Bagian 3 - Harmoni

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selesai berdiskusi dengan serius, aku dan Qiluo pergi ke restoran paling mewah di kota. Sayangnya, setelah menyimpan sejumlah uang untuk membeli manisan, sisanya hanya cukup untuk membeli semangkok bakmi sapi.

Bakmi dengan kuah mengepul-ngepul itu kini tersaji di atas meja. Di antara kuahnya yang bening, helai-helai mie terlihat dipugas dengan sayuran hijau cerah. Sepotong tipis daging sapi terlihat, menambah harum aromanya.

Kami memandangi bakmi itu dengan mata membelalak lebar dan mulut yang kini dipenuhi air liur. Aku tak sabar lagi dan langsung mengambil mangkok. Segera saat aku menyentuhnya, aku mengaduh kena panas membakar. Aku segera menarik tangan lalu mengipas-ngipasnya.

Qiluo Kecil: "Biar kulihat!"

Dengan cemas, Qiluo menarik tanganku ke arahnya. Ketika dia melihat bercak merah samar di jariku, dia meletakkan jariku di bibirnya, lalu meniup-niup lembut.

Qiluo Kecil: "Fuuuh! Fuuuh! Tidak sakit ... tidak sakit ...."

Saat aku melihatnya lagi, jariku yang melepuh sungguh-sungguh tidak sakit lagi. Setelah menunggu beberapa saat dan bakminya sudah tidak terlalu panas lagi, kami makan dengan lahap sekali.

Tidak banyak potongan daging di sana. Aku sudah makan beberapa, tapi, Qiluo bahkan tidak menyentuhnya.

Youran: "Kau tidak suka daging sapi?"

Qiluo: "Aku ... itu makanan sampah!"

Youran: "Masa daging sapi selezat ini kau bilang makanan sampah?"

Qiluo: "Hm, di kampung halamanku dulu, aku selalu makan daging sapi setiap hari. Aku sudah cukup puas makan. Kau makan saja!"

Youran: "Oh .... "

Aku menggangguk meski masih bingung. Saat pandanganku memindai wajah Qiluo, kulihat hiasan aneh di telinga kirinya. Tanpa sadar, aku meraih lalu menyentuh hiasan itu.

Youran: "Ini apa? Kau punya lubang di daun telinga? Tidakkah ini sakit?"

Tangan Qiluo menggenggam tanganku. Matanya berbinar saat dia berkata tenang:

Qiluo Kecil: "Sekarang tidak lagi."

Hiasan telinga aneh ini, semua daging sapi yang bisa dinikmati tiap hari, semua hal ini membangkitkan rasa ingin tahuku tentang anak laki-laki dari tanah asing ini.

Youran: "Kampung halamanmu itu seperti apa?"

Qiluo terdiam sesaat, lalu memerlihatkan seulas senyuman.

Qiluo Kecil: "Itu tempat yang sangat indah. Ada hutan-hutan penuh bunga, rumah-rumah mungil ... bata-batanya biru dan lantainya merah. Samudra besar terhampar seluas langit. Rumah kami tepat berada di tepi laut."

Youran: "Aku akan senang sekali jika bisa melihatnya."

Qiluo Kecil: "Saat sudah besar nanti, aku akan membawamu ke sana!"

Youran: "Baiklah! Tapi ... masih panjang waktunya hingga kita tumbuh besar. Bagaimana jika kau berubah dan aku tak mengenalimu?"

Memikirkan masa depan yang tak pasti, kegembiraanku berubah jadi kecemasan. Qiluo juga tampak gundah. Kepalanya menunduk, tampak sedikit sedih.

Kami pernah mengucap selamat tinggal sekali. Kami tak bisa memikirkan bagaimana kalau itu terjadi lagi.

Tak sengaja, mataku tertuju pada sisa perhiasan yang tergantung di lehernya.

Youran: "Apa ini?"

Qiluo Kecil: "Ini? Ini adalah cincinku. Sayangnya, tanganku belum terlalu besar. Jadi, aku hanya bisa menggantungkan cincin ini di leher."

Dia melepaskan cincin dari lehernya lalu menyerahkan cincin itu ke tanganku.

Qiluo Kecil: "Aku telah memakainya sejak amat kecil. Ini tak pernah meninggalkanku."

Youran: "Ini cincin yang amat indah .... "

Aku mengamat-amati cincin dengan penuh rasa ingin tahu. Tiba-tiba, aku menyadari ada satu bagian yang mencuat. Aku menariknya pelan dengan jariku. Sesuatu kemudian keluar setelah terdengar bunyi klik.

Tanpa berpikir, aku meletakkan cincin di bibir lalu meniupnya pelan. Suara seruling yang jernih dan ringan terdengar dari sana.

Youran: "Lihat! Kau bisa membuatnya bersuara dengan meniupnya!"

Ketika dengan semangat kukatakan ini, wajah Qiluo yang mulanya tampak terkejut jadi riang gembira.

Qiluo Kecil: "Jadi, itu bisa digunakan untuk memainkan musik!"

Youran: "Aku tahu! Bagaimana kalau ... ketika bertemu kembali, kau cukup meniup cincin ini dan aku akan mengenalimu!"

Dengan gembira, aku melambaikan cincin seruling itu di depannya. Kilat kebahagiaan terlihat di wajah Qiluo. Dia tersenyum dan berkata:

Qiluo: "Bahkan jika kau tidak mengenaliku, kupastikan, aku akan mengenalimu sejak pandangan pertama!"

Di dalam restoran yang hingar bingar, ada yang bergembira ria, beberapa menyatakan perasaan satu sama lain, beberapa berkeliling tanpa tujuan. Namun, semua itu sepertinya tiada di dunia kami berdua.

Kami menyingkirkan mangkok bakmi sapi lalu membuat janji tentang masa depan kami. Kami pun dipenuhi dengan semua kebahagiaan dan suka cita.

Youran: "Zhou Qiluo! Para petugas ada di sini! Lari!"

Perkataanku tak lebih cepat dari gerakan Qiluo menyambar koin-koin di tanah. Kami kemudian kabur bersama. Ketika kami tiba di toko manisan, kami terlalu capek dan terengah-engah.

Qiluo: "Hahaha! Kenapa kita tidak tampil di Wisma Tiga Mimpi saja? Dengan demikian, kita tidak perlu khawatir akan tertangkap petugas."

Youran: "Tapi, di sana yang ada hanyalah rakyat jelata dan orang-orang miskin. Kita akan mendapat jauh lebih sedikit uang dari pada di Jalan Langit Jiuhua ini."

Aku memusatkan lagi perhatianku pada orang di depan.

Youran: "Pak Penjual! Tolong satu kantong manisan buah, ya!"

Qiluo Kecil: "Pak Penjual! Satu kantong manisan buahnya!"

Qiluo dan aku mengatakan itu berbarengan. Penjual manisan itu terlonjak kaget karena suara lantang dan keras kami. Melihat itu, kami berdua tertawa geli.

Ketika kami mengelilingi jalan-jalan bersama, kami merasa seperti awan yang melayang-layang bebas tak terikat. Ketika seseorang sendirian, rasanya hari berlalu begitu saja. Namun, ketika kau berdua, semua pengalaman menjadi bagian dari kenangan.

Sayangnya, kami tak selalu mendapat uang dari pertunjukan sulap. Nyonya Pimpinan juga tak selalu mampu menolong mengenyangkan perut kami. Jika kami sangat lapar, kami hanya bisa pergi ke Wisma Tiga Mimpi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang orang lain enggan lakukan. Semua ini demi bisa memperoleh sedikit makanan.

Beberapa bulan sekali, kami baru bisa menyisihkan cukup uang untuk membeli manisan buah.

Penjual Manisan: "Silakan, Nona Kecil!"

Youran: "Wah! Terima kasih!"

Saat aku mengambil manisan lalu berputar-putar kegirangan, tiba-tiba ada bunyi kuda yang meringkik dan berlari. Seseorang menunggang kuda besar dan tinggi. Kuda itu menendang hingga debu-debu beterbangan di udara.

Qiluo Kecil: "Youran!"

Qiluo buru-buru menarikku ke belakangnya. Namun manisan buah telanjur jatuh dan kuda itu menginjak-injaknya seraya meninggalkan jejak di sepanjang jalan.

Youran: "Aduh! Bagaimana bisa ini terjadi?"

Bulan-bulan penuh kerja keras itu kini hangus jadi abu. Gelombang rasa frustasi dan kemarahan memenuhiku. Mataku mulai berkabut.

Qiluo Kecil: "Ja ... jangan menangis! Aku akan membelikanmu lain kali!"

Qiluo menenangkanku dengan canggung.

Youran: "Dari mana kau akan mendapatkan uangnya? Kita bahkan tidak ada cukup uang untuk makan sekarang."

Aku terisak-isak seraya bicara. Mataku mengusap-usap air mata yang keluar.

Di antara pandangan kaburku, sepertinya kulihat ekspresi di wajah Qiluo. Ekspresi yang jarang kulihat: sebagian menderita, sebagian menyalahkan diri sendiri.

Qiluo Kecil: "Aku akan membelikannya untukmu! Aku janji!"

Aku terlalu sibuk menangis terisak hingga aku tak segera merespons. Sepertinya, aku mendengarnya menggumam.

Qiluo Kecil: "Aku akan berpijak di tempat yang tinggi. Percayalah padaku!"

Hari berikutnya, saat bangun, kulihat sekantong manisan buah di dekatku. Beberapa keping tembaga bertebaran di lantai.

Youran: "Dari mana kau mendapatkan ini? Kau tidak mencurinya, bukan?"

Qiluo Kecil: "Tidak juga. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku!"

Qiluo memamerkan senyuman lebarnya. Tak peduli bagaimana pun aku mendesaknya, dia tidak mengatakan kepadaku dari mana asal usul semua ini. Yang kutahu, saat dia kembali, hidung dan wajahnya babak belur dan ada lebih banyak luka di tangannya. Sepertinya, Qiluo telah terlibat dalam perkelahian.

Musim dingin dan musim semi di Xiyue begitu dingin. Kami harus melewatinya dalam pakaian yang tipis, berlindung bersama di sebuah gubuk reyot. Angin kencang bagaikan hewan buas yang melolong. Qiluo memelukku erat sementara aku menggigil. Dan aku meletakkan kepalaku di dadanya.

Qiluo Kecil: "Ibuku bilang, jika kau ketakutan, cukup dengarkan suara detak jantung dan kau akan merasa baikan."

Melihat daun pintu yang terombang-ambing di tengah angin, aku hanya bisa mengeratkan pelukanku pada Qiluo.

Qiluo Kecil: "Kalau kau masih takut, aku bisa memainkan serulingku untukmu! Meskipun ... aku baru belajar, jadi suaranya mungkin tidak terlalu bagus."

Youran: "Tidak apa-apa! Mainkanlah!"

Nada-nada yang manis berembus dari seruling, mengisi gubuk reyot ini. Meski terdengar sedikit pincang di bagian tengah, suaranya terdengar tulus dan menyentuh hati.

Suara seruling yang bergabung dengan detak jantung yang kuat mendatangkan kedamaian dan membuat kelopak mataku memberat.

Setengah bermimpi, setengah tersadar, kupandangi Qiluo penuh rasa ingin tahu.

Youran: "Apakah kampung halamanmu sedingin ini?"

Qiluo Kecil: "Tidak. Aku dulu hidup di tempat yang hangat di semua musim. Matahari tak pernah terlalu terik, tapi, kau takkan pernah kedinginan. Rasanya seperti ... "

Youran: "Seperti apa?"

Qiluo Kecil: "Sebuah pelukan."

Youran: "Hm, apakah di Xiyue ini tidak ada tempat yang sama indahnya dengan kampung halamanmu?"

Dia berkedip, lalu memperlihatkan seulas senyuman misterius.

Qiluo: "Ada. Itu adalah tempat rahasiaku. Aku akan membawaku ke sana nanti!"

Aku mengangguk senang. Kehangatan Qiluo melingkupiku hingga ke tulang. Dia seperti matahari di musim semi yang sejuk, cukup untuk menghangatkan dunia kecilku.

Suara seruling nan lembut mulai terdengar lagi. Kesadaranku perlahan-lahan hilang dan aku segera terlelap menuju dunia mimpi.

Tempat rahasia yang dikatakan Qiluo adalah satu ladang gandum luas.

Di samping ladang, terbentang aliran air yang berkilau di bawah sinar matahari. Refleksi rumpun-rumpun yang meliuk terlihat di permukaan air. Riak-riak berlarian di antara biru langit dan awan putih.

Tumpukan gandum yang tinggi cukup menyembunyikan kami dan kami kadang bermain petak umpet di dalam rerumpun itu.

(gambar dari: ecosnippetsmagazine, pinterest)

Youran: "Kok dia belum menemukanku?"

Aku berbaring di antara kelembutan berkas gandum. Kulihat langit luas di atas lalu menyenandungkan sembarang lagu. Pikiranku hanya memikirkan satu hal, "Cepatlah, temukan aku!"

Lalu, suara seruling terdengar dari jauh, senada dengan irama yang baru kusenandungkan. Suara itu semakin dekat terdengar, seiring suara langkah kaki si pemain dan desir baju yang bergesekan dengan gandum. Tiba-tiba saja, suara-suara itu berhenti.

Qiluo Kecil: "Ketemu! Youran! Aku menemukanmu!"

Qiluo menyibak rumpun gandum dengan tangan. Kepalanya menjulur. Rambutnya berkilau emas di bawah sinar matahari.

Youran: "Butuh waktu lama. Kupikir, kau takkan pernah menemukanku."

Sebenarnya, aku mau terdengar jengkel. Namun, sayangnya aku tetap terdengar lega.

Qiluo: "Maaf, kau pergi jauh sekali. Jadi, aku membutuhkan waktu lebih lama untuk mencarimu."

Melihatnya menyengir dalam keadaan berkeringat begitu, akhirnya, aku tak tahan dan berhenti menggodanya.

Youran: "Sebenarnya .... "

Qiluo Kecil: "Pokoknya, tak peduli di mana pun kau berada, aku akan selalu bisa menemukanmu!"

Dia memotong kalimatku dan memberikanku senyuman lebar. Keingin tahuanku segera menghilang.

Youran: "Benarkah? Caranya bagaimana?"

Qiluo Kecil: "Caranya adalah ... dengan lagu yang kau senandungkan tadi!"

Aku mencebik kecewa.

Youran: "Tapi, tadi, aku hanya bersenandung sembarangan."

Qiluo Kecil: "Hm, dengan mengingat nadanya di serulingku, maka itu akan jadi kode khusus rahasia kita! Di masa depan, jika kita terpisah jauh ... sepanjang mendengar melodi ini, kita akan bisa saling menemukan satu sama lain."

Senyuman penuh percaya dirinya membuatku ingin memberikan seluruh kepercayaanku. Di bawah pengaruh kata-katanya, mulutku melengkung tersenyum.

Youran: "Kalau begitu, tak peduli di mana pun aku berada, kau sebaiknya menemukanku! Ini kesepakatan, ya!"

Qiluo Kecil: "Tentu saja! Ini kesepakatan!"

Dia kemudian membaringkan diri ke kelembutan berkas gandum.

Kami berbaring, memandang langit biru cerah bersama. Angsa-angsa liar berkecipak dan menguak. Rasanya seperti barisan perahu di kejauhan.

Desir gesekan gandum berbaur bersama angin. Rumpun-rumpun berombak laksana lautan. Qiluo dan aku merasa sedang berbaring dalam ombak emas. Qiluo mengatakan, suara desiran ini sama seperti desir gelombang lautan, mengingatkannya akan kampung halaman.

Aku mengambil sebatang gandum lalu menyentuhkannya di wajah Qiluo, menggelitiki anak itu.

Youran: "Nanti, di masa depan, tempat ini akan jadi rumah kita."

Di depan ladang gandum, ada sebatang pohon beringin besar. Kami sesekali duduk bersisian di rantingnya. Kadangkala, burung mendarat di baju kami.

Qiluo: Youran, tahukah kau? Dari sini, kau bisa melihat sinar matahari paling indah di Xiyue."

Dia melepas cincin seruling, meletakkan cincin di mulut, dua tangannya bergerak-gerak memutar cincin sementara dia meniup lembut.

Di bawah pohon beringin, Qiluo memainkan seruling dan aku menyenandungkan melodi ... yang hanya menjadi milik kami.

Manisnya melodi yang mendayu-dayu terdengar di antara ranting-ranting beringin, hingga matahari terbenam di ufuk barat. Kami kemudian melepas ikan mas hasil trik sihir di aliran air dekat pohon beringin.

Ikan itu meliuk berenang begitu bebas dan memercikkan tetes air.

Youran: "Dia terlihat begitu bahagia!"

Qiluo Kecil: "Bagaimana kalau mulai hari ini, kita akan pergi kemari tiap tahun untuk melepaskan seekor ikan?"

Qiluo memerhatikan ikan yang berenang-renang itu. Matanya terlihat penuh harap.

Youran: "Baiklah! Tapi, hari apa, ya, sekarang?"

Qiluo terdiam sesaat, lalu tersenyum dan memandangku.

Qiluo Kecil: "Sekarang hari kesembilan di bulan keempat."

Di belakang Qiluo, sehelai daun gugur dengan hening, berkilau-kilau di antara sinar senja. Daun itu berputar beberapa kali sebelum jatuh ke dalam genangan lumpur.

Di bawah pohon beringin itu, Qiluo dan aku menanam kotak harta karun. Kami berjanji akan kembali di saat-saat penting lalu menggali kotak itu.

Youran: "Kita tidak boleh mengintip sebelum waktunya!"

Saat segenggam tanah terakhir menutup kotak itu, Qiluo dan aku berpandang-pandangan lalu tersenyum.

Angin yang hangat mengembuskan gelombang-gelombang di antara rumpun gandum. Di bawah pohon beringin hijau lebat, tangan-tangan mungil terkait -- tangan cilik yang berdampingan -- tampak sanggup menyentuh keabadian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro