Bagian 7: The Dark Triad

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam dinding kantin sekolah menunjukkan pukul 15.45. Pelanggan di sini tinggal aku, Red, dan dua orang bapak-bapak pekerja bangunan yang tengah beristirahat.

"Aku tak habis pikir dengan mereka," gerutu Red sambil mengaduk-aduk gelas berisi susu soda di atas meja kantin. "Pesta syukuran? Yang benar saja."

Aku menyimak sembari menyeruput es kelapa muda pesananku. Tak lama kemudian, bakso balungan yang kupesan akhirnya datang juga.

"Kau juga," ujarnya padaku. "Jangan terlalu sering berhubungan dengan mereka."

"Kenapa memangnya?"

"Pernah dengar tentang The Dark Triad?"

"Apa itu? Judul novel fantasi yang sedang kautulis?"

"Bukan, semprul. Dark Triad adalah tiga siswa yang punya reputasi paling buruk di antara semua anggota klub Jurik. Sebelum masuk klub, ketiganya masing-masing pernah melakukan tindak kriminal.

"Pertama, Kak Feli, anak kelas XI IPS 3. Jangan tertipu dengan wajah cantik dan tubuh semoknya. Dia adalah mantan ketua Pink Blazer, geng motor cewek paling berpengaruh di kota Petanjungan. Mereka sering memeras dan menindas anak sekolah, khususnya cowok. Singkatnya, Kak Feli bukan tipe cewek yang bisa kaupermainkan.

"Kedua, Lilis, anak kelas X-1. Dia itu stalker. Dia pernah ditangkap polisi gara-gara meneror cewek yang menjadi pacar dari cowok idamannya. Sampai sekarang pun dia masih sering memakai segala bentuk ancaman untuk menyakiti orang-orang yang ia benci. Kau lihat sendiri 'kan tadi? Dia gila.

"Ketiga, Mas Diaz, anak kelas XI IPA 2. Kalau kau pernah masuk ke ruang klub, kemungkinan besar kau pernah bertemu dia. Dia sering menjadi penunggu ruangan itu demi mendapat sinyal wifi. Kurus, gondrong, brewokan, suka main galge di laptopnya, dan terobsesi dengan cewek anime dua dimensi." [*]

[*Galge: game simulator kencan yang menggunakan grafis anime.]

"Oh, si Grandong," gumamku.

"Hah?"

"Bukan apa-apa. Lanjut."

Red pun melanjutkan, "Mas Diaz pernah dipenjara gara-gara meretas sistem keamanan bank dan merampas uang dari sana, namun dibebaskan sebulan kemudian. Kita tak pernah tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

"Tapi selain mereka, kau juga harus mewaspadai Kak Ivan. Dia tak punya catatan kriminal, namun aku tak tahu apa yang membuat Dark Triad menjadi loyal padanya. Ke manapun ia pergi, hampir selalu ada Lilis dan Kak Feli. Ada gosip yang bilang bahwa dia menyewa ketiga orang itu untuk menutup mulut orang-orang yang menentangnya menjadi ketua klub Jurik. Saranku, jangan pernah memercayai kata-kata Kak Ivan. Kau dengar aku?"

Aku mendengarkan Red dengan setengah-setengah. Terakhir kali ia menceritakan gosipnya padaku, aku terjebak dalam klub kampret ini.

Aku telah menghabiskan semua pentol baksoku ketika Red selesai berbicara. Saat aku hendak menikmati sepotong tulang kambing, seorang gadis berbaju silat datang dan membentak kami.

"Eca! Grey! Kok kalian malah di kantin?"

"Eh, A-Alin," ucap Red terbata-bata.

"Kebetulan," kataku. "Kau mau makan juga? Sini duduk. Red yang traktir."

Red menyikut lenganku.

Alin mengernyitkan dahi. "Emang mading udah beres?"

"T-tadi kami ketemu sama Kak Ivan di sana. Lalu madingnya diambil alih sama dia," jawab Red.

"Oh, jadi kamu melemparkan tanggung jawabmu pada orang lain biar kamu bisa malas-malasan di sini?"

"Apa salahnya?" potongku. "Kak Ivan kan anggota jurnalistik juga."

"Diam!"

"Hmph."

Alin kembali beralih pada Red. "Terus nasib naskah majalahmu gimana?!"

"Habis ini aku ketik kok. Janji," sahut Red sambil mengangkat tangannya membentuk huruf v.

Alin terdiam sejenak.

"Oke, aku tunggu sampai jam enam. Awas ya kalau bohong," katanya sambil menenteng tas cangklongnya.

"Lin, kau mau ke mana?" tanyaku sebelum Alin pergi.

"Latihan. Kenapa?"

Kurasa maksudnya latihan silat.

"Apa aku boleh pulang sekarang? Ibuku menyuruhku membeli bahan makanan di swalayan," ujarku sambil menunjukkan pesan ibuku di ponselku.

"Oke," sahutnya. "Tapi Eca tetap di sini. Kamu nggak boleh pulang sebelum naskahmu selesai. Paham!"

"Paham, Kak Ros."

"Kak Ros! Kak Ros! Sejak kapan aku jadi kakaknya Upin Ipin, hah? Minta digaplok?"

Red langsung melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.

***

Selepas Alin pergi, suasana kantin kembali hening. Tinggal aku dan Red yang ada di sini. Jam makan siang sudah lewat, sementara kebanyakan siswa sudah pulang atau sibuk dengan kegiatan ekstrakurikulernya masing-masing.

"Kau lihat tadi? Baru datang langsung marah-marah. Pasti ada yang salah dengan dia," kata Red sembari menyeruput es tehnya sampai habis.

"Bukannya sejak dulu Alin selalu begitu?"

"Grey, aku sudah berteman dengan Alin sejak sebelum masuk TK. Aku lebih tahu bagaimana rasanya dimarahi dia daripada orang lain. Oke, aku tahu aku salah. Tapi kenapa cuma aku yang dimarahi? Toh aku tetap bekerja. Aku tetap menyelesaikan tugas-tugas klub sesuai keinginannya. Kenapa ia tak memarahi mereka yang cuma numpang nama, atau Kak Ivan yang menggunakan klub demi kepentingannya sendiri?"

Cuma numpang nama. Heh. Aku merasa tersindir.

"Dia sudah begitu sejak bel pulang sekolah tadi. Aku dengar dari teman sekelasnya kalau dia habis dijahili. Wajar 'kan kalau aku khawatir? Kutemui dia di ruang arsip, kutanya dia apa yang terjadi, kenapa dia memakai pakaian latihannya, tapi apa jawabannya? 'Kalau kamu punya waktu buat mengurusi orang lain, mending kamu ambil perlengkapan mading di ruang klub.'" Red menyedot susu sodanya. "Aku heran. Kenapa sih dia begitu ngotot mempertahankan klub ini? Kalaupun klub ini bubar, dia masih punya ekskul pencak silat dan pramuka. Dia takkan terancam tidak naik kelas walau klub ini bubar."

Entah kenapa, kalimat terakhir Red membuatku ingin menonjoknya.

"Kalau bukan demi dia, aku takkan masuk klub ini. Tapi dia tak pernah mendengarkanku. Dia tak pernah memberitahuku yang ia pikirkan. Dia tak pernah bilang apa-apa walau sudah berkali-kali dijahili."

"Jadi ini bukan pertama kali dia dijahili?" tanyaku.

"Ya, umumnya sih cuma gurauan verbal," jawab Red. "Tapi kadang tasnya pernah dimasuki bangkai tikus, bajunya dimasuki kecoa, sepatunya disembunyikan saat pelajaran olahraga, dan sebagainya. Hanya satu orang yang gemar melakukan hal itu dan cukup membenci Alin untuk melakukannya."

"Siapa?"

"Lilis," sahutnya. "Dia sekelas dengan Alin, jadi dia punya banyak kesempatan untuk melakukannya. Sejak baru masuk sekolah, dia dan Alin sering terlibat pertengkaran. Tapi setiap bertengkar, Alin selalu mengalahkannya. Mungkin dia sadar bahwa dia tak bisa mengalahkan Alin secara frontal sehingga ia memakai cara pengecut semacam ini. Aku heran kenapa Alin tidak melaporkannya saja."

"Kenapa mereka bertengkar?"

"Umumnya gara-gara masalah sepele. Alin tidak suka dengan tingkah Lilis, Lilis tidak suka dengan perkataan Alin, lalu mereka bertengkar. Menjelang pemilos, Lilis semakin membenci Alin gara-gara dia sering dekat-dekat dengan Kak Ivan, cowok yang Lilis taksir. Padahal Kak Ivan sendiri yang suka mendekati Alin."

Aku menghela napas. Kepalaku pusing. Persoalan di klub ini ternyata lebih rumit dari yang kubayangkan. Sekarang jangankan aku meminta seluruh anggota klub untuk bekerjasama. Mencegah mereka agar tidak saling menyakiti satu sama lain saja sulit.

"Grey, apa kau mau membantuku?" tanya Red dengan tampang serius. Tangannya mengepal, urat-urat di wajahnya bermunculan.

"Kau mau apa? Membalas Lilis?"

"Tentu saja! Apa kau mau diam saja melihat Alin dipermainkan?"

"Apa kau punya bukti kalau Lilis yang melakukannya?"

"Tidak," jawabnya agak kesal. "Tapi siapa lagi kalau bukan dia?"

"Mungkin kau benar bahwa Lilis membenci Alin. Mungkin Lilis memang menjahilinya. Tapi tetap saja, tuduhanmu terhadapnya cuma berdasarkan asumsi, bukan fakta. Lagipula jika kau menggunakan taktik pengecut untuk membalasnya, apa bedanya dengan orang yang sudah menjahili Alin?"

"Aku cuma ingin melaporkannya kok. Orang seperti itu tidak pantas bersekolah di Smansa." [*]

[*Smansa: akronim dari SMA Negeri 1]

Aku tak percaya. Kalau memang Red ingin melaporkannya, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus minta bantuanku dan tidak langsung bilang pada guru?

"Kau pernah membicarakan ini dengan Alin?" tanyaku.

"Aku sudah memperingatkannya soal Lilis dan Dark Triad, tapi dia tak pernah mendengarkanku."

"Aku tak yakin dia yang tak mendengarkanmu, atau kau yang tak bisa bercakap-cakap dengannya."

Ia tampak sebal. "Apa maksudmu?"

"Sejauh yang kulihat, setiap kau berbicara dengan Alin, hanya Alin yang mendominasi percakapan kalian. Aku bahkan tak yakin apakah itu bisa disebut percakapan. Ya, mungkin itu bukan sepenuhnya kesalahanmu. Sifat Alin memang begitu. Tapi cobalah ajak dia berbicara seperti saat kau berbicara denganku, mungkin dia bisa lebih menghargaimu."

Red menundukkan kepala, merenungkan diri.

"Lalu," ucapnya, "apa yang harus kulakukan?"

"Terserah. Kau bisa ajak dia makan malam, membelikan hadiah kesukaannya, tapi yang paling penting, selesaikan tugasmu dulu. Buat suasana hatinya nyaman sehingga dia mau menceritakan masalahnya padamu."

Red mendengus. "Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan."

"Tergantung. Kau mau terus jadi pengecut di mata Alin, atau mau jadi cowok yang bisa dia andalkan?"

Red tampak berpikir keras.

"Aku pulang dulu," ujarku sambil beranjak.

"Kau tidak mau membantuku?"

"Kenapa tidak kau saja yang menolongnya? Itu 'kan masalahmu."

Red tertunduk lesu. "Kau kejam, Grey."

"Red, pernah nonton Shrek?"

"Pernah, kenapa?"

"Awalnya saat berada di menara naga, Putri Fiona berharap pangeran tampan yang datang. Tapi karena para pangeran terlalu takut menghadapi naga, mereka meminta Shrek untuk menyelamatkannya. Dengan terpaksa Shrek pun menyelamatkan Putri Fiona. Lalu apa yang terjadi kemudian? Mulanya Fiona tak suka dengan Shrek, tapi lama-lama ia menerima Shrek sebagai penyelamatnya dan jatuh cinta padanya."

"Iya aku juga tahu. Kenapa kau tiba-tiba mengungkit-ungkit Shrek?"

"Misalkan saja Alin itu Putri Fiona, kau adalah pangeran, dan aku adalah Shrek," ujarku. "Awalnya Alin berharap kau yang datang menolongnya. Tapi karena kau terlalu takut, kau meminta bantuanku. Nah, kalau aku berhasil menolongnya, bagaimana jika Alin jatuh cinta padaku? Apa kau rela?"

Wajah Red memerah. Ia cepat-cepat membuang muka sambil berkata, "A-Alin tak mungkin jatuh cinta semudah itu."

Aku tersenyum menahan tawa. "Well, takkan ada yang berani meremehkanmu kalau kau berhasil menaklukkan Princess Alin."

"Terserah kau lah! Sana pulang!"

Aku tak sanggup menahan tawa lagi. Cowok ABG yang sedang jatuh cinta kadang begitu simpel dan mudah ditebak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro