Bagian 39: Kesepakatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ivan?" tegur Feli, cewek berkucir kuda yang baru datang.

Tangan Ivan berhenti bergerak. Ia lalu menjatuhkan pisau di tangannya dan terduduk lemas. Wajahnya pucat.

"Astaga, Ivan! Darahmu keluar banyak banget! Ini harus cepat-cepat dihentikan kalau enggak—"

Ivan bergeming. Sementara Feli sibuk mengajak Ivan bicara, kuperiksa identitas cowok berjaket hitam. Budi Santoso, siswa kelas satu SMA Tunas Bangsa. Pada bagian tengkuknya, terdapat tato kucing hitam bermata tiga. Anggota geng Tomcat.

"Gery," panggil Feli.

"Um, namaku Gre—"

"Apa yang terjadi di sini? Siapa dia?" potongnya sambil menunjuk cowok pingsan di sampingku.

Aku pun menceritakan situasinya.

Setelah mengikat luka Ivan dengan kain seadanya, aku dan Feli menuntun Ivan ke rumahnya. Kuhubungi polisi bahwa telah terjadi penyerangan. Tak lama kemudian, polisi pun datang dan memintai kami keterangan. Mereka meringkus pelaku. Ivan marah-marah dan menyuruh polisi untuk memeriksa saudara kembar keluarga Prakoso. Katanya, "Dia pasti disuruh oleh Rendy untuk melenyapkanku!" Polisi bilang mereka bakal menyelidiki kasus ini sampai tuntas. Namun, sampai polisi pergi, amarah Ivan masih belum redam.

"Itu yang selalu mereka bilang! Tuntas apanya. Sudah setahun tapi pembunuh Kak Ratna belum ditangkap. Sekarang Diaz juga ikut jadi korban."

Ivan terus uring-uringan sementara Feli dengan sabar mengobati luka cowok itu. Aku masih terkesima dengan besarnya rumah Ivan sejak memasuki pintu gerbang. Gaya bangunannya bertingkat dua mirip arsitektur loji Belanda, tetapi bagian depannya menyerupai joglo khas kraton Jawa. Selain itu, bagian depan rumah Ivan juga sekaligus menjadi toko baju, tempat peminjaman kostum, dan tata rias dengan nama TATA NUSANTARA. Ruang keluarga dan kamar tidur berada di bagian belakang, dipisahkan oleh taman dan air mancur kolam.

Kami duduk di sofa lantai dua tepat di depan kamar Ivan. Perhatianku tertuju pada banyaknya topeng wayang tradisional di dinding ruangan. Ada topeng Pandawa, Kurawa, beberapa tokoh wayang yang tak kukenal, serta Semar-tokoh Punakawan kesukaan Bapak.

"Aku tak pernah menginginkan semua ini," ucap Ivan. "Kak Ratna tewas. Semuanya meninggalkan klub. Aku harus capek-capek membangun klub kembali saat masih kelas satu. Berbulan-bulan aku harus menghadapi ancaman sendirian. Aku sampai harus merekrut mantan kriminal—jangan tersinggung, Fel—untuk mempertahankan klub. Tapi setelah semua yang kulakukan, semuanya menghinaku. Ya, aku memang payah. Aku tak secerdas Rendy atau Kak Ratna. Tapi apa aku punya pilihan? Seandainya Kak Ratna masih hidup, ini semua takkan terjadi. Harusnya pembunuhnya yang disalahkan! Kenapa orang-orang malah menyalahkanku?"

Ivan menoleh padaku.

"Grey, asal kau tahu, aku bukan pecundang yang senang diinjak-injak dan diludahi, dan aku butuh pejantan tangguh yang punya nyali untuk menentang ketidakadilan di kota busuk ini. Kau pejantan tangguh atau pecundang?"

"Apa itu materi pidato kampanye Kakak yang baru? Itu lebih bagus daripada saat debat Senin lalu."

"Kau pikir itu lucu, hah?"

Ivan melotot. Feli pun turut menatapku tak senang.

"Aku cuma heran kenapa Kakak harus bicara berbelit-belit di depanku. Tak penting aku ini pecundang atau pejantan tangguh. Kakak cuma butuh informasi untuk mengalahkan Kak Rendy di pemilos nanti, 'kan?"

"Jelas lah! Apa kau mau dipimpin oleh psikopat seperti dia?"

Aku mengangkat bahu.

"Kak Ratna dan Diaz pasti tahu tentang kebusukan Rendy," lanjut Ivan. "Mungkin dia pikir aku juga tahu sesuatu dan ingin melenyapkanku juga. Heh. Dia pikir aku siapa? Aku sudah muak setahun hanya bisa bertahan dan bersabar. Sekarang giliranku menyerang. Biar semua orang tahu siapa bos yang sebenarnya."

Ivan membetulkan jambul kakaktuanya yang mulai rebah.

"Kau bilang kau tahu tentang Mr. I. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Rendy?"

Aku menengadahkan tangan.

"Satu pertanyaan, seratus ribu."

Ivan tampak kesal. Ia merogoh koceknya dan mengeluarkan uang dua ratus ribu, lalu kuterima dengan senang hati.

"Aku tak tahu siapa Mr. I. Aku juga tidak tahu apa hubungannya Kak Rendy."

"Berengsek! Kembalikan uangku!"

Kucengkeram lengan Ivan yang hendak merogoh saku celanaku.

"Hari Minggu kemarin orang-orang dari Tomcat memukuli Mas Diaz di bangunan bekas panti asuhan Pondok Kamboja. Mr. I adalah ucapan terakhir Mas Diaz yang kutahu sebelum dia menghilang."

Ivan terdiam.

Aku tersenyum.

"Mau tahu lebih banyak?"

"Lepaskan tanganmu."

Kulepaskan tanganku. Kukeluarkan sebuah flashdisk dari saku celanaku. Akhirnya rekaman yang kusalin dari kamera Alin ada gunanya juga.

"Di sini terdapat rekaman peristiwa pemukulan Mas Diaz Minggu lalu. Kakak bisa mendapatkan salinannya dengan menambah tiga ratus ribu."

"Kita lihat dulu apa rekaman ini berguna buatku," ucap Ivan skeptis. Ia lalu menyuruh Feli mengambil laptop di kamarnya.

Saat Ivan hendak menyetel rekamannya, Feli bertanya, "Apa aku boleh lihat?"

"Silakan," jawabku.

Kami pun menonton rekaman berdurasi sekitar lima belas menit itu [*]. Usai menonton, Ivan memukul meja dan mengumpat pada geng Tomcat.

[*Baca lagi Bagian 12: Misteri Dalam Rekaman untuk mengingat kembali rekaman yang dimaksud.]

"Ternyata memang mereka pelakunya!" bentaknya geram. "Jadi ini yang Alin selidiki kemarin Minggu?"

"Alin tidak ada hubungannya dengan ini."

"Lalu kenapa dia ke rumahmu padahal saat itu hujan deras?"

"Kakak mau tahu soal Mr. I atau mau tahu soal hubunganku dengan Alin?"

Ivan diam sejenak. "Waktu di aula kemarin kau bilang Alin pura-pura berpacaran denganku karena dia diancam. Kupikir dia diancam gara-gara ini."

"Itu cuma hipotesis. Pada akhirnya kejadian di aula kemarin cuma salah satu kejahilan Lilis, 'kan?"

Ivan tak tampak puas dengan jawabanku.

"Sebentar, lalu siapa yang merekam video ini? Siapa cewek yang berteriak di akhir video?" tanya Ivan lagi.

"Maaf. Aku cuma dibayar untuk bercerita soal Mr. I."

Ivan membuka dompetnya lagi dan menyerahkan uang tiga ratus ribu.

"Oke, aku beli rekaman ini," ucapnya. "Kau belum menjawab pertanyaan keduaku."

"Soal Kak Rendy? Seperti yang kubilang tadi, aku belum tahu pasti hubungan Kak Rendy dengan Mr. I, khususnya dengan kematian Mas Diaz, tapi ... ini cuma teoriku, sih."

"Mau teorimu, mau khayalanmu, terserah. Ceritakan apa pun yang ada dalam pikiranmu."

Aku tak tahu apakah Ivan benar-benar percaya padaku, atau dia hanya putus asa gara-gara kehabisan akal untuk mengalahkan Rendy. Apa pun itu, situasi ini menguntungkan buatku.

"Sebelumnya aku mau tanya, apa Mas Diaz pernah ikut terlibat dengan bisnis prostitusi online?"

"Apa?!" teriak Feli.

"Aku belum pernah mendengarnya," ujar Ivan lebih tenang. "Diaz memang butuh banyak uang untuk melunasi utang dan memuaskan hobinya. Dia juga pernah ditangkap gara-gara meretas bank. Jadi aku tak begitu heran. Dari mana kau mendengar kabar itu?"

"Ini cuma gosip dari temannya temanku. Katanya Mas Diaz adalah admin dari situs prostitusi online yang salah satu targetnya adalah anak-anak sekolah, termasuk sekolah kita. Kemarin Minggu Mas Diaz berencana untuk bertransaksi dengan Kak Rendy di bangunan bekas panti asuhan itu, tapi seperti yang Kakak lihat, dia malah dipukuli oleh Kak Jerry dan anak buahnya. Mas Diaz dijebak. Kupikir ada yang memberi tahu Kak Jerry bahwa Mas Diaz memiliki informasi yang membuat Kak Jerry geram, dalam hal ini, seperti video dan foto-foto yang digeledah dari tas Mas Diaz. Kemungkinan besar itu adalah foto cewek. Dan setahuku, cewek yang bisa menyulut amarah Kak Jerry sampai segitunya cuma Poppy."

Ivan mengelus-elus janggut tipisnya. Bola matanya bersinar seperti mendapat hidayah.

"Ah! Maksudmu, Rendy adalah Mr. I? Dalam rekaman ini, Diaz bilang 'Mr. I' saat ditanya siapa yang menyuruhnya. Kalau Rendy yang merencanakan pertemuan itu, berarti Rendy yang menjebak Diaz, 'kan?"

"Mungkin, tapi teori itu masih punya celah. Kalau Mr. I memang Kak Rendy, kenapa Mas Diaz tak cukup memberitahu namanya saja?"

Selain itu, masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku, seperti apakah benar Mas Diaz yang mengirimku pesan saat itu, dan kenapa ada bekas jeratan di lehernya saat kulihat jenazahnya kemarin. Namun, kurasa itu tak perlu dibahas sekarang. Yang terpenting saat ini adalah membuat Ivan percaya padaku.

"Benar juga." Ivan garuk-garuk kepala seolah sudah mentok. "Kalau kuminta kau untuk mencari tahu siapa Mr. I, berapa biayanya?"

Itulah pertanyaan yang ingin kudengar.

"Tergantung," balasku. "Kakak ingin tahu seluruh kebenaran kasus ini, atau Kakak hanya ingin mengalahkan Kak Rendy dalam pemilos nanti?"

"Apa bedanya?"

"Kalau Kakak sungguh ingin tahu kebenarannya, dan ternyata Kak Rendy memang bersalah, berarti Kakak beruntung bisa menjatuhkannya di pemilos, sebaliknya, jika dia bersih, Kakak harus menerima kenyataan bahwa Kak Rendy lebih pantas jadi ketua OSIS. Tapi kalau Kakak hanya ingin mengalahkan Kak Rendy, kebenaran kasus ini tidak penting. Kita gunakan saja segala trik kotor untuk menyerangnya sampai dia menyerah dan memberikan jabatan ketua OSIS untuk Kakak."

Ivan tampak berpikir keras. Selang lima menit, akhirnya ia memberi jawaban.

"Baik. Aku ingin tahu semuanya. Percuma menang pemilos kalau hidupku terancam. Siapa pun yang berada di balik semua kekacauan ini, aku mau dia mendapat balasan yang setimpal," ujarnya geram. "Bilang saja berapa."

"Umm ... satu juta?"

Tiba-tiba Feli menarik kerah bajuku sampai-sampai 'aset'-nya hampir menyentuh dadaku.

"Cukup! Pergi dari sini dasar pemeras!" bentaknya sambil mendorongku menjauhi Ivan. "Van, jangan dengerin kata-kata dia lagi. Dia cuma mau morotin kamu!"

"Fel, diam! Grey itu tamuku!"

"Van, dia mungkin udah nyelametin kamu, tapi dia itu sekutu Alin! Kamu tahu 'kan yang Alin lakukan ke kamu? Kamu udah dimanfaatin sama mereka! Aku cuma enggak mau kamu melakukan kesalahan yang sama!"

"Kesalahan yang sama? Oh, seperti merekrutmu dan Lilis ke klub? Alin dan Grey sudah mendapat lebih banyak informasi daripada yang kamu dapat selama setahun!"

Feli bungkam. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.

"Oh, 'gitu? Fine! Manjain aja adik kelasmu terus! Aku enggak akan bantu kamu lagi kalau kamu kenapa-kenapa!"

Dengan langkah gontai Feli menuruni tangga sambil memegangi rok seragam sekolahnya. Keheningan tercipta sementara kudengarkan suara tak tok tak tok dari sepatu Feli yang makin menjauh.

"Begini saja," ucap Ivan setelah langkah Feli tak terdengar lagi. Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu. "Ini uang mukanya. Batas waktumu sampai hasil pemilos diumumkan Selasa depan. Aku akan membayarmu penuh kalau kau tahu siapa Mr. I dan bisa membuktikannya. Tapi kalau kau gagal, kau harus mengembalikan uangku. Deal?"

"Tunggu, Selasa depan? Itu cuma lima hari dari sekarang. Seratus ribu mana cukup."

"Kau masih punya lima ratus ribu dari penjualan rekaman ini, 'kan? Aku tak mau menghabiskan uangku lebih banyak untuk orang yang bisanya cuma bacot. Paham?"

"Baiklah," ucapku terpaksa. "Tapi dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"Pinjami aku kamera dan kostum gratis."

Kami pun sepakat pada akhirnya. Setelah meminjam kamera, wig, dan beberapa riasan wajah, aku pamit pulang.

Sesampainya di pintu gerbang, kulihat Feli sedang mengotak-atik ponselnya sambil berjalan. Aku mengikutinya perlahan. Begitu ia berbelok ke gang di samping rumah Ivan, gadis itu berhenti dan menelepon seseorang.

"Halo, Ira? Suruh anak-anak kumpul di Gudang Balok nanti malam .... Jam sembilan .... Ya, ya, aku berubah pikiran. Aku bakal balik ke Pink Blazer."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro