Bagian 54: Knight In Sour Armor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wajah Sugeng berseri. Ia beranjak dan menyalami Roy.

"Mas Roy? Wah, lama enggak ketemu. Gimana kabarnya? Baik?"

"Kupikir kau bercanda saat bilang mau jadi polisi. Kapok ngejar-ngejar cewek?" tanya Roy.

Sugeng hanya cengar-cengir mendengarnya. Ia memanggil pria tinggi itu dengan sebutan Roy, dan seingatku Isnan juga menyebutnya begitu. Aku tak pernah mendengar orang lain memanggilnya Roy selain Ibu dan aku.

"Aku yang meminta Grey merekam kejadian di kafe," ucap Roy jelas-jelas berbohong. "Apa dia membuat masalah?"

Sugeng melirikku dan tersenyum. "Oh, justru Grey sudah banyak membantu kami. Saya cuma mau memastikan detail-detail yang kelewatan."

Aku memalingkan muka sementara Sugeng menjelaskan temuannya pada Roy.

"Yang jelas, aku yakin anak yang kaubilang membonceng Deni Dongkrak bukan Grey," tukas Roy.

"Baiklah. Kalau Mas bilang begitu, berarti saya sudah tidak ada urusan lagi di sini," ujar Sugeng sambil merogoh koceknya. Ia mengeluarkan kartu pelajarku, meletakkannya di atas meja, lalu berbisik, "Lain kali hati-hati, Grey. Pak Hendrik sedang murka gara-gara Mbak Alin hampir diculik tadi malam."

Aku menelan ludah.

Sugeng pun berpamitan. Mataku terpaku memandangi kartu pelajarku.

Sepeninggalnya Sugeng, Roy berkata padaku, "Kau masih marah padaku?"

"Tidak seburuk tadi pagi."

"Maaf, aku benar-benar tak bermaksud—"

"Aku tahu. Om cuma mau membuatku lebih aktif di sekolah, punya banyak teman, dan bisa naik kelas dengan bahagia seperti anak-anak lainnya, 'kan?"

Roy tak tampak terhibur dengan candaanku. Ya sudah.

"Om mungkin yang pertama mendorongku, tetapi pada akhirnya, aku yang memutuskan semuanya. Menyalahkan Om atas semua yang kulakukan bukanlah sikap orang yang bertanggung jawab. Seharusnya aku yang dimarahi, bukan?"

Roy duduk di sampingku.

"Daripada marah, aku malah kagum padamu. Sekarang polisi benar-benar fokus memberantas preman berkat rencanamu."

Aku bergeming.

"Tapi kau juga perlu memikirkan perasaan ibumu, Grey. Rencana yang perlu mengorbankan diri sendiri agar bisa sukses bukanlah rencana yang keren."

"Simpan kuliahnya untuk nanti. Om masih utang jawaban padaku."

Roy menghela napas.

"Baiklah. Kita mulai dari mana?"

"Apa pekerjaan Om selain jadi guru?" tanyaku seraya mengeluarkan kartu berlogo elang miliknya.

"Pernah dengar istilah private contractor?" katanya.

"Semacam tentara bayaran?"

"Bukan, itu mercenary atau private military contractor. Pekerjaanku dulu cuma mengawasi bangunan, orang, atau barang. Tidak sampai ikut perang."

"Oh, seperti satpam?"

Roy tertawa. "Aku lebih suka menyebutnya private contractor."

"Memang apa bedanya?"

"Soalnya lebih keren."

Dasar aneh.

"Canda, canda," katanya sambil tertawa. "Aku pernah bekerja di penyedia jasa pengamanan swasta sewaktu kuliah. Buat tambah-tambah penghasilan. Namanya PT Mata Rajawali, seperti logo di kartu ini." Ia mengangkat kartu tersebut. "Sebenarnya satpam bukan istilah yang cocok, karena selain mengawasi, kami juga dituntut bisa mencari informasi, spionase, maupun sabotase. Makanya aku punya banyak nama samaran. Kami biasanya direkrut perusahaan besar untuk mengumpulkan informasi mengenai saingan mereka, atau sekadar menjaga informasi berharga. Kami juga kadang membantu polisi menjadi informan dan ikut memburu kriminal kalau bayarannya pantas. Tapi aku sudah pensiun sekarang."

"Kenapa?"

"Secara umum, itu bukan pekerjaan yang menyenangkan. Kadang bayarannya tak sebanding dengan risikonya. Setelah lulus, aku mendaftar PNS dan jadi guru. Meski bayarannya lebih kecil, setidaknya aku bisa lebih santai sekarang."

"Berarti kartu itu sudah tak berguna dong," kataku sambil menunjuk kartu di tangan Roy.

"Kartu itu sudah banyak memberiku koneksi dari kalangan pejabat dan kepolisian. Aku mungkin sudah keluar, tetapi reputasi yang kudapat melalui kartu ini membuat hidupku lebih mudah. Jadi aku tetap menyimpannya."

"What the ... memangnya perusahaannya tidak protes?"

"Sama sekali tidak. Lagi pula, mereka sudah bubar sekarang."

Aku malah jadi tambah bingung.

"Perusahaan itu bubar tak lama setelah aku memutuskan keluar, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Kabarnya mereka jatuh ke tangan sindikat perdagangan gelap. Namanya Distopedia. Pernah dengar?"

Aku menggeleng.

"Aku juga mendengarnya dari bapakmu."

"Bapak? Tunggu, apa hubungan mereka dengan bapakku?"

"Ingat pejabat korup yang tertangkap berkat kesaksian bapakmu? Dia menyewa pembunuh bayaran dari Distopedia. Beberapa hari sebelum sidang, bapakmu menghubungiku untuk meminta perlindungan. Sejak awal dia tahu nyawanya terancam."

"Lalu?"

Roy diam sejenak.

"Bapakmu memintaku untuk memalsukan kematiannya."

Aku beranjak dari tempat dudukku.

"Jangan main-main."

"Dengar, aku dan ibumu juga sudah sepakat untuk merahasiakannya padamu setidaknya sampai kau lulus SMA. Ibumu takut kalau kau tahu bapakmu masih hidup, kau bakal pergi mencarinya."

"Lantas kenapa? Apa kau mau bilang bahwa rasa sakitku sampai sekarang semuanya palsu?"

"Bapakmu melakukannya untuk melindungi kalian. Distopedia bisa saja beralih mengincar kalian seandainya mereka tahu bapakmu masih hidup."

Aku duduk kembali. Mendengar Bapak masih hidup tak serta merta membuatku senang. Kabar yang tak pasti hanya akan membuatku berharap, dan aku tahu tidak banyak hal yang lebih menyakitkan daripada harapan palsu.

"Kalau begitu ... tak ada bedanya meski kaubilang Bapak sudah mati."

Apa bedanya antara Bapak benar-benar mati atau hanya dianggap mati? Itu tetap tak mengubah kenyataan bahwa selama lima tahun Ibu berjuang sendirian menghidupiku, sementara Bapak tak pernah memberiku kabar sampai sekarang. Apa pun kebenarannya, luka akibat kehilangannya tak semudah itu pergi.

"Kau mirip bapakmu, Grey. Kalian rela menolong orang lain meski harus mengorbankan diri kalian sendiri."

"Berarti aku versi terburuk dari Bapak."

Mengorbankan diri apanya. Aku hanya pengecut yang memanfaatkan orang lain agar bisa menyelamatkan diri. Kalaupun benar Bapak sudah menipuku dengan memalsukan kematiannya, aku bahkan tidak pantas marah.

Karena aku adalah penipu yang lebih parah.

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."

Aku tak butuh dikasihani.

"Kau tahu, setelah memintaku menjaga kalian, bapakmu bilang aku boleh menikahi ibumu." Roy tertawa. "Sama sepertimu, kadang aku tak paham jalan pikiran bapakmu."

"Lalu kenapa Om tidak melakukannya? Kurasa Ibu takkan keberatan kalau Om melamarnya," ujarku sinis.

"Itu tidak mungkin. Hati Lia—ibumu—cuma milik bapakmu."

Ia tersenyum. Tatapannya terasa kering.

Kupikir laki-laki seperti Roy bakal mudah mendapatkan cewek. Rasanya aneh Roy masih melajang padahal ia seumuran ibuku. Roy dan Ibu jelas-jelas pernah berhubungan di masa lalu. Jangan-jangan dia masih ... ah, sudahlah. Kalau aku mengoreknya lebih dalam, paling-paling dia bakal bilang, "Itu bukan urusan anak kecil."

"Ibumu pasti marah kalau tahu aku sudah membocorkan rahasia ini padamu. Tapi kupikir kau sudah cukup dewasa sekarang," ujarnya. "Tolong jangan buat ibumu kecewa."

"Aku tahu."

Roy tersenyum. "Sebenarnya ada yang lebih kukhawatirkan. Seandainya aku pergi, siapa yang menjaga kalian? Aku tak mungkin selamanya di sisi kalian, jadi aku menawarkan kontrak."

"Kontrak?"

"Ya, sebagai bayaran menjagamu dan ibumu, aku ingin kau menjadi penerusku," ujarnya sambil menyerahkan kartu berlogo elangnya kembali padaku. "Kudengar sekarang keluarga Prakoso menyewa orang-orang yang punya hubungan dengan Distopedia. Kalau itu benar, kita dalam masalah. Hanya kau yang bisa melindungi ibumu saat aku tiada. Fisik dan mentalmu harus sudah siap ketika itu tiba."

"Itukah alasanmu memanfaatkanku di Klub Jurik?"

"Itu semua demi kebaikanmu. Ibumu melarangku membicarakan ini agar kau bisa menikmati kehidupan sekolahmu, tapi kurasa sekarang adalah saat yang tepat. Kau punya potensi, Grey, dan kota ini adalah tempat latihan yang sempurna untuk mengembangkan potensimu."

Selama beberapa detik, Roy menatapku tanpa berkedip. Pria yang tampak tak peduli dengan siswa-siswanya, kini bersikap seperti seorang guru BK yang sedang memotivasi seorang siswa bermasalah dengan penuh perhatian.

Pikiran dan emosiku berkecamuk. Kupikir lebih mudah kalau aku lupa. Lupa adalah cara terbaik melawan trauma. Lupa itu menenangkan walau sementara. Aku hanya perlu menganggap percakapan ini tak pernah terjadi seandainya aku mudah melupakannya.

Sayangnya, otak lebih senang mengingat hal yang ingin kulupakan, dan melupakan hal yang ingin kuingat, meski semua ingatanku hanya omong kosong.

"Aku? Jadi penerusmu?" tanyaku. "Jangan harap."

Roy mengernyitkan dahi. "Jadi kau tak peduli dengan yang mungkin bisa terjadi pada ibumu?"

"Terima kasih atas perhatiannya, tapi bukan Om yang menentukan takdir kami," tegasku. "Aku bukan bonekamu, Om."

Pria itu tersenyum. Bibirnya seperti menggumamkan sesuatu dari bahasa yang tak kumengerti. Lalu ia berdiri.

"Baiklah. Semoga itu menjawab semua pertanyaanmu."

Saat Roy beranjak pergi, aku menghentikannya dan berkata, "Om punya banyak koneksi, 'kan? Apa Om benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Mr. I?"

"Oh, ya. Gara-gara kau mengatakannya aku jadi ingat. Tadi malam sekitar jam tujuh ada orang mencurigakan hendak membobol rumahmu. Orangnya cebol, bertopeng wayang dan pakai topi. Ada lambang geng Tomcat di lehernya. Saat kutanyai, katanya dia disuruh Mr. I."

Aku terperanjat. Untuk apa mereka ke rumahku?

"Sayangnya dia berhasil kabur sebelum aku sempat menanyakan tujuannya," lanjut Roy. "Kutimpuk kepalanya pakai batu, tapi dia tetap bisa lari."

Aku pun teringat. Kucari flashdisk di tas pinggangku. Tidak ada. Lalu kuingat lagi percakapanku dengan Alin di telepon, dan kucoba memikirkan alasan kameranya bisa ada di tangan Rendy—kalau memang itu kameranya. Kuperiksa kamarku. Laptopku masih di sana.

Aku sudah mencurigai Ibu, meragukan Bapak, dan aku bahkan tidak tahu apakah masa laluku asli atau palsu. Kini kurasa aku tak lagi terkejut meski semua temanku mengkhianatiku.

***

Esoknya aku dipanggil ke ruang waka kesiswaan. Roy menutupi keterlibatanku dalam kerusuhan sehingga sekolah hanya mencatatku sebagai korban salah sasaran. Kendati demikian, kabar tentangku tetap menjadi topik panas di sekolah. Aku mengajak Poppy malam Minggu tanpa penyamaran, wajar saja jika ada yang melihat dan menyebarkan gosip tentang kami.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, tak ada yang mencoba menjahiliku ke mana pun aku pergi. Orang-orang terkesan menjauh, termasuk cowok-cowok yang mengaku sebagai penggemar Poppy. Saat masuk kelas, beberapa teman sekelasku melihatku seperti melihat harimau yang lepas dari kandang. Ekspresi sinis yang sering kuterima berubah menjadi ekspresi segan dan takut. Red yang biasanya menyapaku setiap pagi pun ikut terdiam. Bangku di sebelahnya sudah terisi orang lain.

Apa luka-luka di wajahku tampak menyeramkan? Sialan. Bagaimana bisa dapat cewek kalau terus begini.

"P-Permisi."

Baru saja kuseret kursi di bangku paling belakang, Bondan, Rustam, dan Iza menyapaku. Raut wajah mereka tampak pucat. Mereka bertiga saling bisik-bisik untuk memutuskan siapa yang bicara duluan.

"Anu, Grey, k-kalau mau duduk di depan silakan duduk di tempatku aja. Kosong kok," ucap Bondan sambil menunjuk kursi di sebelah Red.

Iza menyikut bahu Bondan. Bondan pun buru-buru mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya.

"Maaf soal kelakuanku kemarin-kemarin. I-ini uang buat memperbaiki sepedamu."

Aku hanya diam dan menerimanya.

"Tolong, jaga Poppy baik-baik!" Bondan tampak menahan air matanya. Ia pun pergi sambil ditenangkan oleh kedua rekannya.

Kenapa ada latihan drama pagi-pagi begini?

Mau tak mau aku pun duduk di samping Red. Pasti ia tahu apa yang sedang terjadi.

"Pagi, Mr. Knight-in-sour-armor."

Apa-apaan itu? Tak biasanya Red sinis padaku.

"Red, kau tahu kenapa orang-orang bersikap aneh hari ini?" tanyaku.

Ia berpaling. "Lihat saja di grup angkatan."

"Pinjam hapemu. Punyaku rusak."

Red berdecak lidah. Lalu ia meminjamiku ponselnya dengan terpaksa.

Selesai menelusuri chat-chat lama, aku pun mengerti. Ada yang menyebarkan rumor bahwa aku diserang Jerry saat berkencan dengan Poppy. Menurut rumor aku berhasil membuat Jerry pingsan. Orang-orang heboh karena belum ada siswa Smansa yang mengalahkan Jerry dalam perkelahian sebelumnya. Apalagi taruhannya Poppy. Hanya dengan gosip bertema, 'Grey menang melawan Jerry', mereka yang mengejekku karena berani mendekati Poppy kini malah menganggapku pahlawan yang layak mendapatkan Poppy. Tampaknya sekarang mereka jadi takut dengan reputasiku. Dasar penjilat.

"Selamat ya, kau sudah jadi selebriti sekarang," sindir Red sambil merebut ponselnya.

"Itu tidak lucu, Red."

"Siapa juga yang melawak."

Kenapa sih dia? Tampangnya masam sekali seperti baru dicekoki jeruk purut.

"Red, aku mau bicara empat mata denganmu."

"Kebetulan, aku juga," balasnya. "Pulang sekolah, ikut aku ke lorong mading."

Setelah itu, Red tak mengucapkan sepatah kata pun padaku sampai bel pulang sekolah berbunyi.

***

A/N: Apa yang Red sembunyikan? Wahaha kukira sudah banyak yang tahu. Btw aku jadi kepikiran. Perlukah aku tambahkan cast untuk cerita ini? Kalaupun tidak perlu, apa kalian punya bayangan mengenai cast (aktor, aktris, karakter anime/kartun/apa pun) buat tokoh-tokoh di cerita ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro