Bagian 3 - Serangan Kejutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Percikan-percikan api menjadi friksi antara bibir dan lidah yang terpaut, menyulut hasrat mendamba.

Segala kegelisahan, kekhawatiran, obsesi, terlumat olehnya.

Sebuah ciuman tak terkendali, mengingatkan pada angin yang berembus di puncak musim panas. Desaunya bercampur aroma manis alkohol yang menguar di udara. Keinginan minum sampai mabuk muncul dalam kepala, dengan mudah mematahkan seluruh pertahananku. Seluruh syaraf tubuhku menggelenyar seakan terbakar. Aku gemetaran, begitu melayang hingga kudorong diriku lebih dekat dengannya. Gelombang dashyat bergelora merenggut kesadaranku, menyapu seluruh dunia dan hanya menyisakan satu nama.

MC: "Gav .... "

Satu rintihan meretih, terlepas dari mulutku. Gavin menghentikan ciumannya di sudut bibirku. Saat itu, aku telah terengah-engah, kehabisan napas.

MC: "Kenapa kau selalu memberiku serangan kejutan?"

Gavin: "Bukankah kapan hari itu, aku sudah mengetuk jendela?"

MC: "Bukan itu maksudku!"

Gavin: "Hm?"

Suaranya dalam dan rendah, bergema dalam hatiku bersamaan dengan napasnya yang berbaur dengan napasku. Seakan-akan, dia adalah pemburu yang tak puas menggoda mangsa lalu berhenti di tengah jalan.

MC: "Kau juga begini, dulu. Di planetarium."

Gavin: "Kau masih ingat Chandler?"

MC: "Chandler siapa? Hei! Bukan itu masalahnya!"

Gavin sedikit tergelak. Dia melengkungkan alis seolah sedang mengamat-amati diri sendiri. Senyuman Gavin lantas menuju atas bibirku, seketika membuatku gemetar.

Gavin: "Kalau permisi itu masalahnya, baiklah ... apa kau siap sekarang?"

MC: "Apa-?"

Gavin menghela napas panjang. Tanpa memberikan banyak waktu untukku bereaksi, dia menarikku dalam permainan lidahnya, mendominasi dengan begitu arogan.

Kegelapan berubah menjadi jaring-jaring erat, menjebakku di dalam. Yang tersisa hanyalah manik mata itu ... dan merdu melodi air hujan nan lembut.

Jemariku menyisir helai rambut kuyup itu. Kakiku melemas sedemikian rupa. Aku hanya bisa melingkarkan lengan ke lehernya. Begitu lemah tanpa daya.

Halusnya sarung tangan kulit itu terasa di punggungku. Ujung jari Gavin menyentuh resleting logam yang telah hangat oleh suhu tubuh ... terus bergerak menyusuri punggungku.

Sisi maskulinnya kemudian menginvasi dengan solid.

Gavin: "MC .... "

Gavin memanggil namaku, ciumannya bergerak di leherku, dia lalu menenggelamkan wajahnya di relung bahuku.

Gavin: "Melakukan hal-hal begini ... saat ini ... sebenarnya aku .... "

Kata-katanya begitu lirih, nyaris tak terdengar di telingaku ... semakin tersamar oleh suara napasnya yang berat.

MC: "Apa?"

Gavin: "Kubilang ... aku sangat merindukanmu. Aku amat ... teramat ... sangat merindukanmu."

Setiap kata-kata menanggung beban waktu dan kerinduan. Jantungku berdebar cepat seiring tiap kata terucapkan.

Gavin: "Aku sempat berpikir bagaimana kalau kau menghadiri pesta ini, tapi, ketika kau benar-benar muncul, aku malah berpikir, aku hanya sedang merindukanmu. Aku akhirnya meyakinkan diriku sendiri kalau aku harus memprioritaskan misi."

Gavin: "Sayangnya, ketika melihatmu tertawa begitu bahagia, saat tersadar, aku telah begitu saja berjalan ke arahmu."

MC: "Gavin, anak Kak Chen itu sudah dua tahun umurnya."

Gavin: "Aku tahu. Informasinya kan ada di profil tamu."

Suara Gavin teredam. Aku merasakan udara hangat menyapu leher, rasanya seolah semilir itu menyusup masuk ke dalam hatiku.

MC: "Aku juga sangat merindukanmu ... bahkan mungkin, melebihi kerinduanmu padaku."

Aku tersenyum. Kutangkup wajah Gavin lalu menekan wajah yang terlihat lebih kurus itu.

MC: "Berat badanmu pasti turun. Kalau kau kembali, kau harus kembali menjaga kesehatan dengan baik. Kau juga harus menebus makan malam tahun baru yang kau lewatkan."

Gavin: Oke.

MC: "Saat ini, apa kau bisa tahu kapan tepatnya kau bisa kembali pulang?"

Gavin: "Itu tergantung pada status misi. Kalau misi berjalan lancar, seharusnya bisa segera."

MC: "Hanya segera .... "

Memikirkan tentang Gavin yang masih belum bisa beristirahat, aku mengerutkan bibir dengan sedikit kecewa.

Gavin: "Maaf, aku tidak bisa memberitahukanmu tentang detail misi ini sekarang."

MC: "Tidak apa-apa! Keharusan mengutamakan misi adalah sesuatu yang dapat kupahami. Bukankah itu benar, Tuan Lin?"

Sejenak, Gavin tertegun. Dia memperhatikan aku, lalu mengedipkan mata.

MC: "Apakah ini bisa dianggap menyamar?"

Gavin: "Kurang lebih."

MC: "Kalau begitu, ada yang bisa kubantu?"

Ciuman lembut Gavin mengingatkan akan capung yang menjejak di permukaan air, menukik di sudut bibirku. Gavin tampak tersenyum puas.

Gavin: "Sekarang, kau sudah membantu."

Aku menenangkan hati yang bergemuruh. Kubantu Gavin merapikan dasi dan rambut yang agak berantakan.

Melihat Gavin yang berpakaian formal di hadapanku, saat dia kembali menjadi 'tuan muda manja' itu, aku tak bisa menahan tawa lagi.

MC: "Di hari Tahun Baru Imlek, aku membuat permohonan. Aku berdoa agar kau selalu aman dan sehat. Kau harus memenuhi permohonan doaku, ya?"

Gavin: "Baik. Sudah waktunya. Kau harus kembali."

Dia mengatakan ini dengan sikap tak peduli, tapi, matanya masih menunjukkan keengganan berpisah.

MC: "Ingatlah untuk berhati-hati."

Gavin: "Mm, kau bisa pergi."

Kami saling berpegangan tangan, menunggu suara langkah kaki di luar pintu perlahan menghilang.

Gavin: "MC, aku lupa sesuatu."

MC: "Hm?"

Sesaat ketika aku hendak membuka pintu, Gavin bicara. Aku segera berbalik ... dan dengan sebuah tarikan kuat, Gavin memelukku. Dia menunduk ke bagian leher, bibirnya mengecup, mengisap ringan kulitku.

Syarafku menjadi sensitif seketika. Sentuhan itu seakan meresap dalam aliran darah, mendatangkan sensasi mati rasa.

MC: " ...!"

Gavin: "Jangan khawatir. Itu tak bisa terlihat."

Gavin berpaling. Matanya dipenuhi kilat kemenangan.

Gavin: "Aku hanya membuat tanda kepemilikan. Jadi, orang yang tidak dapat membedakan baik dan buruk akan tetap menjaga jarak."

(Putu: Maksudnya mengingatkan MC supaya tidak dekat-dekat cowok lain 😅)

MC: "Kau sangat egois!"

Gavin: "Jika menyangkut dirimu, aku memang egois. Kau juga boleh egois menyangkut diriku."

Dia telah mengenakan kembali jas luar "sang tuan muda manja". Dengan sebuah senyuman tegas, dia menarik pikiranku kembali.

MC: "Tentu saja harus boleh!"

Dengan wajah memerah, aku akhirnya menyeret langkah, memaksa diri untuk tidak kembali ke pelukan itu. Tanganku mencengkeram keras gagang pintu.

Detik berikutnya, ketukan datang di pintu.

(Seseorang): "Maaf mengganggu, Tuan Lin. Saya ingin tahu, apakah ini waktu yang tepat untuk bertemu?"

MC: "...!"

Terkejut, aku berpaling untuk melihat Gavin. Dalam beberapa detik, dia mengeraskan ekspresi seraya menarikku ke belakangnya.

Suara di luar sangat mantap. Seolah-olah, orang itu sudah lama mengetahui apa yang terjadi di ruangan ini.

Gavin: "Waktu ini sangat tidak tepat.

(Seseorang): "Saya khawatir perlakuan saya akan tidak bersahabat. Karena itulah, saya ingin bertemu secara langsung dengan Tuan Lin."

Gavin: "Caramu bertindak ini memang tidak bersahabat."

(Seseorang): "Saya ingin tahu, apakah Tuan Lin punya teman bermarga Bai?"

(Catatan Putu: Cheri menggunakan versi terjemahan lain, tapi, saya tetap menggunakan nama dan marga secara terpisah. Marga Gavin adalah Bai.)

Orang di luar terkekeh santai. Dalam pernyataan itu tertanam makna yang dalam.

Mendengar ini, Gavin menyipitkan mata. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel. Sepertinya, Gavin menyalakan perangkat komunikasi di telinganya.

Gavin: "Aku punya banyak teman bermarga Bai. Aku tidak tahu 'Si Marga Bai' siapa yang kau maksudkan itu."

Orang di luar pintu masih menolak melepaskan masalah ini. Suara berisik terdengar dari luar jendela. Jantungku kini berdegup kencang. Pikiranku berputar-putar mencari cara membantu.

Gavin: (berbisik) "MC, aku akan memikirkan cara meloloskanmu. Sisanya akan kutangani sendiri."

MC: "Dia menanyakan seorang 'teman' bermarga Bai. Jika dia sudah curiga, berada di kamar sendirian akan mendatangkan lebih banyak kecurigaan terhadapmu. Kau tidak mungkin tidak tahu hal ini, kan?"

Kutatap lekat-lekat wajah Gavin. Lelaki itu tidak menyangkal, hanya membalas tatapanku dengan sorot kalem.

Melalui bayang-bayang di antara sinar bulan, aku menatap diriku dalam cermin di kejauhan. Kutatap bekas ciuman di leher. Bekas yang tak terlihat orang namun tercetak jelas dalam hatiku.

Tiba-tiba, satu pemikiran muncul di benakku.

Terdengar suara berisik di luar pintu. Aku tak tahu apa yang dibicarakan pria di luar. Aku hanya mendengar dialog samar mengenai pengambilan kartu kunci.

Aku menendang, melepas sepatu hak tinggiku. Aku berbalik lalu menarik Gavin ke sofa di ruang dalam yang kecil. Kulepas jas luarnya lalu meletakkan tanganku secara serampangan di bagian belakang sandaran sofa.

Aku pun mendorongnya ke atas sofa.

Gavin: "...!"

Gavin jelas menjadi sedikit ngeri melihat tindakanku. Dengung elektronik samar yang melayang dari telinganya menjadi tidak terdengar.

Saat dia akan bangun dan mengatakan sesuatu, aku menutup mulutnya.

MC: "Percayalah padaku."

Sambil memikirkan ini, aku mengambil botol wine dari rak anggur di samping. Aku membuka botol lalu menuangkannya ke dalam gelas.

Aku melepas salah satu sarung tangan Gavin. Kugantikan sarung tangan itu dengan pita yang diambil dari mulut botol. Pita itu lalu kulingkarkan di pergelangan tangan Gavin.

Suara dari luar pintu semakin keras. Tanganku jadi gemetar tak terkendali.

Gavin: "Apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro