Bagian 37: Dendam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul lima sore, penyerbuan berakhir. Deni Dongkrak menyerahkan diri. Kurasa ia tak punya pilihan karena polisi terus menembaki warga desa yang tak bersenjata. Azka menolak saat kuajak pergi. Katanya, "Rumahku di sini."

Aku pulang sebelum petang. Semakin lama di sini, aku takut kewarasanku hilang. Rentetan senjata api kini digantikan oleh raungan isak tangis anak-anak dan orang tua. Saat aku menoleh, tampak seorang anak kecil menangis di depan seorang pria yang bersimbah darah. Sejak saat itu, sampai di luar desa aku hanya memandang ke depan dan tak mau menoleh lagi.

Hujan datang dalam perjalanan pulang, seolah-olah malaikat di surga juga turut berempati. Polisi mengorbankan banyak orang hanya demi menangkap satu. Dengan dalih menumpas kejahatan, tanpa melalui jalur hukum, mereka tak segan-segan menghabiskan peluru. Kupikir kisah semacam itu hanya terjadi pada saat Orde Baru, seperti kata Ibu. Sekarang semua itu terjadi di depan mataku.

Sesampainya di jalan dekat pasar, kulihat Alin berteduh di sebuah halte di samping stasiun. Kupikir ia sudah pulang dari tadi. Saat kuhampiri, pandangannya ke bawah dan rambutnya kusut. Walaupun ada kernet angkot yang menawarkan tumpangan, ia hanya diam. Ketika semua calon penumpang sudah naik, aku tak jadi mengikuti mereka dan duduk di sebelah gadis itu. Hanya berdua.

"Hei, semakin sore semakin jarang angkot yang lewat sini," ucapku mencoba membuka obrolan.

"Pulang aja sendiri."

Membujuk bukan keahlianku, tetapi rasanya tak enak juga meninggalkannya sendirian.

"Apa yang akan kaulakukan sekarang?"

Alin tak menjawab.

"Kau curang, Lin. Aku sudah menceritakan semua yang kutahu tentang Mas Diaz, tapi kau tak pernah memberitahuku apa-apa. Kau tahu sesuatu tentang Phantom Club dan Mr. I, 'kan?"

Alin menghela napas. "Phantom Club? Setahuku mereka grup online yang dibuat untuk membalas dendam, dan Mr. I adalah ketuanya."

"Cuma itu?"

"Cuma itu."

"Lalu kenapa waktu di belakang stadion, kau panik dan histeris saat mendengar tentang mereka? Kenapa kau bilang itu bukan urusanku? Memangnya apa yang membuat mereka jadi urusanmu?"

Alin tak menjawab.

"Tidak masalah kalau kau tak mau menjawab."

Alin tak peduli.

Sepertinya aku harus mencoba pendekatan lain.

"Lin, kau takkan menyelidiki kasus ini sendirian lagi, 'kan?"

Alin tersenyum tipis. Aku tak suka senyuman itu. Itu tak berbeda dengan senyuman di ruang arsip Sabtu lalu, saat ia kuberi pertanyaan yang sama. Senyuman yang seolah menegaskan ucapannya selanjutnya.

"Kalau iya kenapa?"

"Kuadukan pada ayahmu."

"Kamu nggak akan berani. Aku masih punya foto itu."

"Sebarkan saja. Lagi pula kehidupan sosialku sudah hancur. Kau hanya akan jadi orang kedua dalam daftar pemfitnahku."

Alin berdiri sambil menatapku kesal.

"Kenapa sih kamu selalu ikut campur?! Lihat dirimu! Babak belur, kotor, bau, itu semua gara-gara kamu ikut campur sama urusanku! Seandainya kamu enggak menyelamatkanku dari kejaran Tomcat, ini semua enggak bakal terjadi. Apa sih tujuanmu sebenarnya? Membantuku? Atau mengejekku? Heh. Pasti kamu pikir lucu 'kan melihatku dipermainkan begini?"

Alin melangkah pergi hendak meninggalkan halte. Saat aku menghentikannya, ia berbalik dan menepis tanganku. Matanya berair.

"Aku tahu, Grey." Suaranya bergetar. "Sejak awal aku udah gagal. Akulah yang seharusnya ditangkap, bukan Mas Diaz. Aku yang seharusnya berada di posisi Mas Diaz sekarang. Kamu enggak perlu mengolok-olok rencanaku atau mempermalukanku di depan orang-orang, apalagi bohong soal aku suka sama Eca. Aku tahu aku tolol. Aku cuma enggak mau orang lain ikut terjerumus dalam ketololanku. Entah itu Eca, kamu, atau yang lain."

Alin terisak-isak sambil mengusap kedua matanya dengan lengannya. Ia mencoba tegar meski 'topeng'-nya sudah mulai retak.

Aku melihat sekeliling. Langit mulai gelap. Hujan semakin deras. Jalanan semakin sepi. Kupastikan tak ada yang melihat dan mendengar suara kami. Jujur aku masih trauma gara-gara pernah difitnah sudah membuat cewek menangis.

"Kau sadar 'kan, kalau kau pergi, kau bakal lebih menyakiti orang-orang yang ingin kaulindungi?"

"Daripada mengorbankan banyak orang, mending mengorbankan satu, 'kan?"

Ucapannya mungkin benar secara logika, tetapi melihat konteks saat ini, itu hanya ucapan orang putus asa. Alin terlalu lelah secara fisik dan mental. Dia tak bisa berpikir jernih.

Di samping itu, kesabaranku juga mulai habis.

"Lin, bisa tidak kau berhenti bersikap sok pahlawan?"

Alin menaikkan alis.

"Siapa yang sebenarnya suka ikut campur di sini? Buat apa seorang anak SMA sepertimu menyelidiki kasus yang bahkan polisi saja tidak mampu? Biar dapat penghargaan? Biar disanjung banyak orang?"

Selama beberapa saat, kami saling bertatap-tatapan. Suara hujan mengisi keheningan di antara kami.

"Kamu mau tahu alasannya?" ucap Alin seraya duduk kembali. "Sejak kecil aku sering melihat Ayah menangkap penjahat. Semakin banyak yang Ayah jebloskan ke penjara, semakin banyak yang ingin menjatuhkan dia. Setiap Ayah menyelesaikan suatu kasus, hampir tiap malam rumah kami diancam. Sampai sekarang ancaman itu emang enggak terbukti, tapi segalanya bertambah buruk sejak Ayah mulai menyentuh keluarga Prakoso. Orang-orang mencurigakan sering datang ke rumah kami. Berkali-kali mereka mencoba ke rumah Ayah untuk menghentikan penyelidikannya. Tentu Ayah menolak. Tapi apa yang ia dapat?

"Suatu malam Ayah pulang berlumuran darah. Ayah enggak pernah bilang padaku. Setelah kucari tahu, ternyata Ayah habis dimarah-marahi atasannya dan dicopot dari jabatannya. Saat perjalanan pulang, dia dipukuli preman, dan keluarga kami diancam bakal disakiti juga kalau masih nekat menyelidiki kasus Ratna. Gila. Kupikir polisi adalah penegak hukum. Kupikir di kota ini, enggak ada polisi sebaik Ayah. Tapi kenapa Ayah harus menderita? Apa jadi orang jujur dan membela kebenaran itu salah?

"Kalau aku jadi Ayah, mungkin aku bakal keluar dari kepolisian busuk itu. Tapi Ayah tetap bertahan karena dia harus menghidupi keluarga kami. Ayah enggak punya pilihan, sementara aku cuma jadi beban. Bahkan saat aku mencoba membantunya, aku malah mengacaukan semuanya."

Ini kali pertama Alin bercerita tentang ayahnya padaku. Kadang buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.

"Setidaknya kau masih punya ayah yang selalu menjagamu," gumamku lirih.

"Hah?"

"Kau tak sendirian, Lin. Jangan berpikir seolah-olah hanya kau yang bertanggung jawab membereskan kekacauan di kota ini. Kau bukan pahlawan super."

"Siapa lagi yang bisa kupercaya? Kamu? Terakhir kali aku minta bantuan, aku malah mau dijual. Apa jaminannya kamu enggak bakal melakukan hal yang sama?"

Alin memalingkan muka. Ia mendekap tubuhnya yang gemetar.

"Aku tak masalah meski kau tak memercayaiku," jawabku. "Anggap saja musuh kita sama. Orang bilang musuh dari musuh adalah teman, 'kan?"

"Teman?" Alin tersenyum pahit. "Berteman denganku cuma bakal bikin kamu tambah menderita, Grey."

"Kau pikir aku peduli?" ucapku. "Selama kau tak bertindak gegabah dan mengganggu rencanaku, aku juga takkan mengganggumu. Mulai sekarang, tetaplah di bawah pengawasan orangtuamu. Terutama ayahmu."

Alin melotot. "Maksudmu aku harus diem aja sementara aku enggak tahu apa yang bakal kamu lakukan? Seenggaknya kasih tahu rencanamu!"

Aku tak menjawab.

Alin tambah cemberut. "Oh, apa karena aku cewek? Menurutmu aku lemah? Kamu pikir aku puas dengan cuma duduk manis di rumah?"

"Jangan salah paham. Kau kuat. Bahkan dalam kondisi lelah, kau masih bisa meladeni dua pria yang dua kali lebih besar darimu. Bayangkan kalau kau dalam kekuatan penuh. Pasti kau bisa mengalahkan gorila."

"Apa kamu bilang?!" Alin mencubit lenganku. Sepertinya pujianku malah membuatnya marah. Cewek memang susah dimengerti.

"M-maksudku, suatu saat aku pasti butuh bantuanmu. Aku juga perlu kekuatan penuhmu agar rencanaku berhasil. Aku akan memberi tahu rencanaku, tapi tidak sekarang."

Alin mengelus-elus dagu.

"Terus ... sekarang aku harus ngapain?"

"Istirahat yang cukup."

***

Kamis pagi. Bangun tidurku tak pernah selega ini sebelumnya. Kupikir kemarin adalah Rabu terakhirku di dunia ini. Difitnah, dikirimi kaleng kutukan, dipukuli, belum termasuk kejadian di hutan Kalabendu dan desa Balongan. Dua kali aku di ujung maut gara-gara Jerry dan Isnan. Dan aku punya firasat, maut akan terus menghantuiku jika aku tak melakukan sesuatu.

"Hei, Grey, kau sudah lihat Radar Petanjungan hari ini?" tanya Red begitu aku tiba di kelas. Radar Petanjungan adalah koran lokal di kotaku.

"Tidak, kenapa?"

"Mas Diaz, Grey! Mas Diaz dibunuh! Dan katanya polisi kemarin adu tembak dengan pelakunya! Semua orang sedang membicarakannya hari ini."

Sudah kuduga.

Red menunjukkan cuplikan berita itu di internet dengan ponselnya. Judulnya, "Berseteru dengan Pimpinan Geng, Siswa SMA Dianiaya dan Dibunuh".

Kulewati bagian yang sudah kuketahui. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa polisi menetapkan Deni Irwansyah (alias Deni Dongkrak) sebagai tersangka utama. Menurut polisi, motifnya karena Mas Diaz berkhianat dari geng Dinamo dan bekerja untuk geng Tomcat. Yang paling menarik bagiku adalah saat berita itu menceritakan penangkapan Deni. Di situ dikatakan bahwa komplotan geng Dinamo menyerang polisi lebih dulu saat polisi baru masuk desa, sehingga polisi terpaksa menembak. Lucu juga mengetahui betapa mudahnya berita memutarbalikkan fakta.

Pada kolom berisi nama-nama penyusun koran, ada nama Indra Prakoso sebagai pemimpin redaksi. Aku tak tahu siapa dia, tetapi begitu melihat nama Prakoso di belakangnya, aku sudah cukup paham.

"Red, apa si Indra ini juga kerabat Kak Rendy?" tanyaku.

"Setahuku dia paman Kak Rendy, kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Jadi bahkan satu-satunya surat kabar di kota ini juga dikuasai keluarga Prakoso.

"Aku tak percaya Mas Diaz dibunuh oleh Deni Dongkrak," ujar Red. "Pertama, lokasi penemuan mayatnya terlalu dekat dengan markas geng Tomcat. Kedua, polisi terlalu cepat mengambil keputusan bahwa pelakunya adalah Deni. Ketiga, alasan polisi menembaki warga desa Balongan itu konyol. Sepertinya kematian Mas Diaz sengaja dibuat untuk semakin menyudutkan geng Dinamo."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Grey," Red menengok kanan-kiri, lalu berbisik, "aku pernah bilang ada rumor bahwa geng Tomcat bersekongkol dengan polisi, 'kan? Ternyata itu bukan rumor. Kudengar ketua geng Tomcat sebelum Kak Jerry adalah adik dari Isnan Sodikin, Kapolsek Petanjungan Utara saat ini. Penyebab utama pecahnya tawuran 6 September tahun lalu adalah karena Deni Dongkrak membunuh ketua geng Tomcat, yang juga adik polisi!"

"Hah?!"

"Jangan keras-keras!" hardik Red. "Deni bebas dari tuduhan tahun lalu, tapi sepertinya polisi itu masih menyimpan dendam. Tapi aku masih tak paham kenapa Mas Diaz bisa terlibat pada perseteruan mereka."

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara hentakan tangan di atas meja.

"Hei, Red!" ucap Bondan—si botak bergaris-garis—sambil melempar tasnya ke pangkuanku. "Aku duduk sini ya."

Red mengernyitkan dahi. "Ada Grey di situ. Cari kursi lain sana."

Bondan menoleh padaku.

"Oh, maaf, kukira enggak ada orang," katanya pura-pura menyesal. "Bisa tolong minggir? Tuh, di pojok kosong. Setan biasanya suka nunggu di pojok, 'kan?"

"Bondan!" bentak Red. "Tidak lucu, tahu!"

"Tak masalah, Red, biar aku duduk di pojok."

Aku beranjak sambil mengambil tasku tanpa menghiraukan protes dari Red.

Tentu saja. Gosip tentangku menyerang Poppy tak mungkin hilang hanya dalam sehari. Beberapa teman sekelasku masih membicarakanku sepanjang aku melangkah ke bangku kosong di sudut ruangan.

"Katanya dia babak belur gara-gara dipukuli si Jerry, ya?"

"Udah gitu katanya abis ditolongin Poppy, dia malah ngusir!"

"Enggak tahu terima kasih."

Aku hanya mendiamkan mereka dan terus melangkah. Tak ada gunanya ribut dengan orang-orang yang hanya tahu sesuatu dari "katanya".

Saat aku duduk di kursi kosong di sudut ruangan, aku merasa sesuatu yang lengket telah melekat pada kain celanaku.

Ada darah di atas kursiku.

***

A/N: And that is all! Setelah berjuang melawan sakit gigi, akhirnya bisa update lagi. :'D
Semoga akhir pekan kalian menyenangkan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro