Bagian 20: Wrong Side of The Track

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pagi, Grey!"

Baru masuk kelas, Red menyapaku sambil tersenyum lebar. Aku mengabaikannya dan melihat sekeliling. Hari kedua KTS, kelasku sudah cukup bersih. Para siswa yang bertugas menghias kelas telah mengeluarkan peralatan mereka dan siap untuk bekerja.

Kata Red tema manajemen kelas pada KTS kali ini adalah daur ulang. Jadi siswa hanya boleh memakai barang bekas sebagai dekorasinya. Anak-anak yang kreatif tampak asyik membuat taplak dari bungkus jajan. Ada pula yang membuat hiasan bunga dari sedotan. Anak-anak yang, maaf, kere-atif sedang menempelkan ranting pohon dan dedaunan kering di dinding belakang. Sementara itu, anak-anak yang hiperaktif asyik berlari-larian, berpacaran, bergosip, dan berswafoto sambil berpose layaknya cewek panggilan.

Aku menoleh ke arah Red lagi. Ia masih tersenyum. Ngeri. Aku jadi merinding.

"Kau ceria sekali pagi ini," komentarku. Padahal tadi malam emosinya benar-benar kacau.

"Bukannya aku memang selalu begini?" ucapnya sambil menampakkan gigi-giginya.

Aku menempelkan telapak tanganku ke dahinya. "Apa otakmu jadi somplak gara-gara ucapan Alin tadi malam?"

"Ngawur," Red menepis lenganku. "Justru itu yang membuatku sadar. Selama ini aku hanya memikirkan cewek yang tak pernah memikirkanku. Heh. Dia pikir dia siapa? Biar kubuktikan bahwa aku bisa mendapatkan cewek yang lebih baik daripada dia. Akan kubuat dia menyesal."

Klise sekali. Kata-katanya mirip seorang mantan yang tak terima diputuskan oleh pacarnya. Padahal pacaran saja tidak.

"Oke," kataku, "berarti kau sudah sembuh dari penyakit galaumu?"

"Heh, Redsiklopedia tidak mengenal istilah galau."

Sak karepmu.

"Omong-omong, Grey, kau punya kamera digital?"

"Tidak, kenapa?"

"Kau harus segera membelinya. Itu penting untuk liputan."

"Pakai kamera hape pun bisa, 'kan?"

"Oh, tidak bisa." Red menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. "Kamera adalah senjata wajib para jurnalis. Sama seperti pistol untuk polisi. Kau tak bisa liputan ke mana-mana tanpa membawa kamera."

Merepotkan. Lalu apa gunanya ada smartphone?

"Ah, aku tahu!" ucap Red sambil menjentikkan jarinya. "Mas Diaz pasti punya kamera cadangan. Biar kupinjamkan satu untukmu."

Mas Diaz?

"Ayo, Grey! Kita let's go ke ruang klub Jurik!"

Saat Red hendak menggenggam lenganku, aku langsung menepisnya. "Tak usah pegangan tangan! Dasar maho!"

Red tertawa. Entah apa yang membuatnya begitu bersemangat pagi ini. Kuharap rasa frustrasinya terhadap Alin tak membuat orientasi seksualnya ikutan geser. Amit-amit.

Sepanjang perjalanan, Red hanya membicarakan satu topik: Alin. Dia menceritakan semua keburukan Alin, mulai dari saat taman kanak-kanak hingga SMA. Dia bilang Alin pernah pipis di celana waktu TK, sering berkelahi ketika SD, dan begitu ditakuti sampai-sampai satu sekolah tak ada yang berani menyebut namanya. Saat SMP, Alin gemar 'menghukum' siswa yang mengganggu siswa lain dengan teknik beladirinya. Di kalangan anak berandalan, Alin dijuluki Teratai Hitam, yang berasal dari seragam silatnya.

"Kupikir-pikir bagus juga kalau cewek sadis itu pacaran sama Kak Ivan. Heh. Kak Ivan belum tahu sifat Alin yang sesungguhnya. Sekali pencet tombol yang salah, mampus dia."

Kurasa Ivan sudah tahu. Namun, aku enggan berkomentar apa-apa.

Begitu kami tiba, ruang klub kosong. Padahal aku sempat berharap Mas Diaz sudah kembali dan baik-baik saja.

"Aneh," kata Red. "Sudah dua hari Mas Diaz tidak ke sini. Padahal di sini adalah area hotspot favoritnya."

Yang lebih aneh adalah sekolah ini. Apa masih belum ada yang menyadari bahwa ada salah satu siswa yang hilang? Bagaimana dengan orang tuanya? Atau Mas Diaz sebenarnya sudah pulang tapi tidak masuk sekolah?

Red dan aku kemudian mengunjungi kelasnya. Kelas XI IPA 2. Namun, hasilnya nihil. Mas Diaz tak ada di sini juga. Saat kami bertanya pada teman-teman sekelasnya, jawabannya rata-rata begini:

"Diaz? Diaz siapa?"

"Oh, si brewok penunggu bangku pojok itu ya?"

"Jadi dia beneran ada? Kukira selama ini aku melihat penampakan."

"Emang dia manusia?"

Aku butuh informasi. Bukan komedi. Aku heran kenapa teman-teman sekelas Mas Diaz begitu mudah mengejeknya dengan nada datar. Aku sampai bingung apakah mereka serius atau bercanda.

"Mas Diaz? Dia emang jarang masuk kelas sih. Coba cek ke ruang klub Jurik .... Oh, kalian habis dari sana? Maaf, kalau 'gitu aku nggak tahu dia di mana."

Bahkan jawaban yang lebih serius pun tak banyak membantu.

Setelah itu, kami mencoba menghubungi Mas Diaz. Namun ia tak membalas. Akhirnya kami duduk-duduk di salah satu gazebo di tepi lapangan tenis. Di lapangan tampak Rendy dan beberapa rekannya tengah asyik bermain bulutangkis.

"Kau belum beruntung, Grey," kata Red. "Untuk sementara kaupakai hapemu saja dulu."

Sejak awal aku memang tak pernah minta dipinjami kamera digital. Namun, aku tak boleh membiarkan pembicaraan tentang Mas Diaz lewat begitu saja.

"Red, apa Mas Diaz punya teman dekat?" tanyaku.

"Entahlah, dia tak pernah membicarakan urusan pribadinya," jawab Red. "Dia sangat tertutup, seolah-olah dia hidup dalam dunianya sendiri. Dia bahkan lebih pendiam daripada kau, Grey."

Itu tak ada hubungannya.

"Lagi pula," lanjut Red, "meskipun dia tak pernah berkata kasar atau menyakiti orang, dia tetap mantan kriminal. Anak-anak di sini lebih suka menghindar daripada berurusan dengannya."

"Katanya dia pernah tinggal kelas sekali, 'kan? Bagaimana dengan teman-temannya dulu? Teman klubnya, mungkin?"

"Aku kurang paham. Dengar-dengar dia dekat dengan almarhumah Kak Ratna, tapi sejak Kak Ratna meninggal, semua anggota klub Jurik saat itu keluar dari Smansa kecuali Kak Ivan dan Mas Diaz. Ada yang pindah sekolah, ke luar kota, putus sekolah, malah katanya ada yang masuk rumah sakit jiwa gara-gara syok atas kematian Kak Ratna. Setelah itu, Mas Diaz keluar dari klub dan jarang masuk sekolah. Lalu pada bulan Januari dia ditangkap karena meretas bank. Setelah dibebaskan, praktis Mas Diaz tidak punya teman di sekolah."

"Dia tinggal di mana?"

"Desa Balongan." Red meringis ngeri. "Kau takkan suka pergi ke sana."

"Kenapa?"

"Kau baca berkas yang kukirim subuh tadi? Tentang lima tempat di kota Petanjungan yang wajib dihindari pada malam hari?"

Aku mengangguk. Red tak menceritakannya secara gamblang, tapi aku cukup tahu.

"Desa Balongan adalah salah satunya," tukasnya.

Lima tempat di Petanjungan yang wajib dihindari pada malam hari: (1) SMK Tunas Bangsa, (2) bekas perumahan Taman Indah, (3) kawasan industri tekstil Grup Prakoso, (4) hutan jati Kalabendu, dan (5) Desa Balongan. Dikutip dari Redsiklopedia, ensiklopedia ngawur.

Sepertinya virus Red mulai menulari otakku.

"Di mana desa Balongan?" tanyaku kemudian.

Red melotot. "Kau sudah di kota ini selama tiga tahun, tapi tidak tahu letak desa Balongan?! Ya Allah, berikanlah rezeki untuk cowok kurang piknik ini."

"Red, berantem yuk?"

Ia malah tertawa. "Begini, kau tahu Pasar Wage?"

"Ya, lalu?"

"Tahu Stasiun Kota? Di tengah-tengah pasar?"

"Uh-huh?"

"Nah, kalau begitu gampang," kata Red sambil menjentikkan jarinya. "Pada dasarnya, kota Petanjungan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah daerah selatan pasar, atau Kidul Pasar, sedangkan bagian kedua adalah daerah utara pasar, atau Lor Pasar. Kedua bagian itu dipisahkan oleh rel kereta yang melintasi kota dari barat ke timur."

"Tunggu, apa hubungannya dengan—"

"Ssst! Aku baru mau menjelaskan bagian menariknya," potong Red. "Luas daerah Kidul Pasar kira-kira dua kali luas daerah Lor Pasar. Daerah Kidul Pasar, termasuk sekolah ini, rumahku, dan rumahmu, adalah bagian kota dengan pembangunan yang pesat. Banyak bangunan dan tempat strategis di sini. Balai kota, alun-alun, stadion, gelanggang olahraga, tempat hiburan, pusat perbelanjaan, perumahan mewah, semuanya terletak di sebelah selatan pasar—atau lebih spesifiknya, sebelah selatan rel kereta api. Sebaliknya, daerah Lor Pasar adalah bagian kota yang terpinggirkan. Kau akan memahami perbedaannya jika kau melintasi rel ke utara Pasar Wage. Sejauh mata memandang, kau hanya akan melihat pemukiman kumuh. Sedikit ke timur, kau akan melihat sungai Gandulan yang tercemar oleh limbah pabrik tekstil. Telusuri terus sungai itu sampai ke muara, kau akan sampai ke desa Balongan. Tak ada apa-apa di sana, selain mimpi buruk."

Red membuat muka layaknya seorang kakek yang menceritakan kisah seram pada cucunya. Sayangnya dia bukan kakek-kakek, dan aku bukan cucunya.

"Itu adalah tempat dengan aktivitas kriminal tertinggi di kota Petanjungan, lebih tinggi daripada empat tempat terlarang lainnya meski keempatnya digabungkan. Di sana adalah pusatnya prostitusi, bandar judi, miras, narkoba, copet dan begal. Anggota-anggota geng Dinamo juga banyak yang berasal dari sana. Penduduk desa itu sangat membenci polisi. Mereka akan mengeroyok dan mengusir siapa pun yang masuk ke sana sambil mengenakan seragam polisi."

"Kenapa bisa begitu?" tanyaku.

"Mungkin karena dendam," ujar Red. "Mayoritas penduduk desa Balongan saat ini adalah mantan penduduk desa Tegalrandu, yang tanahnya digusur dan dijadikan pabrik tekstil dan kebun kapas. Kudengar penggusuran itu tidak berjalan mulus, sehingga terjadi demo yang berakhir ricuh. Polisi turun tangan, tapi mereka malah menambah rusuh. Beberapa warga tewas tertembak, dan beberapa anggota polisi mati dikeroyok warga. Setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya bentrokan sering terjadi antara polisi dan penduduk desa Balongan. Geng Dinamo memakai kesempatan itu untuk menguasai Lor Pasar, lalu menjadikan desa Balongan sebagai markas mereka. Pokoknya, situasi di utara saat itu sangat gila. Bersyukurlah, itu semua terjadi sebelum kau pindah kemari."

"Terus?"

"Polisi di sini mendapat banyak kritikan, baik dari dalam maupun luar kota. Mereka dinilai sewenang-wenang dalam menghadapi warga sipil. Di sisi lain, aksi mereka juga mendapat dukungan dan pembelaan, khususnya dari Kapolri, yang menganggap mereka hanya menjalankan tugas untuk menumpas aksi kriminal dan premanisme di kota ini. Perpecahan menghambat polisi untuk mengambil keputusan, sehingga hal itu dimanfaatkan oleh geng Dinamo untuk memperluas daerah kekuasaan. Mereka lalu mencoba menguasai daerah Kidul Pasar.

"Geng Tomcat, seteru mereka di selatan, tidak tinggal diam. Kedua geng saling serang, polisi pun kewalahan. Situasi kota ini saat malam jadi mencekam. Aku ingat saat masih kelas enam SD, pemkot memberlakukan jam malam untuk anak sekolah. Saat itu, seluruh kota pada waktu malam telah jatuh ke tangan para begal dan preman. Baru saat peristiwa tawuran 6 September tahun lalu, geng Tomcat—dengan dukungan polisi—dapat menghancurkan geng Dinamo dan sekutu-sekutunya. Setelah itu, kota kembali damai, dan tidak ada tawuran lagi sampai saat ini."

Dan geng Tomcat menjadi satu-satunya penguasa kota pada malam hari.

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. "Tunggu, apa kau bilang? Jadi geng Tomcat dan polisi bersekongkol?"

"Itu cuma rumor sih," kata Red sambil cengar-cengir. "Meskipun itu benar, aku yakin polisi takkan mau mengakui bahwa mereka sudah bersekongkol dengan kriminal. Tapi bukti di lapangan menguatkan dugaanku. Faktanya, beberapa anggota geng Dinamo tewas tertembak saat kerusuhan. Lihat."

Seolah tak mau dianggap pembohong, Red memperlihatkan artikel dan berita tawuran tahun lalu melalui ponselnya. Ada satu judul yang menarik perhatianku: "Kapolri: Peluru di Jasad Korban Perang Geng Petanjungan Bukan Milik Anggota Polisi."

"Apa kau pikir," lanjut Red, "anggota geng yang kebanyakan adalah pelajar dan pengangguran bisa memiliki senjata api? Kalau iya, dapat dari mana? Syarat memiliki senjata api di sini itu repot dan berbelit-belit. Kalau bukan polisi yang tidak becus dalam mengawasi peredaran senjata api ilegal, maka mereka sendiri yang 'melegalkannya'."

Itu tidak serta merta membuktikan bahwa polisi bersekongkol dengan geng Tomcat. Namun kalau itu benar, melaporkan rekaman Alin pada polisi adalah ide buruk.

"Grey? Kok kau jadi pucat begitu?" tanya Red. "Tenang saja, selama kita tak berurusan dengan geng Tomcat, kau tak perlu cemas."

Man, I'm screwed.

Red beranjak dari tempat duduknya. "Ke aula yuk. Aku mau lihat Alin—maksudku, aku mau lihat klub drama pentas. Katanya ceritanya keren."

Red mulai melangkah, sedangkan aku tetap duduk membisu di tepi lapangan. Kukeluarkan ponselku. Lalu kukirimkan pesan pada Alin.

Saya: Lin, rekamannya sudah kauberikan pada ayahmu?

Tak ada tulisan read di kolom obrolan. Tak ada jawaban.

Kulihat Rendy sedang duduk sambil memegang raket di sisi lain lapangan. Ia tersenyum ke arahku.

***

A/N: Halo halo semua! Apa kabarnya? Adakah yang bertanya-tanya alur cerita ini bakal dibawa ke mana? XD. Sedikit bocoran, akan ada mini mystery di bab berikutnya. Saya harap teman-teman tidak bosan dalam mengikuti cerita ini. And that is all! I hope you enjoy it! Silakan vomment apabila berkenan. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro