Bab 37. Kembali diusik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jebakan Arman sungguh berhasil mengacaukan perasaan Evans yang sebenarnya tidak bisa dikatakan baik. Hanya saja akhir-akhir ini laki-laki itu sudah mulai bisa menekan diri untuk tidak terus larut dalam kecamuk hebat yang sering muncul di kepalanya. Tentang rasa benar dan salah akan perasaannya terhadap Adistia.

Evans sudah berhasil melarikan diri pada pekerjaan walaupun tidak sepenuhnya berhasil, tetapi paling tidak dia bisa menahan diri untuk tidak larut dalam kerinduannya akan sosok itu. Namun semua keberhasilan yang bahkan tidak menyentuh 50% itu harus hancur dalam sekejab. Kini benaknya terus dipenuhi oleh Adistia. Wajah kecewa gadis itulah yang terus mendominasi. Sikap dinginnya sungguh membuat keresahan di hati Evans terus muncul.

"Mas!" Teguran itu menyentak fokus Evans yang sejak tadi tanpa sadar terus melamun. Hanya melihat seorang gadis dengan postur tubuh seperti Adistia di kejauhan saja mampu menyita seluruh perhatiannya. Lawan bicara yang sedang mengajaknya ngobrol sama sekali tidak terdengar suaranya.

"Mas Evans sepertinya sedang tidak bisa fokus, Mas sakit?" tanya pemuda di sampingnya. Rudi, pegawai baru yang akan menjadi penjaga stand kedai mininya. Rencana cabang baru kecilnya ini akan buka mulai dua hari lagi, dan hari ini Evans sedang memastikan jika semua yang dibutuhkan sudah lengkap.

"Saya nggak papa." Menarik napas, Evans berusaha untuk fokus pada apa yang sedang dikerjakannya. Laki-laki itu kembali memeriksa kedai mini yang didesain seperti kotak kontainer. Nantinya akan diletakkan dua meja tepat di depan kedai. Lokasinya yang tidak jauh dari sebuah kampus Evans perhitungkan akan membuat kedai mininya ini memiliki target pembeli anak kuliah. Menu yang disediakan di sini akan lebih kekinian sesuai selera anak muda zaman sekarang.

*

Evans kembali ke kedainya yang berada di Alam Sutera setelah tadi sempat melihat sebentar kedainya yang berada di Jakarta Selatan. Semuanya masih berjalan sesuai kendalinya dan kini Evans hanya membutuhkan istirahat. Terik matahari di luar begitu menyengat, membuat kepalanya terasa sedikit pusing.

"Dil, buatin saya minuman dingin, ya!" katanya pada Fadil, dan segera masuk ke ruangannya sebelum pemuda itu sempat merespon.

Evans langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang sembari memejamkan mata. Menutup wajahnya dengan lengan untuk menghalau pusing yang menyerang.

"Taruh situ aja, Dil," ujar Evans saat dirasakan seseorang masuk ke ruangannya yang memang sengaja tidak ditutup. Namun aroma parfum yang sudah lama sekali tidak dihidunya menyergap indera penciuman, mendadak pikiran Evans tidak nyaman. Laki-laki itu pun dengan terpaksa mengangkat lengan untuk memastikan jika kini apa yang ada di pikirannya salah. Akan tetapi, sosok itu malah benar-benar ada di sana.

"Mau apa kamu?" tanya Evans dingin pada sosok Berlian yang kini sudah duduk manis di sofa single berseberangan dengannya.

"Kangen kedai, memang nggak boleh mampir?" Gadis itu ntampak mengedar pandang, ada secuil senyum yang sejak tadi terus saja muncul.

"Mas, ini minumnya." Fadil masuk sembari membawa segelas es kopi. Tidak tahu Evans ingin minum apa jadi dibuatkan saja minuman dingin itu.

"Kamu tahu kalau ada tamu, tapi bawa minumnya cuman buat bos kamu aja?" cibir Berlian saat melihat Fadil hanya membawa satu minuman. "Pegawai kayak gini masih kamu pertahankan?" Kali ini mata Berlian menatap Evans yang sedang bangkit dari posisi tidurnya.

Fadil yang sudah tahu sifat Berlian hanya tersenyum, lalu menanyakan apa yang ingin gadis itu minum. Segera keluar setelah Berlian meminta untuk dibuatkan jus.

"Kalau nggak ada kepentingan mending kamu pergi. Kerjaanku lagi banyak banget hari ini, nggak bisa diganggu." Evans bangun dari duduknya setelah meminum es kopi, lalu berpindah duduk di belakang meja kerjanya. Membuka laptop, berharap gangguan yang datang di waktu tidak tepat ini segera lenyap dari hadapannya. Akan tetapi, bukan Berlian jika langsung menuruti perkataan Evans.

"Ketus, banget, sih? Padahal aku juga nggak ganggu," ujar Berlian sembari ikut pindah posisi duduk. Menarik kursi di seberang meja kerja Evans untuk duduk. "Aku ke sini cuman mau berbagi informasi aja kok."

Evans hanya mendesah kecil, fokus pada layar laptop di depannya yang sedang menunjukkan jajaran angka. Tidak peduli sama sekali dengan informasi yang akan Berlian bagikan.

"Kamu nggak penasaran?" Berlian memajukan badannya untuk menarik perhatian Evans, tetapi laki-laki itu tidak sedikit pun mau melihatnya. Meski kesal, tetapi Berlian menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang mendadak muncul.

"Katakan apa yang perlu kamu katakan, lalu kalau sudah segera tutup pintu dari luar." Evans hanya menatap Berlian sekilas, sedikit jengah dengan pakaian gadis itu yang sangat terbuka saat ini. Drees yang dikenakan memang tidak ketat, bahkan panjangnya sampai ke lutut. Akan tetapi belahan dada yang terlalu rendah itu membuat Evans sedikit risi dan tidak nyaman untuk menatap ke depan.

Berlian mengangguk, lalu berujar, "Aku udah tahu dengan jelas apa yang terjadi sama Mas Evans dan cewek itu."

Evans menghela napas, tidak berniat menanggapi. Mata laki-laki itu masih fokus pada layar di depannya. Dalam hati sudah mulai bisa menebak topik seperti apa yang akan Berlian bangun sebagai cara untuk memprovokasinya sekarang. Ternyata gadis ini menghilang bukan untuk menyerah, tetapi menyiapkan senjata untuk menyerangnya.

"Kalian hanya pacaran pura-pura, dan Mas Evans nggak bisa nyangkal. Kalian baru kenal beberapa hari saat Mas ngajak dia ke rumah." Berlian tersenyum puas seolah-olah sudah memiliki kartu mati milik Evans.

"Dia butuh pacar pura-pura karena mau batalin perjodohan." Bukan perkara sulit untuk mendapatkan informasi ini. Berlian cukup mengeluarkan dana untuk membayar orang, mencari tahu siapa sosok Adistia sebenarnya.

Evans masih diam, tetapi mata laki-laki itu kini mengarah pada Berlian. "Lalu, kalau kamu sudah tahu mau apa?"

"Aku memang sengaja bekerja sama dengan Adis biar bisa nyingkirin kamu dari hidup aku. Karena apa? Aku muak sama semua gangguan kamu itu. Harusnya kamu sadar diri, kan?" ujar Evans lagi, sengaja berkata pedas agar kali ini Berlian tahu jika dia tidak menyukai semua yang gadis itu lakukan.

Berlian yang merasa tersinggung oleh ucapan Evans mencengkeram tali tas yang disandangnya untuk menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul. "Tapi bukan cuman aku yang Mas bohongin," katanya sembari menahan diri untuk tetap terlihat santai.

"Itu bukan urusan kamu," balas Evans dingin.

"Apa Mas nggak takut kalau aku bakalan bongkar semua ini ke Tante Witri?" Seringai licik gadis itu tunjukkan. "Aku nggak bisa bayangin gimana kecewanya beliau kalau tahu anak kesayangannya ini udah nipu dia."

Evans menghela napas, nyaris terpancing emosi, tetapi masih bisa tertahan. "Terserah kamu mau ngapain juga."

"Nggak usaha pura-pura santai gitu, aku tahu Mas takut, jadi ikutin saja permainan aku, gimana?"

Evans mendengkus sinis, memilih mengabaikan apa yang Berlian ucapkan.

"Aku punya bukti kuat kalau Mas Evans itu beneran hanya pacaran pura-pura sama Adis," ujar Berlian sungguh-sungguh. "Jadi kalau mau bukti itu nggak jatuh ke tangan Tante Nawitri, Mas bisa terima tawaran aku," lanjutnya dengan senyuman lebar.

"Mas harus jadiin aku pacar, dan kasih aku kesempatan untuk bisa deket sama Mas lagi."

***

Si Biang Kerok muncul lagi, siap-siap emosi jiwa, ya. :D

Yang mau baca lebih cepat bisa langsung ke karyakarsa karena cerita ini sudah tamat di sana. 

Akun Karyakarsa - ayaarini236

Sampai jumpa besok pagi :)

IG - dunia.aya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro