Bagian 27: Kucing Hitam Bermata Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, siapa pelakunya?" tanya Bu Dora.

Hening sejenak. Siswa-siswa di dalam ruang ganti saling beradu pandang.

"Lilis, Bu," jawab Sinta. "Dia sendiri yang ngaku udah membobol loker Alin dan mencoret-coret bajunya."

Beberapa orang tampak terkejut dengan pernyataan Sinta.

"Hah?! Aku enggak pernah membobol loker Alin!" protes Lilis. "Aku dijebak!"

"Terus kenapa? Meskipun bukan kamu yang membobol, faktanya kamu yang mengacak-acak loker Alin, 'kan?" tukas Sinta. "Kenapa harus mikir repot-repot kalau kita udah dapet pelakunya?"

Saat Lilis hendak membantah, Bu Dora menginterupsi.

"Jadi kamu pelakunya?" tanya Bu Dora sambil memelototi Lilis. "Ikut saya ke kantor!"

Bu Dora menggenggam lengan Lilis dan menyeretnya keluar. Lilis meronta-ronta hendak melepaskan diri. Ia merengek dan berteriak, "Saya dijebak! Saya dijebak!" tetapi Bu Dora tidak mau tahu. Sinta dan kedua rekannya tampak puas melihat Lilis akhirnya digelandang keluar ruangan. Sementara yang lain hanya terdiam. Termasuk Roy.

Setelah mereka keluar, dari dalam aku masih mendengar ocehan Bu Dora.

"Saya pikir kamu bakal lebih baik setelah bergabung dengan klub Drama. Bukannya bikin bangga, malah bikin malu! Mau ditaruh di mana muka saya, hah?! Inilah kenapa saya ragu memasukkan anggota klub kriminal itu di klub Drama. Saya mau komplain ke kepala sekolah biar kamu dikeluarkan!"

Aku menghela napas. Red berdecak lidah, tampak tak puas. Begitu pun ekspresi anggota Klub Jurik yang lain.

Setelah situasi kembali tenang, Roy bertepuk tangan.

"Diskusi yang menarik," ucap pria itu. "Saya harap saya bisa menahan Bu Linda lebih lama. Tapi janji adalah janji. Siswa yang tidak berkepentingan silakan keluar. Yang mau ganti baju, silakan ganti baju. Anggota klub Drama yang mau tampil bisa bersiap-siap sehabis ini."

Satu per satu siswa berbondong-bondong keluar ruangan. Aku keluar bersamaan dengan Red, disusul oleh Sinta, Nia, Citra, dan Poppy. Di luar, beberapa cowok berkostum hewan berdiri di depan pintu. Kurasa mereka anggota klub Drama yang mau pentas juga.

"Kak Rendy!" seru Poppy sambil bergegas menghampiri cowok berkostum kancil. Gadis itu lalu mengaitkan lengannya ke lengan Rendy.

Aku berdiri di samping pintu ruang ganti, mendengarkan para anggota klub Drama saling bertukar informasi.

"Jadi siapa yang bakal menggantikan peran Lilis?" tanya seorang cowok berkostum kerbau.

"Comot aja satu anak baru," kata Sinta. "Lagian dia cuma jadi orang-orangan sawah."

Roni menyusul keluar sambil tertunduk. Saat berpapasan dengan anggota klub Drama, ia diolok-olok dan dianggap menjijikan atas perlakuannya terhadap foto Poppy.

"Sial," keluh Red. "Kurasa analisismu benar, Grey. Sejak awal aku juga curiga dengan klub Drama. Kalau ada yang ingin menghancurkan klub kita, itu pasti mereka."

Aku tak membalas. Benar atau salah, sama saja kalau tak ada bukti.

Seseorang menepuk pundakku.

"Halo, Detektif. Maaf sudah meremehkanmu," ujar Ivan sambil tersenyum. "Bagaimana kalau kita bicara lagi nanti malam? Aku bisa mempertimbangkan penawaranmu soal Mr. I."

Masih mengungkit-ungkit soal itu juga?

"Maaf, Kak. Lain kali saja ya."

Ivan tampak kecewa. Ia pun pergi setelah seseorang memanggilnya.

Gita dan Karina keluar ruang ganti sesudah Ivan. Karina sempat tersenyum dan bicara padaku.

"Tadi kamu keren lho. Aku baru kepikiran setelah kamu bilang."

"T-thanks."

Gita ikut berkomentar, "Paling nggak, sekarang aku tahu otakmu nggak cuma berisi hal-hal mesum."

Aku anggap itu pujian. Eh, tapi kok dia bisa tahu isi otakku?

"Aku masih penasaran. Kira-kira siapa ya yang nuker gembok Alin?" tanya Karina.

"Entahlah. Lagi pula analisisku belum tentu benar. Seperti kata Kak Sinta, mungkin memang Lilis yang membobolnya."

"Aku nggak setuju. Aku lebih percaya sama kamu."

Karina menatapku. Jantungku jadi berdebar-debar.

Aku berpaling. "K-kalaupun aku benar, pelakunya pasti sudah menghilangkan barang bukti, termasuk gembok yang ditukar dengan gembok loker Alin."

"Grey," panggil Karina. "Apa enggak ada cara biar pelakunya mau mengaku?"

Aku kembali memandangnya. Kedua matanya yang sayu tampak berkaca-kaca. Pupilnya melebar, irisnya bersinar, membuat bayanganku di sana ikut berpendar. Apa dia sengaja ingin membuatku jatuh cinta?

Kalau begini terus bisa gawat.

"Ayo, Rin, sebentar lagi aku tampil," ajak Gita.

Aku bernapas lega melihat mereka pergi. Namun saat Alin muncul, napasku kembali tertahan. Ia kini mengenakan baju olahraga yang agak kedodoran. Entah pinjam punya siapa. Ia tak banyak bicara. Ia hanya memelototiku, mendekatiku, lalu berbisik, "Cek Lain, jangan pakai lama."

Kuperiksa ponselku setelah Alin berlalu. Alin mengirim foto kami di belakang stadion Senin kemarin. Lewat chat, ia juga berpesan:

KALAU KAMU MASIH PUNYA NYALI BUAT NGEBACOT KAYAK TADI, TAHU SENDIRI AKIBATNYA.

Aku tersenyum geli. Aku tak begitu kaget. Hal semacam ini memang sudah masuk perhitunganku. Selanjutnya yang tersisa adalah ....

"Sayang ya. Padahal sedikit lagi."

Aku menoleh ke belakang. Roy baru saja menutup pintu ruang ganti. Saat ia memandangku, aku segera berpaling. Yang ia lakukan hanya menonton dan mempermalukanku. Daripada bicara dengannya, lebih baik aku pergi.

"Kau tahu siapa pelakunya, 'kan?"

Aku berlalu tanpa membalas ucapannya.

***

Klub Drama adalah klub yang populer. Ke mana pun anggotanya pergi, selalu ada yang mengikuti mereka bak selebriti. Aku sama sekali tak mampu masuk ke lingkaran pergaulan mereka. Aku hanya bisa menguping, menguntit, dan mengamati. Aku bukan mata-mata, tapi mungkin ini bisa jadi karier alternatifku nanti selain jadi pengacara seperti kata Bapak.

Seluruh rangkaian pentas seni berakhir sekitar pukul tiga sore. Akhirnya para anggota klub Drama berpisah. Peluangku untuk menemui anggotanya jadi lebih mudah. Kuikuti seorang cewek anggota klub Drama yang bersweter merah dan bercelana olahraga. Ia berhenti di belakang aula.

Aku bersembunyi di balik tembok. Tak lama kemudian, datang seorang cowok. Rambutnya tipis, nyaris botak, dan di samping kepalanya terdapat garis-garis mirip bendera Amerika. Bukannya dia Bondan dari kelasku? Mau apa dia dengan cewek klub Drama di tempat sepi begini?

Bondan memegang sebuah boneka domba di balik badannya. Lalu ia memberikannya pada cewek di depannya sembari berkata,

"Poppy, ini buat kamu."

Modus. Aku mengerti sekarang. Kupikir Bondan cuma main-main kemarin. Tak kusangka ia benar-benar menemui Poppy.

"Kyaa! Timmy!" Poppy langsung memeluk boneka domba yang ia sebut Timmy. "Makasih ya, umm—"

"Bondan. Anak X-2. Ingat? Waktu MOS kita pernah sekelompok lho."

"Ah ya, Bondan." Poppy tampak tak peduli. Ia asyik menggerak-gerakkan lengan boneka domba di pelukannya.

"Jadi, uh, Pop. K-kamu mau nggak jadi pacar ak—"

"Enggak."

Aku ingin tertawa.

"T-tapi kenapa? Ah, atau kamu lupa? Aku Boris! Di Lain kita sering chatting berdua. Kamu pernah bilang kalau kamu suka sama cowok yang pinter, pemberani, dan nggak pelit. I-itu pasti aku, 'kan?"

Narsis sekali.

"Embeeek." Poppy menirukan suara kambing. "Eh, apa Tim? Oh, ya. Kata Timmy kamu jelek. Poppy nggak boleh pacaran sama orang jelek."

Sadis. Lebih sadis lagi, ia mengatakannya sambil bermain-main dengan boneka pemberian Bondan.

"Begitu ya," sahut Bondan pasrah. "Makasih."

Poppy tersenyum. Matanya seakan mendesak Bondan untuk segera pergi.

Baru berjalan dua hari, KTS kembali memakan korban. Kemarin Red, sekarang Bondan. Sudah kubilang cewek itu mengerikan.

Sepeninggal Bondan, aku melangkah mendekati Poppy sebelum gadis itu pergi.

"Grey?! Kamu ngapain di sini?" Poppy cepat-cepat mendekatiku. "Hayo ... kamu nguping ya? Grey nakal deh. Ih ... nakal, nakal."

"Uhh—"

Poppy menyentuh-nyentuh pipiku dengan jari telunjuknya. Aku mengalihkan pandanganku ke bawah. Dadanya menyentuh pinggangku. Sialan. Kenapa dia jadi sok akrab begini? Dan kenapa walaupun sudah sore tubuhnya tetap wangi?

Aku mundur beberapa langkah. Menghadapi cewek tengil ini aku tak boleh lengah.

Poppy tersenyum. "Karena aku suka kamu, aku maafin deh."

Abaikan kata-katanya.

"Poppy, aku—"

"Grey, kamu mau masuk klub Drama?"

Hah?

"Kak Rendy satu-satunya penulis naskah di klub kami. Kalau dia jadi ketua OSIS, otomatis nanti dia bakal lebih sibuk dengan urusan OSIS. Menurutku, kamu berbakat lho jadi penulis naskah. Aku salut mendengar teorimu tadi. Aku nggak nyangka, ternyata ada cara mengakali gembok kayak yang kamu bilang. Pasti keren kalau itu benar. Seandainya itu adalah solusi riddle atau cerita detektif, aku bakal langsung jadi penggemarmu, Grey."

Poppy diam sejenak.

"Sayangnya, realita enggak sesimpel teka-teki logika. Pada akhirnya, kita enggak tahu siapa X atau apakah X benar-benar ada. Tapi dengan masuk klub Drama, imajinasimu enggak bakal sia-sia! Kak Rendy pasti suka cowok kreatif kayak kamu. Gimana? Kamu mau, 'kan? Ya, 'kan?"

Alis Poppy terangkat. Kedua matanya jelas terlihat. Mata kanannya biru, mata kirinya hijau kecokelatan. Aku tak tahu apakah itu warna mata aslinya, atau ia hanya memakai lensa kontak yang berlainan warna.

"Penulis naskah, huh?" Aku tersenyum pahit.

"Ada masalah?"

"Awalnya aku sempat ragu, tapi aku yakin teoriku benar." Aku menghela napas. "Intinya, X adalah kau, Poppy."

Poppy tersenyum. Ia tak tampak terkejut, seolah telah menduga ucapanku.

"Alasannya?"

"Reaksi Alin," balasku. "Biasanya dia langsung membantah jika ucapan orang lain bertentangan dengan yang ia alami dan yakini. Tapi ia hanya diam setelah aku dan Karina menjelaskan. Itu artinya dia menyadari sesuatu, atau setidaknya dia menganggap ucapan kami sebagai sebuah kemungkinan. Nah, kalau itu benar, maka siapa yang menukar gemboknya? Aku percaya pada Alin. Karena itu, aku mencoret anak-anak pencak silat dari daftar tersangka. Dengan kata lain, pelakunya pasti datang sebelum anak-anak pencak silat."

"Tapi saat kamu tanya Alin, dia jawab enggak ada, 'kan?"

"Alin berbohong."

"Kok kamu bisa tahu Alin bohong? Katanya kamu percaya pada Alin."

"Ya, itulah kenapa aku percaya padanya. Dia tak pandai berbohong," jawabku. "Alin memang pandai, tapi dia payah dalam berakting. Saat jujur, ia bakal mengucapkannya dengan frontal tanpa pikir panjang. Saat bohong, ia hanya diam, menyembunyikan tangan, memalingkan muka, atau mengucapkan hal-hal yang sama sekali bertentangan dengan kenyataan. Kebohongan baru efektif jika dicampur dengan kebenaran. Namun, Alin terlalu polos. Inilah celah yang mudah dimanfaatkan. Alin terlalu kaku saat berpura-pura jadi pacar Kak Ivan. Pada saat yang sama, Alin telah membeberkan info bahwa ia sedang bersandiwara untuk melindungi sesuatu atau seseorang.

"Selain itu, Alin adalah seorang perfeksionis. Ia selalu menyusun rencana agar segalanya berjalan sempurna. Namun, ia kurang fleksibel. Saat rencananya berantakan, ia tak punya rencana cadangan. Ia juga tak bisa berimprovisasi karena aktingnya payah, sehingga saat ia bilang 'tidak', reaksi tubuhnya mengatakan hal yang sebaliknya. Itulah yang kupercaya."

Poppy tersenyum. "Kayaknya kamu akrab banget sama Alin. Sampai hafal sama sifatnya."

Kuabaikan komentarnya.

"Yang jelas, pelakunya pernah menggunakan ruang ganti sebelum anak-anak pencak silat datang. Dia pernah berpapasan dengan Alin di ruang ganti minimal sekali untuk menukar gembok. Dia adalah orang yang berkesempatan untuk membuka loker Alin, menaruh surat, lalu mengganti gemboknya seperti semula. Dia juga mampu menghasut Lilis mengacak-acak loker Alin, baik secara langsung maupun tidak. Satu-satunya orang yang memenuhi semua kriteria itu adalah kau, Poppy."

Poppy bergeming.

"Kau adalah satu-satunya orang yang pernah berdua dengan Lilis di ruang ganti. Membuka loker Alin tak butuh satu menit jika kau sudah menukar gemboknya. Dilihat dari perangainya, sepertinya Lilis memang tidak tahu kenapa gemboknya bisa terbuka. Itu artinya kau menghasut Lilis secara tidak langsung, yaitu lewat Roni. Roni suka padamu. Mudah bagimu untuk memanfaatkannya sesuai keinginanmu. Kau meminta Roni memberikan cat semprot pada Lilis, lalu menjebak Lilis meski Roni harus mempermalukan dirinya sendiri. Apalagi, dari semua anggota klub Drama yang jadi tersangka, hanya kau yang pernah tampil di panggung sebelumnya. Benar 'kan, Poppy and The Jump Band?"

"Ya, tapi apa hubungan—"

"Kau bisa saja meminjam loker untuk ganti baju dan menyimpan barang-barangmu sebelum tampil. Urutan pentasnya adalah kau dan band-mu, Alin dan anak-anak pencak silat, lalu klub Drama. Alin mungkin saja datang ke ruang ganti sebelum kau tampil, sama seperti ketika kau, Karina, dan Gita datang sebelum Alin tampil. Ya, mungkin memang tidak ada yang memakai ruang ganti bersamaan dengan Alin sebelum anak-anak silat yang lain datang. Namun jika itu kau, bisa saja kau menukar gembok Alin tepat sebelum kau tampil di panggung."

Poppy termenung sambil memeluk boneka domba di dadanya.

"Kenapa kamu enggak bilang pada orang-orang tadi?" tanyanya sambil tersenyum. Mata bulatnya tampak lebih sipit. Suara sok imutnya turun satu oktaf sehingga terdengar lebih ... dewasa.

Aku mengangkat bahu. "Aku tak punya bukti. Aku cuma bakal dicemooh kalau aku bilang pada orang-orang."

"Hoo ... jadi itu alasanmu menemuiku? Agar kamu bisa merekam pengakuanku dengan ini?"

Poppy mengeluarkan sebuah ponsel dari balik boneka dombanya.

Aku terbelalak. Cepat-cepat kurogoh saku celanaku. Itu ponselku! Sejak kapan dia ... ah, jangan-jangan dia mengambilnya saat menempel-nempel padaku tadi. Sial. Apa dia sudah mengetahui rencanaku sejak awal?

Poppy melempar bonekanya ke atas tanah. Ia membuka ritsleting sweternya, menampakkan kaus hitam bertuliskan Do Touch Me di bagian dadanya.

"Camkan ucapanku, Grey. Jangan macam-macam dengan Geng Tomcat. Kalau kamu melihat orang dengan tato kucing hitam bermata tiga, larilah sekencang mungkin."

"Kucing hitam bermata tiga?"

"Ya." Poppy menyingkap bagian bawah kaus hitamnya. "Seperti ini."

Poppy memperlihatkan pinggang sebelah kirinya. Di antara kulitnya yang kuning langsat, tampak siluet kucing hitam dengan ekor panjang berbentuk celurit. Matanya tiga. Dua mata melintang di sisi kanan dan kiri, dan satu mata membujur di bagian dahi.

Inikah rasanya keluar mulut harimau, masuk mulut buaya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro