🥀2. Dua Lelaki🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bara memberikan senyuman lebar yang dibalas dengan tarikan tanggung bibir Ceci. Ekspresi anehnya tertangkap oleh Bara. “Gitu banget, Ce. Kek kecewa gitu tahu aku yang datang.”

Ceci meringis. Tak dipungkiri begitulah perasaannya. Namun, Ceci berkilah, “Nggak kok. Tumben tiba-tiba kamu datang nggak ngasih tahu.”

“Mau anter gudeg buatan Mami. Ini.” Bara menyodorkan rantang tupperware di hadapan Ceci.  

Ceci menerimanya dengan sungkan. Mengangkat sedikit rantang itu, aroma harum menyusup di penciumannya. Ceci mempersilakan Bara duduk di ruang tamu.

"Aku pindahin dulu, ya. Khawatir mamimu cari tupperwarenya." Ceci  pergi ke belakang, memindahkan gudeg buatan mami Bara di mangkuk sayur, lantas mencuci rantang. Tak lupa gadis itu membuatkan dua gelas es lemon untuk menjamu Bara. 

Sejurus kemudian, Ceci sudah membawa nampan berisi dua gelas minuman dan brownis yang dipanggang Ceci untuk menjamu Josua.  Dua jari yang menyangga baki terkait dengan pegangan rantang yang sudah kosong.

Melihat penampilan Ceci yang tampak lain dari biasanya—polesan make up dan tata rambut yang digerai—Bara menggoda sahabat baiknya. “Mau kencan nih? Nggak apa-apa aku di sini?”

Setelah meletakkan nampan dan rantang di atas meja, Ceci duduk, menyandarkan punggung dengan kasar di sofa kulit merah hitam. Tangannya bersedekap dengan satu kaki diangkat menumpu paha kiri. Bibir tipis Ceci sudah maju beberapa senti pertanda ada yang tak pas di hati. Sebagai sahabat sejak SMA, Bara sudah sangat hafal kebiasaan Ceci.

“Ck, kaya nggak tahu Bang Jo aja.” Bibir Ceci sudah memberengut. Wajahnya kusut seperti kain yang belum disetrika.

“Lah, kamu juga masih tahan sama Bang Jo. Seminggu lagi anniversary kalian, ‘kan?” Bara membungkuk, mengambil gelas berembun berisi es lemon.

Ceci mengerjap berulang. Gadis berparas tirus itu tak percaya, Bara mengingat hari jadiannya dengan Josua. Sementara Josua? Ceci bahkan tidak mengharapkan Josua bisa ingat hari penting mereka setiap tahun. Bila benar Josua mengingatnya, itu suatu mukjizat yang harus disyukuri.

“Kamu kok tahu sih, Bar?” tanya Ceci pada lelaki yang masih meneguk cairan lemon untuk menghapus gerah. Jakunnya naik tutun berulang menandaskan isi gelas.

Menyeka bibir, Bara kemudian berkata, “Ya, gimana nggak tahu? Orang dulu habis ditembak kamu langsung lari jingkrak-jingkrak terus cerita ke aku waktu kamu nunggu Bang Jo siap-siap mau nganter pulang.” 

Dentingan gelas yang beradu dengan kaca permukaan meja terdengar keras, menyambut cerita Bara yang membuat Ceci membeliak. Ia tak menyangka Bara mengingat sedetail itu kejadian lima tahun lalu.

“Kamu kok betah banget nunggu Bang Jo? Banyak loh yang nungguin kamu. Cewek secantik kamu yang menjadi Dewi di kampus dulu, pasti bisa mendapatkan cowok yang lebih baik dari Bang Jo.”

Tenggorokan Ceci tersekat. Lidahnya tiba-tiba kaku. Memang benar banyak yang mengejar dan menyatakan cinta, tapi hati Ceci sudah terpaut pada pesona Josua Sadewa. Bagi Ceci, Josua ibarat dewa yang berada di khayangan. Tinggi tak terjangkau. Ia selalu mengagumi sosok Josua, sejak awal masuk SMA. Bahkan supaya bisa bertemu dengan Josua lagi di bangku kuliah, Ceci mati-matian belajar sehingga bisa diterima di perguruan tinggi yang sama dengan Josua. 

Tak hanya itu, Ceci juga sengaja menjadi anggota UKM Paduan Suara Mahasiswa karena letak ruang UKM karate yang bersebelahan dengan UKM PSM. Dari jendela ruang PSM, Ceci bisa mencuri pandang Josua yang selalu rajin berlatih bersama teman-temannya. 

Enam tahun memendam rasa, akhirnya mimpi Ceci menjadi kekasih Josua terwujud. Walaupun hubungan mereka harus dimulai dengan keabsurdan sehingga membuat Ceci pantang menyatakan perasaannya secara tersurat.

Baru saat Ceci akan membuka mulut, suara Josua menggelegar memenuhi ruang tamu. “Sayangnya Ceci sudah cinta mati sama aku!” 

Kedua orang yang ada di situ menoleh dengan reaksi yang berbeda. Yang satu memelotot kaget, yang satu memberengut.

“Ck, Abang geer banget sih?” seru Ceci sambil memutar bola matanya.

Kebiasaan Ceci berdecak mengundang kuluman senyum Josua. Saking seringnya  terdengar suara mirip cicak yang keluar dari bibir Ceci, Josua menjuluki Ceci “Cicak”.

“Gimana nggak geer, orang kamu nu—”

“Ayo, Bang kita berangkat! Udah jam segini nih!” Ceci tiba-tiba berdiri. Ia tidak ingin Josua menceritakan keabsurdan kisah jadian yang tak boleh seorang pun tahu. "Sorry, ya, Bar."

Ceci bergegas ke dalam, untuk berpamitan dengan Ratna yang masih berkutat dengan benang akrilik merah maroon untuk membuat sebuah pouch

Setelah mengambil sling bag rajut di kamar, Ceci menyalami Ratna yang masih duduk manis di sofa depan televisi.

"Ma, Ceci berangkat, ya."

"Mau pergi sama Bara apa Bang Jo?" Ratna menerima uluran tangan Ceci. Gadis kurus langsing itu kemudian mencium punggung tangan mamanya

"Sama Bang Jo lah," jawab Ceci cepat. 

"Pulang jam berapa?" Ratna menaikkan kaca mata yang melorot dengan jari tengah kiri. Bayangan sosok anak tunggalnya kini lebih jelas tertangkap netra yang rabun dekat.

"Sore nanti." Ceci yang hendak berbalik, dipanggil lagi oleh Ratna.

"Ceci, jangan mampir-mampir—"

"Iya. Nggak boleh melipir ke hotel, karaokean, atau tempat-tempat remang. Jaga diri, jaga kesucian!"

Ratna mendesah. Saking sering memberi pesan, Ceci sampai hafal nasihatnya. Bagaimana pun sebagai seorang ibu, ia harus selalu mengingatkan putrinya agar tidak terjebak dalam kemaksiatan. Terlebih pacaran mereka cukup lama. Intensitas bertemu yang jarang, tak dipungkiri membuat Ratna lebih cerewet. Ia tidak ingin anaknya jatuh ke dalam dosa perzinahan. 

“Bilang sama Papa nanti, nggak usah telepon mulu. Ceci jadi nggak bisa menikmati kencan,” kata Ceci sambil memakai flat shoes biru yang senada dengan gaun yang dikenakan.

Tak memedulikan kecemasan mamanya, Ceci akhirnya keluar setelah memantas diri untuk terakhir kali di depan kaca bufet ruang tengah. 

***
Kedua lelaki yang duduk berdampingan tapi tanpa ada pembicaraan itu membuat suasana di ruang tamu membeku. Seolah tatapan mereka sama-sama ingin menyerang satu sama lain. Josua memang tidak suka bila Ceci terlalu dekat dengan Bara. Namun, bagi Ceci, Bara adalah teman baiknya yang selalu ada untuknya. 

“Kamu masih mau di sini, Bar? Papa lagi keluar tuh.” Ceci merasa tidak enak hati seolah mengusir Bara. Biasanya sambil menunggu Ceci, Arya senang menemani Bara bercakap-cakap. Bara pun pandai mengambil hati Arya. Bahkan Bara pernah memberi sepasang Love bird, kesukaan papa Ceci, sebagai hadiah ulang tahun.

“Nggak. Ini juga mau pulang. Makasi brownisnya, ya, Ce.”

Mereka pun keluar bersama-sama. Sebelum Ceci dan Josua berangkat, ia menunggu Bara berlalu dahulu dari hadapan mereka. Begitu mobil yang dikendarai Bara sudah menghilang berbelok di ujung gang, Josua menggandeng Ceci menuju ke mobil yang diparkir di bahu jalan gang kecil itu.

Hati Ceci menghangat tiap kali jemari kokoh itu berpaut dengan jari lentiknya. Sosok yang ia rindukan dan selalu dinanti itu kini ada di depan mata. Melihat punggung lelaki itu saja, batin Ceci lumer seperti es krim yang mencair. Ingin rasanya Ceci memeluk punggung Josua yang kekar. 

Namun, tiap kali jarak antara mereka terkikis, yang ada jantung Ceci akan berdetak semakin kencang hingga dadanya kembang kempis. Tak hanya itu, peluh tipis akibat reaksi tubuh yang grogi serta raungan nasihat Ratna di otak, membuat Ceci beringsut menjauh. Ceci takut, ia akan terjebak oleh manisnya feromon yang disebarkan  Josua. Ceci bisa saja lupa diri, melupakan norma dan menuruti hatinya. Tidak! Tentu saja itu tidak boleh terjadi. 

Prinsip yang Ceci pegang adalah memberikan kesuciannya pada saat yang tepat untuk orang yang tepat, setelah janji suci diberkati oleh Tuhan di depan altar gereja.

***
Kini mereka sudah duduk di kabin depan mobil. Hati yang kesal tersapu begitu saja sejak Josua datang. Ceci selalu merutuki ke–bucin–annya. Dari dulu hingga sekarang, Ceci selalu mendamba pemuda berhidung mancung dengan senyum menawan. Kulit kuning terbakar matahari itu membuat Josua terlihat jantan di mata Ceci. Belum lagi suara tenor Josua yang spesial selalu Ceci rindukan setiap waktu. 

Namun, ia hanya bisa memendam  semua rasa. Ia tak mau Josua berbesar kepala mengetahui kenyataan bahwa Ceci mengharapkannya. Walau sebenarnya begitu.

“Bang, tahu nggak seminggu lagi hari apa?” tanya Ceci saat mereka sudah berada di tengah keramaian jalanan kota Solo.

Josua yang masih fokus menyetir, menumpukan siku di pinggiran jendela mobil. Ia mengusap dagu yang tadi pagi sempat dicukur. Alis yang mengernyit menandakan bahwa lelaki itu tampak berpikir keras. Memang kelemahan Josua adalah mengingat hari-hari spesial. Jangankan hari ulang tahun Ceci, hari lahirnya saja dokter residen itu tidak hafal. 

“Ehm, apa, ya?” Josua menggigit bibir sambil melirik Ceci yang wajahnya mulai memberengut. Walau tak pernah marah, ia tahu Ceci kerap kesal dengan kebiasaannya. 

“Ulang tahun Binta?”

“Ck, ck, ck … Ngapain Kak Binta dibawa-bawa?”  Decakan berulang itu menguarkan tawa renyah Josua. Deretan gigi rapi yang putih membuat senyum yang membingkai wajah berahang tegas itu begitu manis.

Ceci meluruskan pandang. Bisa gawat kalau berlama-lama memandang senyum cantik yang dibingkai bibir merah alami itu. Ceci kadang berpikir, mami Josua dulu ngidam apa sampai bisa melahirkan anak lelaki gagah dengan komposisi lemak, otot, dan lekukan tulang wajah yang pas. Walau pun Ceci tahu, tak ada sesuatu yang sempurna, karena tetap saja lelaki itu mempunyai kekurangan.

Ngaret dan selalu lupa hari bersejarah mereka.

“Ehm, hari Sabtu, ‘kan? Sekarang Sabtu, seminggu lagi hari Sabtu.” Josua berusaha menebak.

Kali ini Ceci tidak bisa menahan bibirnya maju beberapa centi ke depan. Embusan kasar terdengar membuat Josua hanya bisa memijat tengkuknya seolah telah berpikir terlalu keras. 

“Abang Sayang, minggu depan ini hari anniversary kita. Masa iya lupa?”

Josua memukul dahinya memberikan ekspresi beloon yang mau tidak mau bisa mengembangkan senyuman Ceci. “Iya, Cak. Kok bisa lupa, ya?”

“Payah nih, Pak Dokter pikun!” ledek Ceci.

“Ya, kamu tahu sendiri. Bagiku hari apa pun sama saja. Sama-sama bawa hokinya sendiri. Mau hari biasa atau yang katamu spesial, yang jelas kita tetap bernapas, tetap makan, minum.”

“Ya, ‘kan Abang tahu aku suka merayakan hari-hari spesial dalam hidup.” Suara sopran yang merdu itu meninggi. 

“Seminggu lagi, ya?” Josua menelengkan kepala. Nada tinggi Ceci ditangkap sebagai alarm bahwa gadis di sampingnya ingin merayakan hari jadi dalam sebuah kencan khusus. 

“Abang sibuk, nggak bisa ngrayain?” Raut Ceci perlahan mendung.

Melihat mata belok yang mengharapkannya, Josua pun tersenyum dan mengelus rambut Ceci dengan lembut. “Iya, aku usahain—”

“Kok usahain sih? Wajib bisa dong! Please! Aku sudah minta tolong Bara cariin tempat yang oke buat acara kita.” Kedua telapak tangan Ceci menyatu sambil melayangkan pandang memohon kepada Josua.

“Lha kok Bara disebut?” Josua selalu bereaksi dengan nada tinggi bila nama Bara disebut.

“Dia nawarin resto maminya. Mayan loh, Bang. Mumpung ada promo!” kata Ceci dengan mata berbinar. Melihat kilat antusias dari netra Ceci, Josua hanya bisa pasrah. Ia tidak tega menolak, karena jadwalnya sangat padat sehingga tidak ingat acara spesial mereka. 

“Ya udah, kamu atur aja gimana enaknya,” jawab Josua kemudian.

“Ehm, Bang.” Ceci menggigit bibir. Ia masih menimbang-nimbang apakah perlu menceritakan percakapan sewaktu sarapan tadi.

“Apa?” tanya Josua tenang.

“Ehm … Nggak deh.”

Ceci membuang muka. Ia melipat bibir berusaha menahan lidah agar tidak membicarakan topik tentang lamaran. Tidak! Untuk yang satu ini, ia ingin Josua sendiri yang berinisiatif menaikkan status hubungan mereka, tanpa Ceci paksa.

Ah, kapan Abang nglamar aku? Sampai kapan aku harus nunggu??

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro