As You Wish : BAB 01

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa sih, Yang?" pertanyaan itu timbul untuk Mona begitu laki-laki di sebelahnya sadar bahwa ada sesuatu yang terjadi. "Kok jadi diam? Tadi kamu biasa aja."

Mona menoleh kepada laki-laki berkaus polo biru dongker tersebut. Senyumnya mengembang. "Nggak apa-apa," kilahnya lalu memilih untuk melanjutkan makan.

Kemudian selama sisa hari ini, satu-satunya hal yang Mona pikirkan adalah satu nama yang belum pernah hengkang dari benaknya, bagaimanapun caranya. Laki-laki yang selama ini Mona cari tanpa petunjuk. Laki-laki yang hari ini Mona temukan tanpa perjuangan.

Angkasa Putra Perkasa melintas di indera penglihatannya lagi setelah tiga tahun berlalu tanpa kabar.

"Yang," panggil Mona begitu ia menyelesaikan makan siangnya. Laki-laki yang sedari tadi setia duduk di sebelahnya menggumam, sesaat mengalihkan perhatiannya dari game online yang sedang ditekuninya. "Aku mau pulang sama Dara hari ini, boleh, nggak?"

Laki-laki tersebut diam sejenak. Ia menarik napas sebelum bertanya, "Emangnya kenapa? Kan ada aku, kok kamu malah mau pulang sama Dara? Lagian, emangnya Dara selesai kuliahnya bareng sama kamu? Bukannya enakan sama aku? Aku kan hari ini bawa mobil, kalau kamu sama Dara, naik TransJakarta emangnya nyaman?"

Pertanyaan bertubi-tubinya membuat Mona tak punya jawaban. Padahal alasan Mona ingin pulang dengan Dara hanyalah satu. Yaitu mempertanyakan kabar Angkasa. Angkasa yang selama tiga tahun terakhir ini tidak berjumpa dengannya, namun pada jam makan siang berjumpa dengan Dara.

Mona bahkan tidak pernah tahu kalau mereka tengah menuntut ilmu di almamater yang sama sekarang.

"Hei, kok ditanya malah bengong," ujar laki-laki yang kini semakin dekat jaraknya dengan Mona. Tangan kanannya mencolek dagu Mona, membuat gadis itu menoleh kepadanya dan memasang wajah datar. "Ada apa, Sayang?"

"Nggak apa-apa. Aku cuma lagi pengin pulang sama Dara aja," balas Mona sambil menyungging senyum. "Nggak boleh, ya?"

Randi—laki-laki berkaus polo biru dongker itu—menghela napas. Senyumnya ikut mengembang. "Ya udah, Dara ikut aja. Sekali-sekali nggak apa-apa Dara bareng. Lagian kan aku juga jarang bawa mobil ke kampus."

Tidak, Randi, bukan begitu.

"Nggak usah, Yang. Aku sama kamu aja. Aku juga belum bilang sama Dara, kok." Mona pada akhirnya memilih untuk mengalah. Karena tidak akan ada gunanya kalau Dara ikut pulang bersama Mona dan Randi. Karena Mona tidak mau Randi mendengar nama Angkasa disebut dari mulutnya.

Tidak akan.

✦ - ✦ - ✦

Monarisa : Hei, spa kabar?

Monarisa : Apa*

Tiga jam berlalu, Mona masih memandangi chat yang dikirimnya tersebut. Chat yang sedari tadi bertengger di bawah nama Randi yang selalu Mona pin di paling atas. Kalau Mona lihat, dua tahun lalu Angkasa pernah mengirimkan pesan kepadanya. Tapi tak pernah terbalas dan Mona lebih memilih untuk tidak masuk ke dalam hidupnya lagi.

Sebab mengejar Angkasa adalah hal yang sia-sia. Mungkin Angkasa benar, bahwa langit adalah tempat ternyaman bagi bulan. Namun satu yang saat itu tidak terpikirkan oleh Mona: di langit bukan hanya ada bulan, melainkan bintang yang jumlahnya milyaran; matahari yang jauh lebih bersinar; dan awan yang begitu teduh; atau terkadang pelangi, yang langka dan begitu cantik.

Bulan hanya sebagian kecil dari segalanya, bukan?

"Kenapa, sih?" tangan kiri Randi meraih tangan Mona, menggenggamnya erat, dan membuat Mona, tentu saja, terkejut sejadi-jadinya hingga langsung mengembalikan tampilan layar ponselnya ke homescreen. "Ada masalah?"

Mona mengukir senyum dan menggeleng. Mungkin tidak akan ada masalah, seandainya tadi Randi mempersilakannya pulang berdua dengan Dara.

"Beneran nggak ada, Yang?" tanya Randi lagi. Mona mengangguk. "Tapi kelihatannya nggak kayak gitu. Kamu kenapa? Kalau ada apa-apa, cerita aja."

Lantas Mona melepaskan genggaman erat Randi. "Nggak ada apa-apa, Sayang," dalihnya sambil memperlihatkan senyum kepada Randi yang memandanginya secara bergantian dengan jalan di depan. "Serius."

Melihat Mona tersenyum, Randi turut mengembangkan senyumnya. "Ya udah, iya," katanya. Pandangannya kembali fokus ke depan.

Percakapan mereka terhenti di sana. Mobil lantas hening.

Lima belas menit berselang, telepon dari Dara—orang yang sedari tadi Mona pikirkan selain Angkasa—membuat Mona maupun Randi menoleh ke ponsel Mona yang bergetar di pangkuan.

Mona menyapa dengan singkat, kemudian lantas diserbu ocehan heboh dan panjang dari Dara, "Na! Sumpah, lo tau nggak sih, kalau selama ini ternyata Angkasa sekampus sama kita?! Gue ketemu Angkasa, Na! Angkasa mantan lo!"

Tawa Mona terdengar sesaat. "Iya, Ra. Gue tau. Tadi gue lihat kalian di kantin. Tadi gue mau samperin lo, tapi gue lagi sama Randi, dan buru-buru juga karena habis makan siang ada kelas."

"Oh, gitu...."

Mona mengangguk meski Dara tak melihat. "Iya. Next time deh ngomonginnya. Gue lagi nggak mau ngomongin itu," balas Mona, yang jelas terdeteksi kebohongannya oleh Dara. Namun sebelum Dara sempat mengelak ucapan Mona, gadis itu lebih memilih untuk mengakhiri telepon, dan kembali menyimpan ponsel di pangkuannya.

"Kenapa, Yang?" tanya Randi serta-merta.

Kepala Mona menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Itu, si Dara ceritain pacar barunya."

Sayangnya untuk sekarang ini hanya itu yang terpikir oleh Mona untuk menjelaskan secara singkat apa yang barusan hampir jadi topik percakapan antara dirinya dan Dara. Kebohongan macam apa sih, ini? Sejak kapan juga Angkasa berpacaran dengan Dara?

Dan sekarang, dua pesan masuk ke ponsel Mona. Dari Dara, yang baru saja jadi tokoh dalam karangan Mona kepada Randi.

Aidara Amelia : Lagi sama Randi ya, Na?

Aidara Amelia : Buru-buru amat tutup telepon.

Monarisa : Iya. Takut Randi denger dan malah banyak nanya, Dar.

Aidara Amelia : Sori, deh. Gue nggak tau lo lagi sama Randi. Padahal gue lagi sama Angkasa, nih.

Sekarang pertanyaan Mona satu: kenapa jadi Dara yang sedang bersama Angkasa? Kan tidak mungkin mereka berjanjian untuk bertemu? Kalaupun mereka secara tidak sengaja bertemu, bagaimana bisa, di kawasan kampus yang seluas itu, mereka bisa saling menemukan untuk yang kedua kalinya dalam sehari?

Dan lebih parahnya lagi, Angkasa tidak membalas maupun membaca pesan Mona!

✦ - ✦ - ✦

"Ra, gerimis ya?" Angkasa menoleh sedikit ke penumpang di motornya. Yang ditanya menadahkan tangannya, merasakan rintik hujan turun sedikit demi sedikit. Gadis itu mengangguk. "Mau lanjut aja atau gimana? Di depan ada McDonalds, mau mampir, nggak?"

"Boleh. Gue juga laper, by the way." Dara menyahut tanpa berpikir panjang.

Dan itulah bagaimana mereka akhirnya berhenti di McDonalds dan berbincang lebih lama daripada tadi siang. Tentang Mona, tentang segala hal yang tidak pernah Angkasa tahu setelah keduanya tidak lagi berpapasan sejak kenaikan kelas sebelas.

"Punya pacar sejak kenaikan kelas dua belas. Berarti mereka sekarang udah jalan dua tahun lebih. Gitu deh," jelas Dara sambil menyuapkan nasi beserta ayam ke dalam mulutnya. "Tapi dulu waktu masih sekolah, ya gitu. Masih suka kayak nyariin lo gitu. Sekarang udah nggak. Entah karena emang udah nggak peduli, atau karena pacarnya yang kayak gitu."

Cerita itu mengalir. Selain fokus makan, Angkasa fokus mendengarkan cerita Dara, sampai makanan mereka habis, dan tersisa obrolan panjang tentang Mona yang selama ini sudah menghilang kabarnya dari telinga Angkasa.

Namun sayangnya Angkasa terlalu terlambat, kan? Mona sudah memiliki pacar. Sudah dua tahun berpacaran. Tidak mungkin Angkasa merusak hubungannya hanya dengan alasan status mereka masih menggantung dan belum pernah ada penjelasan.

Tidak mudah begitu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro