Bab 29. Kacau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku baru bikin menu baru. Mas Evans coba, ya, terus kasih komen jujur."

Evans menggeleng pelan saat kalimat dengan nada ceria serta senyuman itu terus saja memenuhi kepalanya. Mendadak layar laptop di depannya seperti penuh dengan wajah Adistia. Tidak boleh seperti ini, dia harus fokus pada pekerjaannya.

"Ini beneran Arman yang kasih ide nama kedainya, Mas?"

Evans mengerang jengkel karena kelakuannya sendiri. Mencoba untuk tetap fokus pada apa yang sedang dikerjakan. Laki-laki itu sedang membuat desain baru untuk media promo yang harus dipasang ke laman media sosial kedai kopinya.

"Kalau nama toko kueku sih aku sendiri yang punya ide. Lovely bakery, biar orang yang beli langsung jatuh cinta sama kuenya."

Menutup laptop, Evans tidak bisa melanjutkan apa yang sedang dikerjakannya. Mengembus napas kasar, laki-laki itu bangkit dari kursi ruang kerjanya dan melangkah ke luar. Tawa renyah Adistia langsung tertangkap gendang telinganya, dengan sigap laki-laki itu menoleh, berharap gadis itu ada di bangku depan bar tengah mengobrol dengan Fadil atau pun Rika. Namun yang didapatinya hanya seorang pelanggan laki-laki tengah mengobrol santai dengan Fadil.

"Dil, saya keluar sebentar," ujar Evans sembari melangkah.

"Mas mau jemput Adis?" Pertanyaan Fadil menghentikan langkah Evans, agak ragu laki-laki itu menoleh.

"Enggak, kenapa memangnya?"

"Kalau iya saya mau nitip ini." Fadil tampak mengambil sesuatu dari bawah, tas plastik berisi beberapa kotak makan pemuda itu tunjukkan padanya. "Ini punya Adis, kemarin bawa kuenya pake kotak makan."

Evans tertegun, tidak mungkin dia membawakan barang-barang itu pada Adistia langsung. "Taruh aja dulu, biar nanti dia ambil sendiri pas ke sini," ujar Evans sembari meneruskan langkah. Dalam hati bertanya-tanya, apakah Adistia akan kembali menginjakkan kakinya di kedai miliknya ini? Tertawa hambar dalam hati, laki-laki itu merasa konyol dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

*

Setelah melajukan mobil tanpa arah, akhirnya Evans menghentikan kendaraan roda empat itu di depan pemakaman umum. Tempat peristirahatan terakhir istrinya. Pagi tadi sebenarnya dia sudah ke sini, seperti rutinitas yang selalu dijalaninya setiap hari. Namun karena bingung harus ke mana untuk menghalau kekacauan yang ada di kepalanya, laki-laki itu memilih tempat ini untuk berkeluh kesah.

"Aku datang lagi," ujarnya sembari berlutut di depan makam. Bunga mawar segar yang tadi pagi dibawanya sudah sedikit layu karena ini memang sudah lewat tengah hari.

"Bunda yang suka banget mawar, makanya sampai ada kebun mawar di sebelah. Aku mah nggak hoki ngerawat tanaman, tim penikmat aja."

Evans tersenyum saat tiba-tiba suara Adistia kembali muncul, tetapi laki-laki itu langsung menggeleng pelan. Bagaimana bisa dia memikirkan gadis itu saat berada di tempat peristirahatan sang istri?

"Maafin aku, Yang. Aku nggak bermaksud buat geser posisi kamu. Kamu bakalan tetep ada di tempat paling istimewa di hati aku." Evans mengusap nisan bertuliskan nama Mutiara dengan perasaan sesak. Jika tahu semuanya akan menjadi sekacau ini, Evans tidak akan pernah menjadikan Adistia pacar pura-pura. Namun gangguan Berlian juga tidak jauh lebih baik dari ini. Jadi haruskah disesalinya pertemuan dengan Adistia? Padahal gadis itu sudah banyak membantunya.

Merasa perasaannya tidak lebih baik, Evans memilih bangkit. Tidak boleh terus berada di pusara sang istri, sementara pikirannya terus terisi oleh gadis lain. Bukankah itu sama saja sebuah pengkhiatan? Evans menghela napasnya yang terus saja terasa sesak, dengan langkah gontai laki-laki itu memilih untuk pergi.

*

Evans kembali kehilangan arah, dan kemudinya seperti memiliki pemikiran sendiri. Mobil yang dikendarainya kini malah berhenti di depan gerbang perumahan Adistia. Untuk apa dia ke sini?

Mata Evans tanpa sadar mengarah ke rumah dengan pagar hijau yang terlihat dari tempatnya. Itu rumah Adistia, kondisinya tampak sepi, kira-kira apa yang sedang dilakukan gadis itu saat ini?

Evans entah dengan kesadaran atau tidak melajukan mobilnya, memasuki kawasan komplek yang tidak terlalu ramai. Saat melintasi rumah Adistia, gadis itu tampak sedang membuka pintu sembari menenteng bungkusan plastik entah berisi apa. Apron warna cokelat masih gadis itu kenakan. Nyaris saja Evans menghentikan mobil, tetapi beruntung kesadaran muncul tepat pada waktunya. Sebelum mata Adistia mendapati mobilnya ada di sana, laki-laki itu langsung mempercepat laju kendaraannya.

"Gue lagi ngapain sebenernya?" gumam laki-laki itu bingung dengan kelakuannya sendiri. Evans pun melajukan mobilnya untuk kembali ke kedai. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, mungkin dia bisa bereksperimen untuk membuat racikan kopi terbaru. Yang jelas harus ada hal yang benar-benar bisa mengalihkan pikiran kacaunya saat ini.

*

Adistia mendesah lelah saat untuk ketiga kalinya dia gagal membuat brownies yang resepnya sudah sangat dikuasai. Sejak tadi ada saja masalah yang muncul. Entah lupa memasukkan telur, lalu lupa memasukkan pengembang. Dan yang terakhir, gadis itu salah memasukkan takaran garam yang dikiranya gula. Jika terus seperti ini maka pesanan kue hari ini tidak akan terselesaikan.

"Nggak boleh kayak gini terus." Adistia kesal pada dirinya yang terus saja meratapi patah hati yang kini tengah dirasakannya. Tidak menyangka sakit hati karena ditolak akan seperti ini.

Jujur saja sejak dulu dia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya ditolak karena memang belum pernah menyatakan perasaannya terlebih dulu. Dan kali ini Adistia sungguh menyesal sudah menyatakan perasaannnya pada Evans. Seharusnya kemarin dia langsung pergi setelah laki-laki itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan pura-pura yang mereka lakukan.

Saat ini Adistia tidak hanya patah hati, tetapi juga malu karena merasa sudah merendahkan diri sendiri. Padahal katanya di zaman sekarang seorang gadis menyatakan perasaannya terlebih dulu bukanlah masalah besar, tetapi untuknya hal tersebut tetap saja terasa aneh. Apalagi saat dia yang sudah melakasanakannya sendiri, Adistia rasanya ingin memutar waktu dan menarik kembali pernyataan sukanya. Mungkin jika dia pendam akan lebih baik?

Adistia memasukkan kue-kuenya yang sudah gagal ke dalam plastik, lalu berjalan ke luar untuk membuang semua itu ke tong sampah yang berada di luar. Sudah berapa banyak bahan yang harus dikorbankannya untuk hari ini? Setelah ini Adistia akan menghitung total kerugian yang ditimbulkan karena tidak bisa konsentrasi pada pekerjaannya.

Kepala Adistia bergerak ke arah jalan saat tiba-tiba saja sebuah mobil melintas kencang di depan rumahnya. Jantungnya sempat berdetak cepat saat sadar mobil itu terlihat tidak asing, tetapi saat yakin itu hanya halusinasinya saja, gadis itu memutuskan untuk membuang sampah dan masuk ke rumah. Untuk apa Evans datang ke rumahnya? Untuk sekadar lewat saja sepertinya tidak mungkin.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya saat baru saja Adistia menutup pintu. Itu pesan dari Namira yang lagi-lagi mengirim foto laki-laki baru.

Namira : Ini bule juga, nggak kalah ganteng dari dia. Namanya Bani, mau coba kenalan?

Adistia langsung menolak tawaran itu, tahu betul maksud baik sang sahabat. Ingin dirinya cepat move on dan tidak lama-lama berkabung dalam patah hati. Namun sayangnya hati Adistia belum tertarik untuk membuka kembali. Saat ini dia hanya ingin fokus pada bisnis kuenya. Biarkan sakit hati ini hilang dengan berjalannya waktu. Yah, gadis itu yakin jika nama dan wajah itu perlahan akan menghilang seiring berjalannya waktu. Sampai nanti ada seseorang yang akan menggantikan tempat di hatinya. 

***

Terima kasih banyak buat kalian yang sudah mampir ke novel ini. Semoga terhibur dan ceritanya berkesan, ya. 

Oh, ya, mulai besok cerita ini hanya akan update setiap hari Sabtu dan Minggu di Wattpad. Tapi tenang, kalian yang pengin baca duluan, bisa langsung meluncur ke KaryaKarsa karena di sana sudah update sampai bab 40, dan akan update setiap hari pukul 06.00 WIB sampai tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro