Bab 32. Terasa terjebak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Evans yang sedang berkonsentrasi dengan racikan kopi terbarunya mengabaikan panggilan yang masuk ke gawai. Apalagi saat melihat nama Arman terpampang di layar. Yakin sang sahabat tidak memiliki urusan penting jadi bisa dihubunginya lagi nanti jika dia sudah selesai dengan eksperimennya ini.

"Bunyi terus itu hapenya, Mas. Nggak diangkat?" Fadil yang sejak tadi mendengar getaran ponsel milik Evans ikut melongok ke arah gawai bosnya tersebut. "Mungkin penting," lanjutnya karena Evans malah seperti tidak peduli.

"Dia hari ini libur, jadi saya yakin nggak ada yang penting," jawab Evans masih berkonstrasi pada kegiatannya.

"Tapi saya yakin nggak bakalan berhenti kalau nggak diangkat." Fadil meringis saat panggilan kembali masuk, membuat suara berisik walaupun Evans mematikan nada pada ponselnya. Namun bunyi getaran itu tetap saja menganggu.

Evans yang tidak lagi bisa berkonsentrasi akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut. Penasaran juga apa sebenarnya yang diinginkan Arman.

"Kenapa?"

"Woy, selow Bro, selow." Sahutan yang Evans terima dari seberang, bertambah yakin jika Arman tidak memiliki sesuatu yang penting untuk dibicarakan.

"Kalau nggak ada yang penting gue tutup." Evans sudah nyaris memutus sambungan secara sepihak, tetapi urung saat Arman mencegahnya.

"Tunggu dulu, dong. Belum juga selesai ngomong, entar nyesel lo."

Evans mendengkus malas, lalu menunggu kalimat apa yang akan Arman ucapkan.

"Ada yang mau ketemu sama lo."

Evans tidak langsung menjawab, berharap Arman memberitahunya siapa orang yang dimaksud.

"Nggak nanya siapa?"

Evans mengembus napas jengah. "Kalau berbelit-belit mending gue matiin," katanya sembari memencet icon merah untuk benar-benar mematikan sambungan. Yakin jika Arman akan kesal, tetapi Evans tidak peduli. Sahabatnya itu pasti hanya sedang mengerjainya saja.

Kali ini bukan panggilan yang masuk, tetapi denting pesan. Tidak hanya satu atau pun dua, melainkan banyak sekali pesan yang masuk. Evans hanya meliriknya melalu notifikasi yang keluar di pop up.

Arman : Yakin nggak penasaran?

Arman : Dia ini orang dari masa lalu lo.

Arman : Lo bakalan kaget kalau liat orangnya.

Arman : Bisa dikatakan orang penting. Bakalan buat mood lo yang ancur-ancuran beberapa hari ini membaik.

Arman : Cemen kalau sampai nggak berani dateng.

Arman : Gue pastiin lo bakalan nyesel kalau sampai nggak dateng.

Lalu pesan yang terakhir berisi lokasi tempat Arman berada saat ini. Fadil yang diam-diam ikut membaca pesan yang muncul menahan tawanya. Kelakuan sahabat bosnya yang satu ini memang sedikit ajaib, entah apa yang sebenarnya laki-laki itu rencanakan kali ini.

"Orang gila," desis Evans menyudahi kegiatannya. "Kamu coba, Dil." Laki-laki itu menyorongkan racikan baru kopinya yang bisa dibilang kekinian. Target pasarnya yang kebanyakan anak muda mengharuskan Evans untuk tidak tertinggal perkembangan zaman. Dari mana pun dia berusaha mencari inovasi terbaru kopi. Dan lebih seringnya melalu media daring.

"Enak, Mas." Fadil terus menyesap kopi dingin yang baru saja Evans racik. Rasa kopinya ringan, sangat cocok untuk remaja yang biasanya nongkrong di kedai mereka hanya untuk menikmati wifi gratis.

Evans kembali melirik ponselnya saat benda pipih itu terus mengirimkan pesan dari orang yang sama.

"Nggak bakalan berenti kalau nggak ditanggepin itu." Fadil terkekeh geli sembari melangkah menjauh untuk memberikan bosnya privasi.

Evans yang merasa kesal dan akhirnya penasaran dengan rencana apa yang sebenarnya sedang Arman susun mengirim pesan balasan jika dia akan datang. Baru saat pesan itu terkirim, ponselnya diam untuk sesaat. Sebelum Arman mengirimkan beberapa pesan untuk memastikan Evans tidak berbohong.

"Dil, saya keluar sebentar, ya." Evans mengambil kunci mobilnya yang tersimpan di laci.

"Oke, Mas."

"Nanti kalau ada yang nyari bilang aja suruh hubungin saya." Evans menunjukkan ponselnya yang langsung dijawab anggukan paham oleh karyawan kepercayaannya itu.

Evans melangkah keluar dari kedai sembari menyapa satu dua pelanggan yang sering datang ke kedai dan secara tidak langsung dikenalnya. Menjadi pemilik yang ramah juga salah satu kunci sukses kenapa kedainya ini ramai oleh pengunjung.

*

Evans melajukan kendaraan roda empatnya untuk membelah kemacetan yang terjadi di akhir pekan ini. Belum terlalu parah karena ini masih siang menjelang sore. Kemacetan parah biasanya akan terjadi malam nanti karena ini malam Minggu. Jalanan biasanya dipadati oleh muda-mudi yang akan menghabiskan waktu bersama. Tidak hanya jalanan, bangku-bangku di pinggir jalanan pun biasanya akan penuh dengan jajaran remaja yang saling duduk berhimpitan. Terkadang terlihat miris, andai saja yang duduk seperti itu adalah salah seorang yang dikenalnya pasti akan langsung dirinya tegur.

Ponsel Evans kembali bergetar, menandakan telepon masuk dari Arman lagi. Kali ini Evans memutuskan untuk mengangkatnya, dan menyalakan loudspeaker, meletakkan ponsel di dasboard mobil.

"Gue masih di jalan, macet."

"Jangan boong aja lo, takutnya lo mendadak jadi cemen."

Evans mematikan sambungan karena kalimat Arman sungguh tidak penting. Laki-laki itu segera membelokkan mobilnya ke sebuah kafe baru yang alamatnya tadi Arman berikan. Memarkirkan mobil, lalu turun masih dengan perasaan tenang. Evans sama sekali tidak bisa menebak siapa kiranya orang yang Arman bawa hari ini. Orang penting dari masa lalu, sepertinya dia tidak memiliki urusan penting dengan seseorang di masa lalunya.

Evans mendorong pintu kaca di depannya, mencoba mengedar pandang untuk mencari sosok Arman. Dan terlihatlah laki-laki itu yang tengah melambai ke arahnya. Evans sudah berniat menghampiri, tetapi tiba-tiba saja ponselnya bergetar, satu panggilan masuk dari mamanya.

Evans pun kembali keluar tanpa menyadari ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasinya. Tepatnya seorang gadis yang duduk di seberang Arman. Mata Evans belum menangkap sosok yang sengaja menyembunyikan diri di balik tubuh Namira itu.

"Halo, Ma."

"Vans, kamu pulang malam?"

Evans melirik arlojinya sebelum menjawab. "Nggak tahu, ini Evans lagi diluar. Kenapa?"

"Ada yang mau Mama titip, nanti Mama kirim ke pesan, ya?"

"Oke, ada lagi?"

"Nggak ada, itu aja. Tapi jangan lupa, ya."

Evans mengiyakan lalu segera menutup sambungan telepon. Pesan dari Arman masuk, sahabatnya itu mengira dirinya pergi.

Arman : Lo jangan kayak gitu banget lah Vans, kayak lihat kuman aja langsung pergi.

Mengabaikan pesan itu Evans kembali mendorong pintu kaca untuk masuk. Melangkah mendekat ke arah Arman duduk bersama dengan dua orang—langkah Evans terhenti saat sosok itu akhirnya terlihat. Rasa rindu yang mampu tertimbun selama beberapa hari ini mencuat ke permukaan begitu saja. Apalagi saat tatapan mereka beradu di udara untuk sekian detik, Evans bisa merasakan debaran lembut di dadanya semakin menguat. Apalagi saat sosok Adistia langsung memalingkan wajah, tidak ada senyum ceria yang muncul seperti biasanya. Tidak hanya detak jantungnya yang bergerak cepat, tetapi Evans juga merasakan sedikit nyeri karena keceriaan itu tidak lagi ada.

Saat itu juga hati Evans berperang, antara ingin maju atau mundur. Namun, untuk mundur sepertinya bukan keputusan yang baik. Setidaknya untuk hari ini saja, biarkan dia mengisi ruang rindu yang muncul begitu melihat wajah manis itu. Siapa tahu dia juga bisa memperbaiki hubungan mereka. Yah, walaupun tetap saja tidak akan ada masa depan, tetapi menjadi teman Evans rasa juga bukan keputusan yang salah. Berharap Adistia kali ini mau menerima tawaran itu. 

***

Terima kasih yang sudah mampir dan kasih vote. :)

Oh ya, novel ini sudah tamat di KaryaKarsa. Jadi buat kalian yang mau baca lebih cepat bisa meluncur ke sana, ya. Keuntungan membaca di KaryaKarsa kalian akan terhindar dari gangguan iklan. Jadi kalian akan mendapat kenyamanan lebih, yuk langsung meluncur. :)

Spoiler Bab 33. Resah

"Bakalan gue teror sampai dia beneran dateng." Celetukan Arman menyita fokus Adistia yang sempat teralih pada keributan yang kini menguasai kepalanya. Ditatapnya wajah Arman yang kini tampak menunjukkan senyuman miring dengan jemari sibuk mengetikkan sesuatu pada layar ponsel. Entah apa yang sebenarnya tengah dilakukan tunangan Namira itu saat ini.

"Mir, gimana kalau dia marah nanti pas lihat gue?" keluh Adistia pada Namira yang juga tengah sibuk dengan ponselnya. Gadis itu sedang membuka aplikasi sebuah marketplace.

"Nggak bakalan, tenang aja," ujar Namira santai masih dengan mata tertuju pada layar ponsel. "Tujuan kita itu baik kok," lanjutnya sembari melirik sepintas pada Adistia yang masih menunjukkan wajah gelisah.

"Baik di sisi mananya? Kalau nanti sikap dia nggak baik, lo mau tanggung jawab kalau gue kacau lagi dan berakhir nggak bisa ngerjain kue kayak kemarin-kemarin? Pesanan gue lagi banyak Mir." Adistia mendesah kesal, meski sebenarnya juga penasaran dengan apa yang Arman ucapkan tadi. Informasi yang mengatakan jika Evans juga sekacau dirinya karena perpisahan mereka. Benarkah seperti itu? Atau bagaimana jika ternyata Arman hanya salah paham? Evans kacau karena hal lain, rasanya sulit dipercaya jika laki-laki itu kacau karena dirinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro