Chapter 15 : Mitos Karma Turun dari Langit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin giliranku sekarang yang terkena kutukan Dewa Tikus. Operasi genosida yang kulakukan pada tikus-tikus parit kemarin malam, berdampak pada meninggalnya ibuku. Dan juga, pembalasan dendam yang telah kuperbuat pada orang-orang di sekolah, membuatku terkena karma dari langit.

Omong kosong! Tidak ada yang namanya kutukan. Itu semua salah rentenir yang telah membuat ibuku meninggal. Hampir tiap hari ibu menerima ancaman dari preman-preman bayaran untuk melunasi hutang. Tubuh ibu yang sudah lemah diperparah lagi oleh mereka dengan cacian dan makian. Mereka membuat hidup ibuku tidak tenang, menghancurkannya sampai tak bersisa. Aku bersumpah, rentenir dan para premannya itu harus membayar perbuatan yang sudah mereka lakukan pada ibuku.

Ibu adalah segalanya untukku. Membahagiakannya merupakan satu-satunya tujuan yang ingin kucapai. Kini, dia telah meninggal. Tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk menebus kasih sayangnya. Hidupku sudah kehilangan arah dan tujuan. Alasanku untuk tetap menjalani hidup ini sudah tidak ada lagi.

Aku melihat langsung jenazah ibu yang sudah dibungkus kain kafan dimasukan ke dalam liang kubur. Perlahan-lahan tertutup tanah merah yang di sekop oleh petugas kuburan, jasad ibu kini sudah tak terlihat. Itu menandakan pula dimulainya hidupku yang sebatang kara.

Aku tidak dapat menangis. Sejak kutemukan jasad ibu yang sudah tak bernyawa, air di dalam mataku ini masih belum terurai. Kemarahan telah membungkus diriku sehingga tidak ada tempat lagi untuk bersedih. Satu-satunya yang kuinginkan sekarang hanyalah keadilan untuk kematian ibu. Tidak ada cara lain, pembalasan dendam adalah jawabannya.

Seminggu sudah aku menjadi yatim piatu. Sebetulnya, aku cukup beruntung. Juragan Kos yang iba dengan keadaanku mempersilakan kontrakannya ditempati tanpa dipungut uang sewa. Lalu, Pak Sabar dengan sukarela berjanji pada rentenir untuk membayar hutangnya secara dicicil. Serius, lintah darat dan preman-premannya itu tidak punya belas kasih sama sekali. Mereka tetap menagih meski tahu ibu sudah meninggal. Kalau saja Juragan Kos dan Pak Sabar tidak datang waktu itu untuk berunding, aku sudah babak belur dihajar preman karena sudah terlampau emosi hanya dengan melihat wajah mereka.

Malamnya, aku sudah tidak tahan lagi. Kuambil sweter hitam bertudung yang tergantung di dinding. Kukenakan sweter yang kebesaran itu saat aku sudah mengunci pintu kontrakan. Aku menutup kepalaku dengan tudung sweter dan berlekas pergi. Malam itu malam tahun baru. Bersamaan dengan suara kembang api yang meledak di langit, aku berjalan untuk melakukan pembalasan dendam.

Aku memungut balok kayu yang tergeletak di pinggir jalan. Bergegas pergi ke tempat para preman biasa mabuk-mabukan. Preman-preman yang mengancam ibuku itu berjumlah tiga orang. Mereka sebenarnya adalah warga kampung yang luntang-lantung tidak jelas alias pengangguran. Kelakuan mereka bertiga kerap kali meresahkan warga setempat dengan memalak atau sekadar ribut-ribut kalau ada dangdutan.

Aku bukannya tanpa rencana untuk memberi pelajaran pada preman-preman itu. Aku telah menduga mereka akan mabuk-mabukan saat malam tahun baru. Itu sudah semacam ritual bagi mereka untuk merayakan pergantian tahun. Ketika orang-orang tidak berguna itu mabuk tak berdaya karena alkohol, aku akan memukulkan balok kayu ini tepat pada tengkorak kepala mereka satu per satu sampai kulihat darah segar mengucur darinya.

Aku sudah hampir sampai di gang sempit yang berada di ujung jalan. Tempat ketiga preman itu biasa berkumpul dan mabuk-mabukan. Ketika aku berdiri di mulut gang, kutemukan tubuh mereka sudah tergeletak di sana.

Aku menendang tubuh preman yang paling dekat denganku sampai posisi badannya terbalik. Aku menatap dingin. Kulihat mulutnya sudah dipenuhi busa dengan mata melotot. Keadaan dua orang sisanya tidak jauh berbeda. Mereka sudah tak bernyawa.

Aku mengerti apa yang terjadi setelah menemukan beberapa bekas botol minuman keras, obat sakit kepala, dan bungkus lotion obat nyamuk berada di tempat kejadian. Seketika aku kecewa. Para preman itu sudah mati sebelum aku memberi mereka pelajaran. Rencana balas dendamku digagalkan oleh minuman oplosan.

Tapi, tidak ada waktu untuk kecewa berlama-lama. Hanya satu orang lagi yang dapat dijadikan sasaran balas dendamku. Akan kupastikan rentenir itu menerima bayaran atas perlakuannya pada ibu. Meskipun aku harus bertindak melanggar hukum.

Aku berjalan di gang sempit dengan melangkahi satu per satu mayat yang ada di depanku. Sebelumnya, aku telah mengambil benda dari saku celana salah satu preman itu. Aku memicingkan mata. Di ujung, di mulut gang jalan keluar, seseorang tengah berdiri di sana.

Aku berhenti di depan orang itu. "Minggir," kataku memberi perintah padanya.

"Apa yang sudah kau lakukan, Bray?" Dengan suara beratnya, Nanang Kosim bertanya padaku.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro