Bagian 41: Persyaratan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorenya, aku pergi ke kafe Re:Noir untuk menemui Gita. Aku kecewa yang menyambutku di meja resepsionis bukan Karina. Aku menanyakan keberadaan Gita. Dia bilang Gita tak di sini. Kutanya lagi di mana. Dia memberitahuku alamat Gita, di kos Merpati. Aku pun berterima kasih dan pergi. Dia tampak tak senang setelah tahu aku datang tanpa memesan.

Kos putri Merpati letaknya tak jauh di belakang kafe. Tak sulit menemukan Gita. Sejak aku melewati pintu gerbang, ia tampak sedang bermain catur di teras bersama Karina.

Mereka berdua tak menyadari kedatanganku meski aku telah berdiri di belakang Gita. Karina begitu fokus dengan permainannya. Ia tampak percaya diri melangkahkan bidak-bidaknya. Gadis berjilbab itu bahkan tak ragu mengorbankan kudanya untuk menyerang raja Gita.

"Itu jebakan," ucapku saat pion Gita hendak memakan kuda milik Karina. "Kalau kau memakannya, lajur benteng terbuka, dan kau bakal diskakmat oleh menteri."

"Kya!!!" Seketika Gita menoleh dan menjerit seperti anak kucing. Ia berdiri dan mundur beberapa langkah dariku.

"Grey! Mau apa kamu ke sini? Mau cari mati, hah?!" bentaknya sambil mengangkat sendal.

"Tidak, tidak, tenanglah," pintaku. "Aku ke sini cuma mau wawancara buat tugas klub."

"Tugas klub? Kamu enggak lihat kalau ini kos-kosan cewek?! Pasti kamu ke sini buat ngintip, 'kan? Aku tahu klubmu itu sarangnya stalker!"

"Aku tak melihat tanda cowok dilarang masuk di sini."

"Aku nggak peduli! Keluar!" Gita benar-benar melempar sendal di tangannya. Untung aku bisa menghindar.

"Kenapa marah? Karina juga tak keberatan," kataku sambil menoleh pada Karina. "Aku boleh main, 'kan?"

Karina mengangguk dengan ragu-ragu.

"Tuh."

"Terus kenapa? Ini tanah milik keluargaku. Karina cuma ngekos di sini. Kalau aku bilang pergi ya pergi!"

Kedua tangan Gita tampak gemetaran.

"Maaf, aku tahu kau benci cowok," ucapku. "Aku yakin kau juga makin membenciku jika aku mengungkit-ungkit soal masa lalumu, tapi aku tak punya pilihan. Klub kami dalam bahaya sekarang. Aku tak mau ada korban lagi. Kau tahu, 'kan? Tolonglah, aku butuh bantuanmu."

"Umm ... Git, mending kita bicara di dalam aja deh," sela Karina.

"Aku belum ngizinin dia masuk," tolak Gita sambil tetap menatapku. "Masa laluku? Kamu ke sini cuma mau tanya soal itu? Aku udah diwawancarai berkali-kali sama orang-orang dari klubmu sejak belum masuk Smansa sampai mulutku berbusa. Daripada buang-buang waktumu ke sini, tanya aja sama senior-seniormu."

"Ya, tapi bukan soal surat pengaduan yang kaukirim," sanggahku. "Ini soal Phantom Club."

Ada sedikit perubahan dari mimik muka gadis berambut pendek itu.

"Phantom Club? Klub konyol apa lagi itu?"

"Kau tahu tentang mereka?"

"Maaf, enggak tahu," ujarnya sambil melenggang masuk.

"Tunggu." Aku menunjukkan kartu aneh yang Roy berikan padaku. "Aku juga anggota Phantom Club. Ini kartu anggotaku. Kau tak perlu sungkan bicara denganku."

"Penipu. Phantom Club enggak pernah ngeluarin kartu anggota."

"Ah, rupanya kau memang tahu sesuatu tentang Phantom Club."

Gita menatapku tajam. "Kamu emang cari mati."

Aku tersenyum.

"A-anu, k-kayaknya aku harus pergi," ucap Karina sambil beranjak.

"Kamu tetap di sini!" cegah Gita, masih tetap menatapku. "Dia yang harusnya pergi."

"Oke," kataku seraya mengeluarkan secarik kertas foto dan menuliskan nomor ponselku. "Panggil aku kalau kau berubah pikiran."

Kuletakkan kertas itu di atas meja, lalu berbalik dan hendak pergi. Baru beberapa langkah, Gita memanggilku.

"Tunggu. Dari mana kamu dapat foto ini?"

Itu adalah foto yang kudapat dari bengkel Dinamo. Orang yang dicoret-coret di foto itu adalah Gita saat masih kecil.

Aku berbalik. "Kau berubah pikiran?"

Gita melotot dan mengepalkan tangan. Ekspresinya brutal.

"Git, kita bicarain baik-baik yuk," ucap Karina mencoba menenangkan Gita. "Aku yakin Grey enggak bermaksud jelek kok."

"Kamu percaya sama dia? Orang yang udah menyerang Poppy gara-gara cintanya ditolak?"

"Apa kamu percaya Grey benar-benar melakukan itu? Dia pasti dijebak," bantah Karina. "Harusnya kamu yang paling tahu soal itu, Git!"

Gita bungkam. Ia lalu menoleh padaku seolah-olah itu kesalahanku.

"Karina enggak pernah sebawel ini sebelumnya," ujarnya lemah. Kemudian ia melenggang masuk. "Ikut aku."

Gita membawaku masuk ke gudang di belakang tempat kos. Ia lalu menyuruhku duduk di sebuah sofa yang sudah jebol busanya. Saat kududuki, bokongku terperosok hampir setengah meter.

Sementara itu, Gita dan Karina duduk di kursi yang masih bagus.

"Apa? Kalau enggak suka pulang aja sana," ujar Gita sinis.

"Tidak, aku baik-baik saja," sahutku.

Karina tersenyum pahit, tampak merasa bersalah.

"Di sini enggak bakal ada yang menguping pembicaraan kita," kata Gita. "Sekarang jelasin. Kenapa kamu bisa punya fotoku dan Papa?"

"Eh? Maksudmu, pria besar di foto ini ayahmu? Yang naik motor denganmu?"

"Siapa lagi? Cuma dia yang tampangnya tua di situ."

"Tapi dia Deni Dongkrak, 'kan? Pria yang pernah jadi ketua geng Dinamo?"

"Terus kenapa? Huh!" Gita membuang muka.

"Jadi kau pernah tinggal di desa Balongan?"

"Ya, sampai umur lima tahun, kira-kira," ucapnya. "Sejak Papa dan Mama bercerai, aku tinggal di sini sama Mama dan Papa tiriku. Alasan ekonomi, dan ... yah, tahu sendirilah."

Aku terdiam.

"Eh, kenapa malah aku yang ditanyain terus? Jawab dong!"

"Well, aku cuma salah satu pelanggan bengkelnya," kilahku. "Saat aku di bengkelnya kemarin, dia ditangkap polisi. Kau tahu?"

Gita mengangguk. "Terus kenapa foto itu bisa di tanganmu?"

Ini kesempatan bagus.

"Ayahmu memintaku mengirimkan foto ini padamu sebelum dia ditangkap."

"Hah? Kenapa?"

"Entahlah. Mungkin dia rindu padamu," ujarku sembari memerhatikan raut wajah Gita. Ia tampak sendu. "Sejak orangtuamu bercerai, apa kau pernah bertemu dengannya?"

"Ya? Oh, tidak, maksudku ... ya, mungkin."

"Kenapa ragu-ragu?"

"Bisa ganti pertanyaannya?" Gita menghela napas. Ia mengedipkan mata berkali-kali seolah ada debu yang masuk.

"Kalau begitu, apa hubunganmu dengan Phantom Club?"

"Phantom Club? Aku cuma pernah jadi anggotanya."

"Pernah? Jadi sekarang sudah tidak?"

"Aku enggak pernah bilang keluar, mereka juga enggak pernah mengeluarkanku. Lebih tepatnya, aku udah enggak berhubungan lagi dengan mereka sejak aku menyelesaikan persyaratanku."

"Persyaratan?"

"Kamu udah tahu 'kan kalau Phantom Club membantu orang membalas dendam? Mereka enggak membunuh orang dengan gratis. Ada dua jenis pembayaran. Pertama secara tunai, kedua jadi anggota mereka, yang artinya membantu mereka dalam pembunuhan berikutnya."

"Intinya, mereka seperti perkumpulan pembunuh bayaran?"

"Tapi orang yang mereka bunuh harus orang yang secara hukum pantas dihukum mati."

"Mirip pahlawan pembela kebenaran?"

Gita tertunduk. "Entahlah. Aku enggak tahu apakah mereka bertindak demi kebenaran, atau ada motif lain."

"Maksudmu?"

"Kamu tahu Mr. I?"

"Banyak yang bilang dia ketua Phantom Club. Kenapa?"

"Pas kelas dua SMP, setelah aku dan Kak Rendy putus ... lalu orang-orang dari Tomcat ...."

Gita menutup mulutnya seperti mau muntah. Karina pun merangkul temannya.

"Ya, aku tahu," ujarku.

"Saat itu si Topan, ketua Tomcat waktu itu, sering mengajakku kencan setiap malam dan mengancamku bakal membunuh orangtuaku kalau aku menolak. Enggak ada yang percaya sama pengakuanku. Waktu aku lapor polisi, mereka malah menertawakanku dan menyuruhku buka baju buat membuktikannya. Kota ini udah gila."

Gita mulai meneteskan air matanya.

"Lalu beberapa bulan kemudian, saat aku kelas tiga, Mr. I menghubungiku. Cuma dia yang percaya padaku. Dia bilang dia bisa membantuku, dengan syarat seperti yang udah kusebutkan. Aku pun setuju. Kemudian, suatu malam si Topan berengsek itu mau memerkosaku lagi, tapi tiba-tiba Papa datang dan memukuli dia sampai mati."

"Om Deni datang?"

"Ya, aku enggak tahu siapa yang ngasih tahu dia lokasi kami. Dia langsung menyuruhku kabur sebelum polisi datang. Sampai di rumah, aku dapat pesan dari Mr. I. Dari situ aku baru tahu kalau dia udah menjebak Papa buat membunuh Topan."

Ternyata itu alasan Deni membunuh ketua geng Tomcat. Mr. I juga turut andil dalam masalah itu.

"Mr. I melakukan itu untuk memicu perang antargeng. Awalnya aku enggak terima dengan caranya, apalagi sampai melibatkan Papa. Tapi lama-lama aku enggak peduli mau pakai cara apa pun selama bajingan-bajingan itu mati."

"Lalu bagaimana dengan Kak Rendy? Apa dia memang terlibat?"

Gita menggeleng. "Aku pernah lihat dia bareng si Topan dan anak buahnya. Tapi aku enggak tahu apa dia yang menyuruh Topan buat ...."

"Tapi di surat pengaduanmu ke Klub Jurik, kau bilang Kak Rendy juga ada di sana."

"Surat itu cuma persyaratanku."

"Hah?"

"Untuk membayar kematian orang-orang yang udah memerkosaku, Mr. I memintaku mengirim surat itu ke klub Jurik. Dia yang bilang kalau Kak Rendy yang mengelola pelacuran dan yang membayar orang-orang itu."

"Tapi ... kenapa harus klub kami?"

Gita mengusap air matanya.

"Entahlah. Mr. I cuma bilang klub Jurik bakal membantuku menguak kasus pelacuran itu. Aku waktu itu percaya-percaya aja, toh klub Jurik satu sekolah dengan Kak Rendy. Tapi setelah itu ... Kak Ratna malah dibunuh."

Gita mengepalkan kedua tangannya.

"Dan yang paling bikin aku marah, Mr. I cuma bilang, 'Terima kasih, tugasmu sudah selesai' lalu enggak pernah menghubungiku lagi. Seolah-olah ... dia cuma menggunakanku untuk mengirim Kak Ratna ke kuburan. Pembela kebenaran apanya. Dia cuma pengecut!"

"Satu pertanyaan lagi, kau tahu polisi bernama Isnan?" tanyaku.

"Apa?"

"Isnan Sodikin, polisi yang juga kakak Topan. Sekarang dia menahan ayahmu. Dia masih dendam sejak adiknya terbunuh. Mungkin kau tahu sesuatu tentang dia?"

"Maksudmu, polisi yang punya codet mirip kail pancing di pipi?"

"Ya."

"Mana mungkin aku lupa. Dia polisi bejat yang menyuruhku buka baju waktu aku lapor sehabis diperkosa. Jadi dia kakak Topan? Pantes kelakuannya sama-sama bejat."

"Tunggu, apa ayahmu tahu soal dia yang sudah ... melecehkanmu?"

Gita mengangkat bahu. "Aku belum pernah ketemu Papa sejak dia membunuh Topan."

Aku mengeluarkan kamera. "Boleh kurekam penjelasan detailnya?"

"Buat apa?"

"Isnan menjebak ayahmu dalam kasus pembunuhan Mas Diaz. Dengan pengakuanmu, mungkin saja itu bisa membebaskan ayahmu."

"Terserah, aku enggak peduli lagi dengan kota busuk ini. Tapi biar kuperingatkan, Grey. Orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain biasanya cepat mati."

"Terima kasih atas nasihatnya."

Setelah kurekam pengakuan Gita tentang Isnan, aku pun pamit pergi. Karina menemaniku sampai pintu gerbang, sedangkan Gita pulang ke rumahnya.

"Maaf kalau perlakuan kami bikin kamu kurang nyaman," ucap Karina. "Gita masih merasa bersalah sejak Kak Ratna terbunuh. Mungkin dia cuma enggak mau kamu mengalami nasib yang sama."

"Tidak, justru aku sangat berterima kasih. Kalau bukan karenamu, Gita mungkin takkan bicara padaku."

Karina tersenyum manis. "Semangat, Grey! Aku yakin kamu dan klubmu bisa mengatasi krisis ini."

Bahkan saat dia menyemangatiku pun terlihat manis.

"Umm ... kalau masalah kalian udah kelar, kamu mau mampir ke klub catur? Kamu bisa main sama aku di sana. Aku penasaran sama kam—kemampuanmu, eh, tapi aku enggak maksa kok. Kalau kamu enggak mau juga enggak papa. Kalau dipikir-pikir mana mungkin kamu mau. Lagian aku siapa kenal dekat aja enggak. Seharusnya aku enggak perlu bil—"

"Tentu. Kenapa tidak?"

Kutinggalkan Karina yang masih senyum-senyum kegirangan. Aku tak yakin bisa memenuhi harapannya. Aku hanya ingin menjaga senyuman itu lebih lama sebelum aku tak lagi bisa melihatnya.

Pukul sembilan malam, aku menuju ke Gudang Balok, gudang penyimpanan kayu gelondongan tempat Pink Blazer mengadakan pertemuan. Aku menyamar menggunakan jaket cokelat Alin, wig rambut panjang, masker, dan kacamata hitam. Puluhan motor diparkir di pelataran. Beberapa cewek dengan blazer merah muda berbondong-bondong memasuki gudang yang tanpa penjagaan.

Kunaiki tumpukan kayu untuk mengintip dari luar jendela. Puluhan, mungkin ratusan cewek berkumpul di dalam sana. Tak kusangka Feli memimpin geng cewek beranggota sebanyak ini. Dari sisi jumlah, mungkin Pink Blazer bisa menyaingi Tomcat. Seolah-olah perwakilan cewek dari sekolah-sekolah di seluruh penjuru kota berkumpul di sini.

Feli duduk di balok kayu tertinggi dengan seragam merah muda yang tampak sudah kekecilan. Cewek berambut sasak yang pernah mengajaknya di aula, Suketi, berdiri di sampingnya bak panglima.

"Udah setahun sejak aku bertemu kalian terakhir kali," kata Feli. "Tapi aku mengumpulkan kalian di sini bukan buat basa-basi. Kita adalah pedang buat cewek-cewek yang udah dirampas hak-hak dan kehormatannya. Sebelum lebih banyak korban yang berjatuhan, kita semua harus bersatu, lupakan permusuhan di antara kalian. Musuh utama kita sekarang, dan musuh semua cewek di kota ini, adalah Tomcat. Dan kita di sini untuk menghancurkannya."

***

A/N: Konflik besar menanti! Apa yang akan dilakukan oleh Grey berikutnya? *niru gaya narator di ending chapter manga shonen jump*

Selamat buat Graizonuru karena sudah berhasil menebak teka-teki ga penting di bab sebelumnya. Jadi intinya dia lagi main monopoli. Benda yang dia pake bentuknya mobil, dan hotel itu hotel milik lawannya. Makanya dia rugi besar pas mobilnya berhenti di hotel. Jadinya bangkrut deh (lol).

Itu salah satu contoh yes or no puzzle guys. Untuk menjawabnya, kita perlu menginterogasi si penanya agar mau memberikan clue dengan pertanyaan yes or no. Mau lagi? Kalo nggak ya gapapa sih aku cuma lagi gabut aja. Hehe. Cheers! Terima kasih sudah mengikuti Grey dkk sampai sejauh ini. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro