Bagian 29: Fille Fatale

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa itu Gu?

Belum sempat aku berpikir, punggungku didorong.

"Woy! Pagi-pagi udah bikin ribut!" bentak cowok berambut botak bergaris-garis. Bondan. Ia mengangkat tangannya, bersiap-siap untuk menghajarku. Untungnya tindakannya dicegah oleh kedua rekannya.

"Sabar, Ndan," ucap Rustam, si muka rempeyek.

"Dia perlu diberi pelajaran!" Bondan berbalik padaku. "Udah enggak bantu bersih-bersih, malah mengotor-ngotori kelas!"

Tidak bantu bersih-bersih? Lalu siapa yang bersih-bersih saat kau cuma ngakak-ngakak soal cewek pada KTS hari pertama?

"Mengotori kelas?" tanya Red sebelum aku sempat memprotes. "Justru aku yang harusnya tanya, siapa yang menaruh benda menjijikan ini di laci Grey?"

"Oh, jadi kamu lebih memihak sampah itu daripada kami?" tanya Bondan sambil menunjukku.

"Hei! Siapa yang sampah?" Red kelihatannya makin terpancing.

"Cukup, Ndan," ucap cowok bertubuh jangkung. Ia menatapku sinis. "Biar mereka berdua membereskan kekacauan ini."

Ada yang tidak beres. Aku tahu aku yang menjatuhkan kaleng itu, tapi hei, bukankah seharusnya mereka mendengarkanku dulu?

"Tapi, Za," keluh Bondan pada cowok tinggi di sebelahnya. Kini aku ingat. Namanya Ilyasa Yunus Zakaria, biasa dipanggil Iza. "Mana mungkin aku bisa diam melihat bedebah ini bertindak seenaknya? Kamu tahu 'kan yang dia lakukan pada Poppy?"

Aku terperanjat. "Ada apa dengan Poppy?"

Bondan mencengkeram kerah bajuku. "Berengsek! Pura-pura tolol lagi!"

"Apa yang—"

Aku terdiam. Sayup-sayup kudengar bisikan-bisikan para penghuni kelas. Makin lama makin keras.

"Apa benar Grey bikin Poppy nangis kemarin?"

"Katanya dia enggak terima gara-gara ditolak, 'kan?"

"Serius? Ih, cowok kok gitu."

"Duh, kupikir Grey itu polos. Ternyata suka main kasar. Ewh, ilfeel."

"Dari tampangnya juga kelihatan kalau dia anak yang bermasalah. Mungkin itu alasan Pak Seta memasukkannya ke Klub Jurik."

"Belum seminggu di sana udah ketahuan busuknya."

Terima kasih atas komentarnya. Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa pertemuanku dengan Poppy berkembang jadi gosip sekacau ini hanya dalam sehari?

"Semuanya sedang membicarakanmu, Grey. Fotomu dan Poppy terpampang di Mading Klub Jurik."

Keterangan Iza seolah menjawab pertanyaan batinku.

Mading Klub Jurik? Pertanda buruk.

Aku bergegas ke luar kelas. Sesampainya di luar, Red mengejarku. Namun, langkahnya dihentikan oleh teman-teman sekelas kami.

"Eits! Mau ke mana?" bentak Anisa, cewek berjilbab yang jadi ketua kelas kami.

Red berusaha mengelak. "I-ini pasti salah paham! Grey enggak mungkin melakukan itu!"

"Tetap harus ada yang membereskan kekacauan ini."

"T-tapi—"

"Bersihin!"

Maaf, Red. Aku mengandalkanmu.

Kupercepat langkahku hingga tiba di lorong tempat Mading Klub Jurik dipasang. Bau anyir tercium sampai sekitar sepuluh meter dari papan. Sambil menutupi hidungku, kudekati papan kayu reyot penuh sumpah serapah itu. Di tengah-tengahnya, terpampang kertas berukuran A2 berisikan fotoku bersama Poppy di belakang aula kemarin. Dilihat dari sudut pengambilan gambarnya, memang tampak seolah-olah aku hendak menampar Poppy dan membuatnya menangis. Padahal nyatanya aku cuma ingin merebut ponselku kembali. Ada tulisan besar di atas foto itu, mirip headline koran.

AKIBAT PATAH HATI, COWOK INI MENGANIAYA POPPY!

Cinta Ditolak, Rambut Dijambak.

Ada pula adegan saat aku melepaskan diri dari pelukan Poppy. Foto ini memperlihatkan seakan-akan tanganku menjambak rambut Poppy. Sementara itu, di kanan kiri artikel sampah itu banyak sekali coretan-coretan darah-lengkap dengan bulu ayam yang masih menempel.

Mampus kau, Grey!

Biar kubuat hidupmu menderita!

Semoga jadi bujang lapuk!

Berani-beraninya kasar pada ratu kami. Mau cari mati, hah?

Lelucon apa lagi ini?

"Grey Ismaya?"

Terdengar suara berat di samping kiriku. Saat aku menoleh, tampak cowok kekar berambut pirang dengan baju dilinting. Dari seragam batiknya, sepertinya ia bukan siswa sini.

Tunggu, dia— 

Dalam sekejap, ia menonjok pelipisku. Ia kembali menonjok perutku sebelum aku sempat melihat wajahnya sekali lagi. Ugh! Rasanya seperti digigit kalajengking tak berbisa. Sakitnya menyebar hingga ke rongga dada. Tak salah lagi. Dia Jerry, sepupu Poppy dan ketua geng Tomcat. Bagaimana dia bisa ada di sini? Aku tahu keamanan sekolah ini saat KTS agak longgar, tetapi jangan begini juga!

Sambil memegangi perutku, kulihat ia mengambil benda putih kemilau dari sakunya. Bentuknya mirip telapak tangan harimau. Ia mengaitkan benda itu pada keempat ruas jari tangan kanannya, lalu mengepalkannya. Tunggu, tunggu, apa dia mau membunuhku?

Aku berbalik hendak melarikan diri. Namun, Jerry lebih dulu menggenggam lengan kiriku. Ia menarikku, lalu menghantamkan punggungku ke mading. Bahuku terkilir. Jerry kembali menonjokku. Untung aku berhasil menghindar kali ini. Pukulan Jerry menghasilkan retakan di papan mading menyerupai bola petir sebesar kepalan tangan.

Tanpa memberiku kesempatan bernapas, ia terus mengarahkan tinjunya padaku. Kulirik ke bawah. Ada serbuk kayu hasil dimakan rayap. Aku cepat-cepat mengambilnya segenggam seraya menghindar dari pukulan Jerry. Kulemparkan serbuk kayu itu ke mukanya.

"Bangsat!"

Aku segera kabur sebelum Jerry membuka mata. Namun, kakiku gemetar. Rasa sakit akibat pukulan tadi masih menggerayangi perutku. Baru beberapa langkah, aku terjatuh. Jerry sudah pulih. Ia menyeret kakiku. Kutendang-tendang tulang keringnya, tapi ia hanya berkata, "Aduh!" lalu menginjak pergelangan kakiku. Aku terpekik. Rasanya kaki kananku menghadap ke posisi yang salah. Mati. Mati. Mati. Semakin dekat ke wajahnya, benakku hanya memikirkan mati.

Ia menarik bajuku, memaksaku berdiri, lalu mendorongku hingga kepalaku membentur tembok. Setelah itu, ia mencekikku sambil menggeram, "Jadi kau monyet yang berani menyakiti Poppy? Belum pernah ditabrak tronton, hah?! Nih, rasain!"

Aku hanya bisa pasrah saat tinju berbalut kerakeling itu hendak mendarat di wajahku.

"Kak Jerry, jangan!"

Pandanganku makin kabur. Aku jatuh terjerembab begitu Jerry melepaskan cekikannya di leherku. Tampak siluet seorang gadis berlari mendekatiku sebelum semuanya gelap.

***

Begitu membuka mata, aku sudah berbaring di atas ranjang empuk. Hal pertama yang kulihat adalah kunang-kunang, bola lampu di langit-langit, ruangan serba putih, lalu sesosok gadis beraroma apel. Ia menyampirkan rambut panjangnya di bahu kirinya, kemudian mendekati wajahku seolah hendak menciumku.

Aku melonjak kaget dan menengok kanan-kiri. Ini adalah UKS. Gadis beraroma apel itu adalah Poppy. Dahiku diperban. Pundakku sakit. Sekujur tubuhku nyeri. Baju seragamku hilang.

"Grey, tenang, tenang. Jangan panik, oke? Nanti lukamu terbuka lagi."

Hanya Poppy yang bersamaku di ruangan ini. Baju batikku dijemur di salah satu kursi. Punggungnya berlumuran darah. Apa lukaku separah itu? Setelah kuperiksa, di tubuhku hanya ada luka memar. Sepertinya itu darah ayam yang menempel ketika aku membentur majalah dinding.

"Syukurlah," ucap Poppy sambil tersenyum lega. "Maaf ya, Grey. Kak Jerry emang benar-benar keterlaluan."

Aku bergidik mendengar nama itu.

"Di mana dia?"

"Udah diusir. Kamu enggak perlu khawatir."

Hanya diusir? Nyawaku hampir melayang gara-gara dia!

Poppy merapatkan posisi duduknya padaku. "A-apa ada yang masih terasa sakit?"

Kutepis tangannya yang hendak menyentuh pipiku.

"Terima kasih. Dibenci satu sekolah ternyata tak seburuk yang kubayangkan."

Poppy terdiam.

Saat aku beranjak, pergelangan kakiku serasa tersengat listrik.

Poppy memintaku duduk kembali. "Aku udah bilang sama anak-anak bahwa foto di Mading Jurik cuma hoax. Sekarang para guru lagi nyari orang yang udah memfitnah kamu. Kamu istirahat aja di sini."

"Kalau begitu pergilah."

"T-tapi aku masih harus merawat luka-lukamu."

"Tak perlu repot-repot. Justru semakin lama aku bersamamu, semakin cepat aku dikubur."

Poppy tertunduk sambil meremas-remas ujung kain bajunya.

"Aku tahu kamu masih enggak percaya padaku karena kejadian kemarin." Ia mendongak. "Tapi please, Grey ... seenggaknya beri aku kesempatan buat menebus kesalahanku."

"Masih belum paham juga? Kau idola di sekolah ini, sedangkan aku? Meski aku diculik pun tak ada orang di Smansa yang peduli. Aku cuma mau hidup tenang. Bukan hidup dalam ancaman gengmu atau orang-orang yang menyebutmu ratu. Oh, atau kau hanya pura-pura baik padaku, membuatku jatuh hati, agar kau bisa memanfaatkanku, lalu membuatku mati dikeroyok fans-mu?"

Kedua mata Poppy tampak berair. Ia lalu mengedipkan mata sambil tersenyum manis.

"Kamu pintar, Grey. Aku yakin banyak cewek yang suka sama tipe cowok kayak kamu. Cowok pintar itu seksi, lho."

"Aku tak tahu definisi pintar macam apa yang kaumaksud. Pintar menipu? Heh. Setahuku cewek di sini lebih suka dengan cowok ganteng bertampang bayi dan anak pengusaha kaya."

"Itu enggak benar."

Poppy mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tangan kanannya menyentuh dadaku. Jemarinya mengukir simbol hati pada area tempat jantungku berdetak. Aku bergeser karena geli. Apa dia tidak sadar bahwa aku hanya memakai singlet, dan tak ada orang selain kami berdua di sini?

"Grey, pernahkah kamu merasa dunia ini terlalu berisik, tapi di sisi lain, kamu merasa kesepian?"

"Entahlah."

"Itu yang kurasakan," ucapnya. "Banyak yang bilang aku cantik dan berbakat. Cowok-cowok ramai memintaku menjadi pacar mereka. Sampai sekarang, aku masih sering menerima hadiah, sms, chat, bahkan surat cinta. Konyol, 'kan? Heh. Seakan-akan hidupku enggak bisa luput dari perhatian mereka. Jujur, aku senang dengan perlakuan mereka, tapi ... makin lama aku makin merasa hampa. Aku juga pengen merasakan jatuh cinta. Aku juga pengen mencintai seseorang seperti mereka yang mencintai diriku. Dan kamu tahu, saat aku masuk Smansa, akhirnya keinginanku terkabul—" Poppy menatapku lekat-lekat. "—berkat kamu, Grey."

Pipiku terasa kaku. Entah mengapa.

"Kamu mungkin enggak sadar, tapi aku selalu merhatiin kamu sejak hari pertama MOS. Awalnya aku cuma penasaran, kenapa cuma kamu yang enggak berbaur sama anak-anak lainnya. Aku selalu pengen mengobrol sama kamu, tapi selalu ada cowok lain yang mengganggu. Lama-lama, aku jadi pengen tahu lebih banyak tentang kamu. Aku pengen tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Aku penasaran dengan hobimu, kebiasaanmu, dan makanan kesukaanmu. Dalam bayanganku, pasti indah kalau suatu saat aku bisa jalan berdua sama kamu. Lalu aku mikir, inikah yang namanya cinta?"

Poppy menyingkap rambut yang menutupi mata dan telingaku. Napasnya terasa hangat di pipiku. Sial. Tubuhku kaku. Jantungku berdegup kencang. Semakin kutolak, diriku semakin tak berdaya. Lagi pula, kenapa aku harus menolak gadis semanis dia? Kalau bersama Poppy, aku mungkin bisa ....

"Kamu mungkin kelihatan cuek, tapi sebenarnya kamu peduli 'kan sama teman-temanmu? Kamu mau membantu Klub Jurik bukan gara-gara takut tinggal kelas, tapi karena kamu enggak mau Alin dalam bahaya, 'kan?"

Aku memalingkan muka.

"Alin beruntung punya teman kayak kamu, Grey." Poppy menyandarkan kepalanya di bahuku. "Aku mungkin terlihat buruk di matamu gara-gara kejadian kemarin, tapi bolehkah aku dapat kesempatan kedua? Kalau enggak bisa jadi pacarmu, bisakah aku jadi temanmu?"

Aku menghela napas. "Pop."

"Ya, Grey?"

"Kau tahu? Kau seperti P-4000, salah satu zat paling manis yang pernah dibuat oleh manusia. Sesuai namanya, rasa manisnya setara dengan empat ribu kali manis gula alami."

Poppy tersipu. Pipinya memerah.

"Tapi zat itu beracun," ucapku, "sama sepertimu."

Poppy mengangkat kepalanya dari bahuku. Raut wajahnya tampak bingung.

"Pergilah," kataku.

"T-tapi—"

"Kalau kau tak mau pergi, aku yang pergi."

Aku beranjak.

"Oke!" Poppy mencegahku. "Oke. Selamat beristirahat, Grey."

Gadis itu tersenyum tipis. Ia berdiri, merapikan rambutnya, lalu keluar ruangan. Sesampainya di depan pintu, ia melambaikan tangan. Lambaiannya lemah.

Poppy pun pergi. Selamat. Hampir saja aku termakan rayuannya. Sejujurnya, aku sedikit merasa bersalah. Namun, dia tetaplah anggota geng Tomcat dan salah satu cewek paling populer di Smansa. Dia tak memberiku apa pun kecuali masalah.

Beberapa saat kemudian, seorang pria tinggi besar dan berkulit gelap memasuki ruang UKS. Siapa lagi kalau bukan Roy. Satu pengganggu pergi, muncul pengganggu yang lain.

"Kelihatannya kau sudah lebih baik," ucapnya sambil tersenyum.

"Akan jauh lebih baik kalau aku tak melihat wajahmu."

Roy tertawa. "Jangan dingin begitulah."

"Terus? Apa aku harus bilang, 'Selamat pagi, Pak Guru' sambil tersenyum ramah? Aku sudah kenyang dengan trik-trikmu. Om cuma menggunakanku agar Om bisa lepas tanggung jawab sebagai guru, 'kan?"

"Justru itu. Peran guru adalah mengajari muridnya berburu, bukan menyediakan makanan gratis. Kalau aku selalu membantumu, kau takkan berkembang."

"Omong kosong. Sebelum berkembang, aku mungkin sudah mati."

Senyuman di wajah Roy menghilang. Ia menghela napas.

"Well, aku setuju kejadian akhir-akhir ini sudah keterlaluan," ujarnya. "Para guru sudah sibuk dengan urusannya masing-masing, ditambah harus menghadapi siswa-siswa yang bermasalah. Mungkin ada yang sengaja mengalihkan isu untuk menutupi masalah yang lebih besar. Sangat tidak wajar mengingat ada siswa yang hilang selama tiga hari, tapi tak ada yang peduli."

Aku mengernyitkan dahi.

"Kau mungkin menganggapku cuma bersantai, tapi aku selalu mengikuti perkembangan kalian. Makanya aku mendatangkan tamu penting." Roy menoleh ke arah pintu. "Azka, masuklah, Nak."

Sesosok gadis muncul dari balik pintu dengan malu-malu. Rambutnya sebatas bahu, dengan poni panjang yang menutupi mata dan pipi kanannya. Wajahnya kusam, pakaiannya lusuh, dan ada plester luka di pipi kiri dan kedua tangannya. Ia mengenakan seragam SMP 2 Petanjungan, sekolahku dulu.

***

A/N: Bagaimana pendapat kalian tentang bab ini? Ada yang ingat siapa Azka? Hehe. Thanks for reading, don't forget to vomment(s), and I hope you enjoy it. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro