pegang seseorang. Kulihat tangan Maura tengah menancapkan jari jemarinya yang begitu tajam ke pundakku.

"Aaagggghhh... lepaskan aku Ra, lepas!" teriakku.

"Tidak! Kamu harus ikut aku!"

"Tidak Ra!"

Maura terus berusaha menarik tubuhku keluar dari dalam mobil dan aku hanya dapat berusaha menggenggam pinggiran jok sebagai peganganku.

Hendra terus menjalankan mobil dengan sangat kencang sambil sesekali menatap ke arahku.

Sesekali tubuh Maura terseok-seok ke kiri dan kanan. Darah yang keluar dari lehernya sebagaian mengenai wajahku saat dia terbanting ke kiri dan kanan.

"Di... tutup kaca mobilnya!" kata Hendra.

"Tapi Hen tangan Maura.."

"Tutup Di!"

Aku melihat kilat amarah di wajah Hendra, tanpa mendebatnya lagi aku langsung menaikkan kaca mobil.

Krreekkk... suara tangan Maura yang perlahan terjepit kaca mobil terdengar begitu mengerikan di telingaku.

Aku mencoba tak menghiraukan apa yang terjadi pada Maura, aku terus berusaha menutup kaca mobil.

Kreeekkk... suara lengan maura yang terjepit terdengar begitu keras. Aku kira tangannya putus dan meninggalkan sepotong tangan yang menancap pada pundakku.

Tapi ternyata aku salah, Maura menarik lengannya tepat sebelum kaca mobil tertutup dengan sempurna.

Darah segar mengalir dari pundakku. Aku mencoba menahan mulutku untuk tak meringis kesakitan.

Wush... lagi... angin berhembus dengan sangat kencangnya mencoba menghempaskan mobil yang Hendra kendarai.

Hendra terus menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sendiri tak mengerti kenapa kami belum juga sampai di kosan Hendra.

"Aaawww...," teriakku saat kepalaku terantuk dan mengenai dashboard mobil karena ulah Hendra yang membelokkan mobilnya dengan seketika.

Ciiiittt... suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal terdengar begitu memekakan telinga.

Hendra segera mengambil bajunya yang menggantung di belakang dan menutupkannya pada wajahku.

Hendra langsung membuka pintu mobil dan berlari membukakan pintu mobil untukku.

"Cepat Di sebelum mereka datang!" kata Hendra.

Aku segera turun dan tak lupa mengambil paper bag berisi pakaian yang kubeli saat di pantai tadi.

Hendra langsung merangkulku dan berlari menuju pintu rumah. Hendra segera mengeluarkan kunci dan membawaku masuk ke dalam rumah tepat sebelum Maura dapat menggapaiku lagi.

"Kok ditutupin sih kepalanya pak pol?" goda teman kos Hendra.

Hendra tak menghiraukan perkataan temannya, dia terus berjalan dengan langkah lebar dan membawaku menuju kamarnya.

Kkkkrrreeettt... terdengar suara kaca yang di gores benda tajam saat melewati lorong kaca.

"Aaaaggghhh," teriakku saat melihat apa yang tengah terjadi.

Lagi... aku melihat sosok Maura dan dua sosok lainnya berusaha menggores kaca tebal itu agar dapat masuk dan melukaiku, atau bahkan membunuhku.

"Jangan hiraukan, terus jalan!" kata Hendra sambil terus merangkulku posesif.

Begitu berada di depan kamar, dia langsung mengeluarkan kunci kamarnya dan membawaku masuk. Dia segera menutup gorden kamarnya agar tak terlihat dari luar.

Aku baru saja akan duduj sejenak untuk beristirahat, tapi Hendra langsung membawaku ke kamar mandi.

"Hen mau apa?" tanyaku sedikit meronta.

"Muka dan rambutmu penuh darah,"

"Biar kubersihkan sendiri,"

Aku kira Hendra akan membiarkanku masuk sendiri,tapi ternyata aku salah. Dia tetap mengikutiku masuk ke dalam kamar mandi.

Tanpa banyak bicara Hendra langsung menundukkan kepalaku dan  mengguyur kepalaku dengan air yang cukup banyak.

Aku tak percaya jika aku akan di keramasi oleh seorang lelaki, tak pernah ada yang melakukan ini padaku sebelumnya, tentu saja kecuali ayahku saat aku kecil dulu.

"Buka bajumu!" kata Hendra setelah selesai membersihkan wajah dan rambutku.

"Gak mau!"

"Buka bajumu Di!"

"Kamu mau apa?"

"Buka bajumu atau aku robek?"

Deg... aku tak percaya jika Hendra akan memintaku untuk membuka bajuku di hadapannya.

***
Apa yang kalian pikirkan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro