Bab 21. Kecewa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adistia tersenyum senang saat memeriksa laporan keuangan bulanan yang selalu rutin ditulisnya. Di sana, jelas terlihat data untuk pemesanan kue meningkat pesat. Bahkan omset untuk bulan ini dan bulan kemarin sangat jauh saat dibandingkan. Jika seperti ini terus, maka sebentar lagi dia bisa segera membuka toko fisik. Atau paling tidak, Adistia akan segera merekrut satu atau dua orang untuk membantunya di dapur. Jujur saja tenaga dan waktu yang dimilikinya kini mulai terasa kewalahan saat harus mengerjakan pesanan pelanggan seorang diri.

Selain pesanan yang sudah mulai bertambah secara nyata, Adistia juga berhasil membuat beberapa menu baru. Setiap satu minggu sekali, gadis yang lahir dan besar di Kota Tangerang itu selalu bereskperimen untuk menu-menu baru. Jika dulu hanya ada ayah, bunda, dan paling mentok Namira yang dipakainya untuk memberi saran pada kue buatannya. Maka kali ini bertambah, ada Evans yang selalu dimintainya untuk memberi saran juga. Sesekali pegawai kedai laki-laki itu juga Adistia mintai tolong untuk memberi masukan. Yang Adistia suka dari Evans adalah laki-laki itu selalu memberi komentar jujur untuk setiap kue yang dibuatnya. Jika ada yang kurang akan mengatakan apa kekurangannya sehingga Adistia benar-benar tahu jika tidak semua eksperimennya berhasil.

"Enak banget ini Dis." Komentar yang Rika berikan. Salah satu dari tiga pegawai yang Evans miliki itu Adistia mintai pendapat untuk souffle pancake yang coba dia buat. Adistia mencoba resep baru ini karena pancake khas Jepang ini sempat viral di media sosial. Banyak juga dari beberapa pelanggan yang menanyakannya. Alhasil setelah mencoba beberapa kali, jadilah pancake dengan tekstur lembut meski bentuknya tebal ini.

"Lembut banget," ujar Rika lagi sembari mengunyah kue di kotak kecil yang diterimanya dari Adistia.

"Ngomong-ngomong Mas Evans masih lama?" Adistia duduk di kursi tanpa lengan depan bar. Gadis itu sudah akrab dengan semua pegawai Evans karena kedatangannya setiap hari, dan juga karena statusnya sebagai pacar Evans membuat ketiga pegawai di sini menyambutnya dengan baik.

"Udah dari tadi sih jalannya, paling sebentar lagi pulang." Fadil yang menjawab, pemuda itu baru saja kembali dari toilet. Adistia pun langsung menyorongkan kotak berisi souffle pancake jatah Fadil.

"Wah, eksperimen baru lagi, nih?" tanya Fadil sembari mengambil kotak kue dengan kemasan cantik itu untuk dibuka.

"Yoi! Kalau semuanya bilang oke aku mau tambahin ke menu." Adistia mengembangkan senyumnya. Dalam benak membayangkan bagaimana komentar yang akan Evans berikan nanti. Rika mengatakan enak, dan Fadil pun langsung mengacungkan jempol setelah mencoba, tetapi Evans belum tentu seperti itu. Entah mengapa laki-laki itu memiliki lidah yang teramat tajam. Adistia pernah mengira jika dulunya Evans ini chef, tetapi ternyata bukan. Dulu laki-laki itu bekerja di sebuah perusahaan asing yang sama sekali tidak berhubungan dengan kuliner.

"Itu dia Bos Besar datang," celetuk Fadil, membuat kepala Adistia segera menoleh ke arah pintu, di mana Evans tengah berjalan masuk. Laki-laki itu tampak menenteng beberapa bungkus plastik yang entah berisikan apa.

"Udah lama?" tanyanya pada Adistia.

"Belum, Mas. Baru aja." Adistia menjawab dengan senyum tersungging manis.

"Dua jam buat Adis mah nggak lama kalau buat nungguin Mas Evans." Rika yang bersuara, sengaja menggoda Adistia.

"Apa sih Rik!" Adistia mengerucutkan bibir, lalu segera mengikuti langkah Evans saat laki-laki itu mengisyaratkannya untuk masuk ke ruangan pribadi.

*

"Beneran udah dua jam?" tanya Evans sembari menyalakan pendingin ruangan, lalu disibaknya tirai yang menutup jendela ruangan pribadinya. Terlihat langsung pemandangan jalan raya yang ramai dengan kendaraan. Kedai Evans memang berada di paling pinggir jajaran ruko memanjang yang dipenuhi oleh berbagai macam kantor juga usaha kuliner.

"Enggaklah lah, Mas. Rika aja didengerin." Adistia langsung duduk di sofa tanpa dipersilakan. Sudah terlalu sering mendatangi ntempat ini membuatnya tidak merasa menjadi orang asing lagi.

Evans pun segera duduk setelah mencuci tangannya di wastafel kecil yang berada di sudut ruangan. Laki-laki itu tersenyum, selalu suka saat melihat interaksi yang Adistia bangun dengan para karyawannya. Gadis ini selalu menebarkan suasana ceria, para karyawannya pun tampak sangat nyaman dengan kehadiran Adistia di kedainya. Tidak seperti Berlian—Evans mengehentikan pemikirannya tentang gadis itu. Jangan sampai sosoknya muncul tanpa diundang karena merasa terpanggil setelah melintas di kepalanya. Meski Evans tahu, jika Berlian tidak benar-benar menghilang. Gadis itu selalu mengirimkan orang yang berbeda untuk mengintainya setiap hari. Berlian tidak akan menyerah semudah itu.

"Hari ini aku bawa ini." Adistia mengeluarkan kotak kue yang dikhususkan untuk Evans. Isinya sama seperti yang diberikannya pada tiga karyawan laki-laki ini, hanya saja yang ini ukurannya sedikit lebih besar dan Adistia merasa bentuknya paling sempurna dari yang lain.

"Oh ini yang beberapa waktu lalu viral itu?" Evans mulai memotong pancake lembut itu dengan garpu yang sudah Adistia persiapkan.

Adistia hanya mengangguk, matanya awas menatap wajah Evans saat pancake itu sudah masuk ke mulut. Menunggu komentar yang akan laki-laki itu berikan, mungkin rasanya seperti ini saat menjadi salah satu peserta master chef. Bayangkan saja Evans ini adalah chef Juna. Yang akan memberikan komentar pedas jika makanan yang dirasakannya tidak sesuai ekspektasi.

"Gimana?" tanya Adistia penasaran.

"Lembut, enak." Evans kembali memotong pancakenya. "Aku nggak tahu kurangnya di mana karena nggak ada pembanding. Tapi dari pancake yang biasa aku makan ini lebih lembut teksturnya, dan enak menurutku."

Adistia melebarkan senyumnya, merasa sangat senang eksperimennya berhasil. "Layak jual, Mas?"

"Tentu saja." Evans tersenyum geli saat Adistia bertepuk tangan kecil untuk komentar yang diberikannya. Membayangkan ada Adistia setiap hari seperti ini, rasanya hidupnya yang sedikit kelam setelah kepulangan Mutia akan menjadi lebih berwarna. Laki-laki itu terlena untuk sejenak sebelum menghapus harap yang mulai muncul. Tidak, dia tidak boleh mengkhianati Mutiara sampai kapan pun. Dia akan selalu menjaga cinta ini sampai ajal menjemput nanti.

"Gimana pesanan, sudah mulai bertambah?" Evans mengalihkan pikiran dengan bertanya pada bisnis yang sedang Adistia rintis.

"Sudah, ini berkat Mas Evans juga," jawab Adistia sembari menyorongkan botol air mineral yang selalu disiapkannya untuk Evans. "Semenjak aku naruh brosur di sini, dan juga Mas bantuin promosi, pesanan naik banyak setiap minggunya."

"Berarti harus mulai perhitungan untuk rekrut pegawai."

Adistia mengangguk setuju. "Aku udah mikirin itu, mungkin bulan depan udah harus rekrut orang buat bantu-bantu. Dan berharap banget tahun depan udah bisa buka toko fisik."

"Pasti bisa, usaha nggak akan mengkhianati hasil." Evans menunjukkan senyum untuk Adistia. Gadis itu ikut tersenyum senang, membuat wajah manisnya semakin terlihat nyaman saat dilihat. Terbawa suasana, tangan Evans terulur begitu saja, ingin mengusap kepala Adistia. Namun segera laki-laki itu tarik saat sadar apa yang dilakukannya akan membuat salah paham.

Adistia yang melihat pergerakan itu sempat tertegun dengan dada yang mulai menunjukkan debar lembut. Namun sayang rasa kecewa itu harus hadir saat Evans menarik tangannya, dan segera bangkit dari tempatnya duduk. Setelahnya laki-laki itu menunjukkan aura keruh di wajahnya seolah-olah baru saja melakukan perbuatan salah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro