Bagian 18: Kesatria, Putri, dan Obat Nyamuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berhenti dan menoleh pada Ivan. Pandangannya tampak serius.

Aku kembali duduk. Asal tak cuma buang-buang waktu, tak ada salahnya mendengar ceritanya.

Ivan menghela napas panjang dan mulai berbicara.

"Berdasarkan survei yang kulakukan, perbandingan antara dukungan siswa untukku dan untuk Rendy adalah tiga puluh banding tujuh puluh persen. Rekam jejak Rendy juga jauh lebih baik daripada aku. Peringkat satu paralel dua tahun berturut-turut, peraih medali emas OSN Fisika, dan di ekskul, klub drama yang ia pimpin sangat populer dan punya banyak prestasi."

Tiba-tiba aku merasa seperti mendengarkan siaran berita pilkada.

"Sejak aku mengajukan diri menjadi calon ketua OSIS," lanjut Ivan, "aku sadar bahwa aku tak dapat mengalahkan Rendy dengan cara biasa. Karena itu, aku butuh bantuan Alin. Sejak masuk klub, ia sibuk mencari tahu tentang misteri di balik kematian Kak Ratna, termasuk keterlibatan Rendy dalam kasus itu."

"Jadi intinya, Kakak ingin menemukan borok Kak Rendy, sehingga Kakak dapat menjatuhkan reputasinya?"

Ivan hanya tersenyum.

"Lalu apa hubungannya denganku?" tanyaku. "Kakak sudah jadi pacar Alin. Tinggal bilang padanya, beres, 'kan?"

"Itu tak sesimpel yang kaupikirkan." Senyuman di wajah Ivan menghilang. "Sekitar sejam sebelum debat tadi siang, Alin mengajakku bicara empat mata. Penampilannya kacau sekali, tahu? Ucapannya juga tidak masuk akal. Tiba-tiba dia datang, lalu memintaku menjadi pacarnya. Dia bilang jika aku bersedia, dia bakal membantuku memenangkan pemilos—tepat di saat aku membutuhkannya."

Rupanya bukan cuma aku yang jadi sasaran manuver Alin tadi pagi.

"Lantas, di mana letak masalahnya? Bukannya itu bagus untuk Kakak?"

"Masalahnya, ucapannya terlalu mendadak. Sebelumnya aku sudah berkali-kali membujuknya, tapi selalu gagal. Namun, tiba-tiba dia berubah pikiran, dan memintaku menjadi pacarnya?" Ivan menghela napas. "Di satu sisi, aku merasa seperti baru menang lotre. Di sisi lain, situasi ini sangat tidak nyata sampai-sampai membuatku takut. Belum lagi sorot mata Alin saat itu tak seperti cewek yang menembak cowok atas dasar cinta. Tatapannya lebih mirip begal. Seolah-olah dia bakal membunuhku kalau aku menolak. Saat kutanya kenapa, dia cuma bilang, 'Diam dan ikuti perintahku kalau Kakak ingin selamat.'"

Ah, kurasa aku mulai mengerti perasaan Ivan.

"Pada saat yang sama, aku tak bisa menghubungi Diaz, dan Pink Blazers bergerak untuk kembali merekrut Feli. Alin mungkin tak memberitahuku, tapi aku yakin ini pasti ada hubungannya dengan Rendy ..." Ivan menengok kanan-kiri, "dan Tomcat," sambungnya lirih.

Ivan menyatukan kedua tangannya, lalu mengepalkannya di atas meja. Jari-jarinya gemetaran.

"Grey, kau teman dekat Alin, 'kan? Apa kau tahu apa yang telah Alin lakukan?"

Ucapan, raut muka, dan gerak tubuh Ivan kompak menampilkan kengerian. Sepertinya ia masih belum tahu baik soal Mas Diaz maupun rekaman Alin. Namun, seminim-minimnya informasi yang ia ketahui, ia tetap ketua klub Jurnalistik. Lebih baik aku bermain aman. Aku belum tahu apakah ia berbahaya atau tidak.

"Maaf, tapi aku dan Alin tak sedekat itu. Kami cuma pernah sekelas saat SMP. Tak lebih. Aku tak pernah tahu apa yang sedang ia pikirkan atau yang telah ia lakukan."

"Bohong," bantahnya. "Kemarin kau mengajak Alin ke rumahmu saat orangtuamu tak di rumah. Kau membiarkan Alin memakai kamarmu, kamar mandimu, dan kau bahkan meminjamkannya baju ibumu. Aku tak tahu apa yang kalian berdua lakukan di rumahmu malam-malam. Tapi apa kaupikir sepasang cowok dan cewek yang tak punya hubungan spesial bakal melakukan itu?"

"What the fuhuk! uhuk!" Aku tersedak ludahku sendiri. "Kau tahu dari mana?"

"Pak Seta."

Roy adalah om-om paling kampret, paling sompret, dan paling sontoloyo yang pernah kukenal!

"Dengar, Grey, aku tak peduli apakah kau dan Alin bercinta diam-diam atau—"

"Kami tidak bercinta diam-diam!" bentakku. "Bilang pada Pak Seta agar tak menyebar gosip sembarangan!"

"Tapi kemarin Alin memang di rumahmu, 'kan?"

Aku tak bisa membantah bagian itu.

"Aku tak peduli sedekat apa hubunganmu dengan Alin. Yang jelas, tidak mungkin kau tidak tahu sesuatu tentang dia," tukas Ivan. Ia menatapku, mukanya memelas. "Tolonglah, Grey, aku tak tahu harus bertanya pada siapa lagi."

Cowok ini sepertinya tidak tahu kapan harus menyerah.

"Oke," kataku, "tapi info yang kukasih tidak gratis. Kalau Kakak mau mendengar versi lengkapnya, Kakak harus membayarku segini."

Aku mengangkat kelima jari tangan kananku.

"Lima ribu?" tanyanya.

"Lima ratus ribu."

Ivan mengernyitkan dahi. "Kau mau memerasku ya?"

"Itu tak sebanding dengan risiko yang bakal kuterima. Hidupku terancam jika aku membocorkan rahasia ini."

Paling baik, foto tadi pagi tersebar dan kehidupan sosialku hancur. Paling buruk, aku bisa kehilangan nyawaku.

"Aku tak mau menghabiskan uang untuk sesuatu yang tak penting."

Ucapannya membuat telingaku geli.

"Jadi Kakak lebih suka menghabiskan uang klub untuk sesuatu yang penting, ya? Sepenting pesta konyol ini?"

Ivan cemberut. "Aku tak suka nada bicaramu."

"Aku juga tak suka dengan tampangmu."

Aku beranjak.

"Sebentar!" Ivan meraih lenganku. "Kasih tahu sedikit tentang informasi yang kaupunya. Jika itu menarik, aku akan mempertimbangkannya."

Sungguh? Aku bahkan sama sekali tak berniat untuk memberi tahu apa pun. Kukasih saja petunjuk asal-asalan.

"Mr. I," ucapku.

Ivan beranjak perlahan-lahan. Kedua tangannya menempel di atas meja. "Apa kau bilang? Mr. I? Bukan misteri, tapi Mr. I?"

Kenapa matanya malah jadi berbinar-binar?

"Kakak tahu tentang Mr. I?" tanyaku.

"Aku tidak tahu," jawabnya. Lalu ia memelankan suaranya. "Tapi aku pernah mendengarnya. Itu adalah hal terakhir yang Kak Ratna katakan padaku sebelum menghilang. Dia bilang, 'Jangan khawatir, aku bersama Mr. I.'"

Huh?

"Grey, kau tahu siapa Mr. I? Apa Alin sedang menyelidikinya? Apa dia ada hubungannya dengan—"

"Tunggu," potongku. "Sepertinya informasi ini sangat penting untuk Kakak. Kalau begitu, satu pertanyaan, seratus ribu."

Sebenarnya aku tak tahu apa-apa tentang Mr. I. Aku cuma ingin melihat reaksi Ivan.

Cowok berjambul itu menghela napas panjang. Ia mengembuskan udara melalui mulutnya dengan tak sabar. "Begini saja, jika aku jadi ketua OSIS, aku bakal memberi apa pun yang kau mau. Uang? Cewek? Jabatan? Semuanya bisa diatur."

"Heh, 'jika'," ucapku sambil membuat tanda petik di udara dengan kedua tanganku. "Inilah kenapa aku tak suka politisi."

Ivan melotot padaku. Tangan kanannya mengepal, tangan kirinya menggaruk-garuk tangan yang mengepal.

"Permisi," kataku. "Ibuku sudah menungguku di rumah."

Ivan turut beranjak. "Mari kuantar."

"Tak perlu. Setelah kupikir-pikir, jalan kaki lebih sehat daripada mendengar janji-janji Kakak."

"Grey," Ivan menarik tali tudung jaket abu-abuku. "Aku sudah membayar tagihanmu, dan sejak tadi aku berusaha bersikap ramah padamu. Setelah semua yang kulakukan, inikah balasanmu?"

"Aku tak pernah meminta Kakak bersikap ramah." Kuhalau tangan Ivan dari tali jaketku. "Dan soal tagihanku, biar kubayar sendiri. Bapakku bilang aku tak boleh makan dan minum dari uang hasil korupsi."

Aku turun ke lantai satu tanpa peduli dengan kata-kata Ivan lagi.

Sesampainya di luar, aku menoleh ke samping kafe. Tampak gadis bergaun hitam duduk sendirian di salah satu bangku taman. Kelihatannya ia sedang memandangi air mancur di depannya.

"Selamat malam, Princess Alin."

Ucapanku tampak mengagetkannya. Ia menoleh sekilas, lalu cepat-cepat membuang tisu di tangannya ke tong sampah.

Aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Matanya bengkak. Wajahnya pucat. Kalau rambutnya keriting, mungkin aku bakal mengira dia adalah Lilis.

"Sekali lagi kamu memanggilku begitu, kuampelas bibirmu."

Sadisnya. Namun bukannya takut, suara isakan dari hidungnya malah membuatku iba.

Ia berpaling, tak mau memandangku. Padahal aku suka dengan wajah tanpa riasannya. Lebih mirip manusia.

"Kau kejam juga ya," kataku.

"Aku nggak mau Eca terlibat lebih jauh dalam urusanku. Ini semua demi kebaikannya."

"Bukan pada Red, tapi pada Ivan," tandasku. "Aku penasaran sampai kapan kau bakal memakainya sebagai tamengmu."

Alin melirikku tajam.

"Aku tak tahu pasti apa yang sebenarnya kaupikirkan, tapi paling tidak, aku cukup mengerti yang kaurasakan," tukasku. "Kau ketakutan. Kau merasa terpojok oleh orang-orang yang mengincarmu. Kau tak bisa lari, apalagi sembunyi. Satu-satunya pilihanmu adalah melawan. Tapi kau tak bisa mengandalkan ayahmu dan kepolisian. Oleh sebab itu, kau butuh seorang kesatria, seorang knight in shining armor, seseorang yang memiliki kedudukan dan kekuatan yang cukup untuk memberimu perlindungan. Kau juga butuh obat nyamuk untuk menghalau para pengganggumu di sekolah. Dalam pikiranmu, Ivan adalah aktor yang paling pantas untuk memainkan kedua peran itu, 'kan?"

Alin tak menjawab.

"Ivan adalah anak kepala sekolah, dan dia adalah saingan Rendy—orang yang kauanggap bertanggung jawab atas kematian Kak Ratna. Selain itu, Ivan juga punya kendali atas Dark Triad, pengganggumu yang paling utama. Aku tak tahu seberapa besar kekuatan yang ia punya, tapi bagimu itu cukup untuk menjadikannya sebagai kambing hitam. Kau mengancamku, membuat Red menjauhimu, dan menyingkirkan semua pengganggu di Klub Jurik agar fokus musuh hanya tertuju pada dua target: kau dan Ivan. Aksi kalian berdua di aula tadi siang membuat kesan seolah-olah Ivan yang mengendalikanmu, padahal kenyataannya kau yang mengendalikannya. Ivan tidak tahu apa-apa. He's just your unwitting pawn."

Alin membuka ponselnya, lalu mendekatkannya ke telinga.

"Halo? Om di mana? Oh ... iya, iya. Nanti aku tunggu di pinggir jalan, di depan kafe Re:Noir .... Iya, aku ini mau jalan ke situ .... Cepetan ya, Om. Makasih ...."

Dia mengabaikanku.

Alin mencangking tas tangannya, lalu beranjak pergi tanpa berpamitan. Aku pun mengikutinya.

"Mungkin rencanamu brilian," kataku, "atau mungkin kau hanya putus asa. Kalau begini terus, bukan cuma fisikmu yang kelelahan, mentalmu juga."

Alin mempercepat langkahnya.

Aku tak mau kalah. "Ada dua celah besar pada rencanamu. Pertama, kau meremehkan perasaan Red padamu. Kalau aku jadi dia, aku mungkin bakal membencimu dan menghapus semua memori tentangmu. Tapi Red lain. Dia sudah menjadi sahabatmu sejak kecil. Apa kau pikir orang yang mampu bertahan dengan sifatmu selama bertahun-tahun, bakal menyerah dan menjauhimu hanya dalam satu malam?"

Alin berhenti di tepi jalan. Ia menunduk, masih tak mau melihat ke arahku.

"Kedua, kau meremehkan musuh-musuhmu. Coba pikir, bagaimana jika mereka tahu yang sebenarnya kaurencanakan? Bagaimana jika mereka tak mengincar Ivan, tapi malah mengincar Red?"

Alin melotot ke arahku. Ia membuat muka horor yang bakal membuat Suzanna bangga. Kedua tangannya mengepal. Salah satunya terangkat di depan mukaku. Aku menelan ludah dan mundur perlahan. Kukuatkan rahangku, siap-siap ditonjok.

Mobil Terois putih berhenti di depan kami berdua. Muncul seorang pria botak bertopi bisbol dari dalam. Ia memakai baju polo putih dan celana pendek. Usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan.

Alin tak jadi menonjokku. Ia hanya tersenyum dan berkata,

"Sebagai cowok yang punya moto talk less do less, kamu cerewet juga ya."

Alin pergi menyapa pria bertopi bisbol dengan sebutan om, lalu membuka pintu jok belakang. Si om memandangku sambil tersenyum canggung. Aku pun membalasnya, tak kalah canggung.

"Pacarmu?" tanya pria bertopi bisbol pada Alin.

"Bukan, cuma kenalan."

Kejamnya. Dia bahkan tak menganggapku sebagai teman.

"Eh, Om, jangan bilang-bilang Ayah ya kalau aku ke sini. Bilang aja habis main di rumah Om," kata Alin sambil masuk ke mobil.

"Siap," kata om Alin sambil masuk ke jok depan.

Sebelum mereka pergi, aku sempat berkata pada Alin lewat jendela mobil yang terbuka.

"Aku masih menunggu kabar Mas Diaz dari kepolisian. Kuharap besok dia sudah ditemukan."

Alin tak membalas. Ia segera menutup kaca jendela mobil dan menyuruh omnya cepat-cepat jalan. Sesaat kemudian, mobil mereka pun melaju kencang meninggalkanku sendirian.

Saat mobil sudah lenyap ditelan tikungan, aku baru sadar. Kenapa aku tak sekalian minta om Alin mengantarku sampai ke rumah, ya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro