Bab 23. Tantangan ciuman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sial! Evans terus mengumpat kesal dalam hati karena kalimat tantangan dari Berlian tidak berhenti membuat ribut isi kepalanya. Gadis itu benar-benar mampu membuatnya terganggu dengan banyak cara. Di saat Evans pikir semuanya akan segera selesai, malah ada saja trik yang Berlian gunakan untuk mengacaukan keadaan.

Sebenarnya bisa saja Evans bersikap tidak peduli, dan menganggap tantangan dari Berlian adalah angin lalu. Namun bagaimana jika tantangan ini bisa benar-benar menghentikan kegilaan gadis itu? Bagaimana jika setelah melihat dia mencium—ah tidak, Evans menghentikan pemikirannya. Bahkan membayangkannya saja Evans rasanya tidak sanggup. Jika dia melaksanakan tantangan tersebut, bukankah sama saja dia mempermainkan perasaan Adistia?

"Kenapa lo?" Suara Arman menyentak fokus Evans yang sedang berdiri di depan jendela ruangan pribadinya. Laki-laki itu tampak kacau sekali saat ini. Seolah-olah tengah mendapatkan permasalah serius yang sulit sekali dipecahkan.

Arman langsung duduk di sofa tanpa dipersilakan. Laki-laki itu baru pulang kerja, dan masih mengenakan kemeja yang sudah tidak lagi rapi seperti pagi tadi.

"Tuh berkas yang lo minta." Arman mengeluarkan map cokelat dari tas jinjingnya saat Evans mendekat dan ikut duduk di sampingnya dengan wajah kusut.

Evans tanpa bersuara langsung mengambil map cokelat yang Arman berikan. Isinya adalah draft persyaratan untuk pengambilan pinjaman di bank tempat Arman bekerja. Evans memang sedang memerlukan modal tambahan untuk membuka sebuah kedai kopi mini. Target palanggannya kali ini adalah tempat biasa yang sering dipakai untuk nongkrong anak muda. Masih dalam tahap perencanaan dan juga perhitungan modal.

"Kayak abis kalah judi aja." Komentar yang kembali Arman suarakan karena sahabatnya ini tampak tidak fokus dengan kertas di tangannya. Mata Evans memang mengarah ke sana, tetapi hanya tatapan kosong.

"Gue lagi bingung." Evans sedang menimbang apakah perlu menceritakan perkara tantangan yang Berlian berikan pada Arman. Sebenarnya Evans bukan tipe orang yang senang membahas masalah pribadi jika tidak terlalu mendesak dan memerlukan bantuan. Apalagi sahabat yang dimilikinya semacam Arman, makluk yang sering tidak serius ini takutnya malah akan membuat pusing.

"Pegangan kalau gitu." Seperti ini contohnya, Arman mengatakan itu sembari tertawa kecil.

"Berlian ngasih gue tantangan konyol." Evans mengacak rambutnya merasa frustasi.

"Suruh nyium Adis?" Celetukan yang mampu membuat Evans terkejut. Bagaimana bisa Arman menebak hal ini tepat sasaran?

Arman malah kembali tertawa saat melihat Evans yang terkejut. "Pemikiran licik Berlian itu mudah ditebak," katanya seraya bangkit untuk memesan kopi. "Lo cium aja, Adis nggak bakalan nolak, yang ada dia makin klepek-klepek sama lo."

Evans berdecak kesal karena kalimat yang Arman katakan sungguh terdengar mudah saat dikatakan.

"Tapi inget," ujar Arman lagi sembari berdiri di ambang pintu ruangan kerja Evans. "Kalau sampai dia baper kejauhan, lo harus tanggung jawab," lanjut Arman lagi dan segera kabur saat melihat tatapan kesal Evans layangkan untuknya.

*

Adistia masuk ke kedai kopi Evans saat pelanggan sedang tidak terlalu ramai. Hanya ada dua pengunjung yang memilih duduk di dua sudut kedai dekat dengan jendela. Gadis itu melambai ke arah Fadil yang menyapanya lewat lambaian tangan juga. Lalu menoleh ke arah kanan, saat pemuda itu mengisyaratkan jika Evans ada di sana. Adistia segera melangkah ke arah Evans yang sedang sibuk dengan laptopnya. Terlalu serius sehingga tidak menyadari kehadirannya saat ini.

"Mas Evans lagi sibuk?" Adistia sedikit berbisik sembari menarik pelan kursi di seberang Evans. Namun hal tersebut malah membuat Evans terkejut.

"Eh, kamu sudah dateng?" Evans terlihat begitu gugup, sungguh tidak seperti biasanya.

Adistia mengangguk pelan, agak bingung dengan sikap yang Evans tunjukkan. "Mas Evans baik?" tanyanya sembari mengeluarkan salad buah yang dibuatnya kemarin. Sengaja tidak membawa tester kue karena sedang tidak ada menu baru yang dibuatnya.

"Baik, memang keliatannya gimana?" Evans memang menunjukkan senyum, tetapi entah mengapa bentuk senyum itu tidak seperti biasa. Evans terlihat seperti sedang memiliki banyak pikiran.

"Aku buatin salad buah, nggak tahu Mas Evans suka apa—"

"Suka," potong Evans cepat sembari menarik kotak salad yang Adistia berikan. Menyingkirkan laptopnya ke samping, Evans membuka penutup kotak plastik itu.

Adistia tampak senang karena semua makanan yang dibuatnya selalu Evans terima dengan baik.

"Emm, Dis," ujar Evans ragu. Sudah memutuskan untuk mengatakan tantangan yang Berlian berikan. Siapa tahu gadis di depannya akan memiliki solusi bagus. Dan semoga saja tidak tersinggung dengan apa yang akan diceritakannya.

"Ya? Kenapa?" Adistia memusatkan penuh perhatiannya pada Evans. Sikapnya ini tanpa disadari malah membuat Evans semakin gugup.

"Aku mau ngomong satu hal, tapi kamu jangan marah." Evans semakin ragu, tetapi tidak ada cara lain yang terpikirkan.

Adistia mengangguk pelan, dalam hati menebak-nebak apa yang akan laki-laki ini katakan sehingga bisa bersikap gugup seperti ini.

"Tadi Berlian datang lagi." Satu informasi yang Adistia tanggapi dengan anggukan pelan, gadis itu masih menunggu kalimat lanjutan dari bibir Evans. "Dan dia ngasih aku satu tantangan buat buktiin kalau kita ini memang beneran pacaran."

Adistia kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, kali ini sembari menebak tantangan apa yang kiranya gadis penganggu itu beri sehingga bisa membuat Evans sebingung ini.

"Dia ...." Evans tidak berani mengucapkan kalimat yang sudah berada di ujung lidah.

"Dia?" Adistia malah tambah penasaran dengan cara Evans yang menggantung kalimatnya seperti ini.

"Dia suruh aku nyium kamu," ujar Evans cepat sembari menatap takut ke arah Adistia yang tentu saja terkejut. Gadis itu llangsung melebarkan mata, dan yang tidak Evans ketahui, jantung Adistia kini berdebar cepat.

Evans menunggu tanggapan seperti apa yang akan Adistia berikan, tetapi hingga detik berlalu beberapa waktu, gadis itu masih diam. Seharusnya Evans paham jika informasi seperti ini tidak hanya mengejutkan, tetapi cukup membuat Adistia kelabakan, bingung harus menjawab apa.

"Harusnya aku tahu ini permintaan konyol, kamu lupain aja." Evans benar-benar merasa tidak enak hati, takut Adistia akan tersinggung.

"Setelah itu, apa Berlian bakalan berhenti?"

Evans yang sudah siap kembali fokus pada laptopnya untuk mengalihkan kecanggungan yang tercipta langsung menatap Adistia.

"Kalau memang bisa, aku nggak masalah." Adistia meringis ragu, tidak tahu apakah benar jika dia menyetujui saja apa yang Evans katakan.

"Kamu yakin?"

Adistia mengangguk yakin, bukankah Evans pernah menciumnya walaupun dibatasi tangan saat itu? Hari ini pun mereka bisa melakukan hal sama.

"Asalkan itu bisa—" Kalimat Adistia terputus saat tiba-tiba saja Evans berdiri, mendekat, dan langsung mendaratkan satu ciuman.

Mata Adistia melebar saat itu juga dengan jantung yang nyaris lepas dari tempatnya. Adistia pikir ciuman yang Evans maksud adalah di kening, pipi, atau bagian lain selain ... bibir. Ya Tuhan, bolehkah dia pingsan saat ini juga?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro