Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hira semakin tersudut dengan diamnya Wijaya, Lina, dan Man, semakin membuatnya sedih. Ia seperti tak dianggap di rumah itu. Satu pekan, ia bagaikan di tempat asing. Hira mengakui kesalahannya, tapi ia enggan untuk mengungkapkannya. Hira meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat gelisah ketika tak ada jawaban.

El, ayo angkat. Aku ingin bertemu denganmu. Aku yakin kamu enggak sibuk di hari libur seperti ini.

Hira berharap, El mengangkat panggilannya, tapi nihil. Pesan pun tak di balas El meski terkirim. Hira memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas dan berlalu pergi.

"Mbak Hira mau ke mana?" tanya Siti, pembantu dirumahnya.

"Mau ke rumah temen, Bi. Bilang saja saperti itu kalau Ibu nanya." Hira pun kembali melanjutkan jalannya untuk keluar rumah.

Hira segera menaiki taksi ketika taksi pesanannya sudah tiba. "Perumahan Regatta, Pak." Hira mengintruksi sopir taksi.

Sopir taksi itu mengangguk dan melajukan taksinya menuju tempat yang disebutkan Hira.

30 menit, Hira tiba di depan gerbang rumah mewah yang pernah ia masuki. Ia ragu ketika akan menekan bel. Hira menarik napas dan membuangnya perlahan. Menguatkan hatinya untuk bertemu dengan keluarga El. Di saat yang sama, sebuah mobil akan masuk ke dalam rumah itu. Mobil itu berhenti di depan Hira dan membuka kaca. "Kak Hira?" sapa Asya.

Hira tersenyum. "Hai, Sya."

Asya menekan klakson agar gerbang di buka. Tak lama, gerbang pun terbuka. Asya memasukkan mobilnya ke garasi, lalu turun dan menghampiri Hira.  "Ayo masuk, Kak," ajak Asya.

Hira mengangguk dengan senyum tipis. Mereka berjalan menuju teras rumah dan masuk ke dalam. "Assalamu'alaikum. Ami ... ada tamu spesial, nih." Asya mengajak Hira menuju ruang keluarga.

"Siapa, Sya?" Hilda menghampiri Asya. "Nak Hira." Hilda tersenyum ramah melihat Hira.

Hira meraih tangan Hilda dan mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu?" tanya Hira setelah melepas tangan Hilda.

"Baik, Nak. Kamu, Ibu, Ayah, apa kabar?"

"Semuanya baik, Bu." Hira tersenyum. Pandangannya mencari sosok yang ingin ia temui.

"Ayo duduk." Hilda mengajak Hira agar duduk di sofa. "Sya. Bilang Bi Iyam, buatkan minum buat Hira," perintah Hilda pada putrinya.

Asya berlalu pergi menuju dapur.

Hira pun duduk di sofa.

"Tadi ketemu Asya atau gimana bisa bareng Asya?" tanya Hilda penasaran, melihat kedatangan Hira bersamaan dengan kepulangan Asya.

"Tadi Hira habis dari rumah temen, kebetulan lewat jalan depan jadi Hira sekalian mampir ke sini." Hira terpaksa berbohong pada Hilda. Ia tak mungkin berterus terang jika dia sengaja datang ke rumah itu untuk bertemu El.

Hilda mengangguk.

"Ada tamu?" tanya Nisa melihat Hira.

"Kenalin, ini Hira, gadis yang waktu itu nginep di sini. Calonnya El." Hilda menggoda Hira dan mengenalkan Hira pada Nisa. Hilda sengaja berpura-pura tidak tahu mengenai masalah El dan Hira.

"Oh, ini Hira." Nisa tersenyum pada Hira. "Saya Nisa, adiknya Bang El." Nisa mengulurkan tangan.

Hira menjabat tangan Nisa dan tersenyum. "Hira," ucapnya malu.

"Kak Nisa, kata Abang suruh telepon." Asya duduk di samping Hilda dan meletakkan minuman di depan Hira.

"Kenapa?" tanya Nisa.

Asya hanya mengangkat kedua bahunya.

Hira hanya mendengar obrolan Asya dan Nisa. El tak ada di rumah? Kemana dia?

Azan ashar pun berkumandang. Nisa pamit ke kamar untuk menghubungi El.

"Sya. Ajak Nak Hira shalat di kamarmu." Hilda menyarankan.

"Iya, Mi. Ayo, Kak." Asya berjalan menuju kamarnya. Hira pun mengikuti Asya.

"Mas El kemana, Sya?" tanya Hira pada Asya.

Asya tersenyum sambil membuka kamarnya. "Aku tau, dari tadi Kak Hira nyariin Abang," goda Asya. "Abang lagi bantu Mas Rasya pindahan ke rumah baru. Sama Kak Reza juga," lanjut Asya.

Hira tersenyum malu. "Lala ikut Ayahnya?" tanya Hira.

"Nggak. Dia di rumah sama Amanya. Lagi tidur kayaknya." Asya menyiapkan mukenah untuk shalat.

"Ama?" tanya Hira.

"Iya. Kak Nisa, ibunya Lala." Asya menuju kamar mandi.

Hira semakin tak paham. Lala anaknya Kak Nisa? Kak Nisa adiknya El. Jadi, El bukan ayahnya Lala? Siapa ayahnya Lala? Kenapa Lala manggil El 'Ayah'?

"Kak Hira enggak wudhu?" tanya Asya, ketika keluar dari kamar mandi.

"Eh, iya, ini." Hira berjalan menuju kamar mandi.

Ini pertama kali Hira kembali melakukan shalat. Sudah lama sekali dia tak pernah mengabdikan dirinya sebagai hamba. Bacaan shalat pun banyak yang ia lupa. Hanya sebisa yang ia ingat.

"Sya. Lala anaknya Kak Nisa?" tanya Hira memastikan.

"Iya. Kak Nisa adiknya Bang El. Bukan adik kandung, sih, tapi Ami tetap sayang sama Kak Nisa seperti Ami menyayangi aku, Bang El, dan Kak Reza. Kak Nisa menikah sama Mas Rasya. Dan mereka beberapa tahun yang lalu tinggal di Ausie selama kontrak Mas Rasya belum selesai. Sekarang pindah ke Jakarta karena kontrak kerja Mas Rasya sudah habis." Asya melipat mukenahnya sambil menceritakan kisah kakaknya.

Hira paham sekarang. Ternyata Asila bukan anaknya El. "Kenapa Lala panggil Mas El 'Ayah'?"

"Panggilan itu sejak Lala belum bisa ngomong. Abang yang minta sendiri di panggil Lala 'Ayah'. Enggak tau kenapa, Abang sayang banget sama Lala." Asya menerima mukenah dari Hira dan menumpuknya jadi satu.

Hira hanya mengangguk. Kini ia semakin paham. "Em ... apa ... Mas El pernah dekat sama wanita?" tanya Hira ragu.

Asya tersenyum geli. "Pernah. Malah Mas El cinta banget sama wanita itu."

"Siapa?" tanya Hira serius.

Asya kembali tersenyum geli. "Namanya Asifa. Kak Asifa cantik, pintar, dan jago masak. Sayangnya, dia lebih memilih kuliah di Mesir daripada menikah dengan Abang. Yah, mungkin dia bukan jodoh Abang. Dan jodoh Abang mungkin Kak Hira." Asya berkata jujur dan tersenyum menatap Hira.

Hira tersenyum malu. Jadi, dulu El pernah jatuh cinta? Apa sekarang dia masih mencintai Asifa? Kenapa aku merasa cemburu seperti ini?

"Hayo ... mikirin Abang, yah?" Asya membuyarkan lamunan Hira.

Hira tersenyum malu. "Sya. Menurut kamu, Mas El gimana?" Hira semakin penasaran dengan El.

"Gimana apanya, Kak?" Asya semakin ingin menggoda Hira.

"Ya ... Mas El tipe laki-laki yang gimana?"

"Abang tuh, anak kesayangan Ami. Sejak kecil sudah mandiri. Abang selalu jadi juara kelas. Dia contoh yang baik buat adik-adiknya. Enggak pilih kasih dan pokoknya its the best. Kak Reza saja selalu iri dengan Abang, tapi dia mengakui kalau Abang memang Kakak terbaik. Beruntung deh, wanita yang nanti akan jadi Istrinya." Asya memuji El.

Hira hanya mengangguk.

Sebaik itukah El? Apa Asya hanya ingin membanggakan El, supaya aku mau sama El?

"Yuk, turun," ajak Asya.

Hira mengangguk dan mengikuti Asya keluar dari kamarnya.

Asya dan Hira duduk di taman belakang bergabung dengan Hilda, Nisa dan Lala.

"Lala salim dulu sama Tante Hira." Nisa menyuruh Lala untuk mencium punggung tangan Hira.

Lala pun menurut dan mencium punggung tangan Hira. "Lala sedang main apa?" tanya Hira pada gadis kecil yang kini di pangkuannya.

Lala turun dari pangkuan Hira dan berlari menuju kolam ikan yang berada di taman belakang. Hira tersenyum menatap kelucuan Lala.

"Assalamu'alaikum."

Seseorang ikut bergabung di taman.

Hira menelan ludahnya ketika mendengar suara orang itu. Suara yang sangat ia kenali.

"Ayah ...!" Lala berlari menuju El.

El pun menangkap tubuh Lala dan menciumi pipi mungil gadis kecil itu. "Sudah bangun anak Ayah."

"Ayah darimana? Kenapa Lala enggak diajak?" gerutu Lala.

El masih belum menyadari keberadaan Hira. Ia masih sibuk dengan celotehan Lala.

"El." Hilda menatap putra sulungnya.

El pun menoleh ke arah Hilda dan tatapannya beralih pada Hira yang duduk di samping aminya.

Hira? Sedang apa dia di sini?

Hira tersenyum malu pada El.

"Apa kabar, Ra?" sapa El basa-basi.

"Baik," sahut Hira singkat.

"El ke kamar dulu. Mau mandi." El beranjak pergi dari tempat itu.

Hira terlihat kecewa. Kedatangannya kemari untuk menemui El, tapi El tidak menanggapinya.

"Bu. Hira pamit pulang, yah? Sudah sore, takut keburu magrib." Hira berpamitan.

"Kenapa buru-buru? Bisa nanti, setelah makan malam pulangnya." Hilda menyahuti.

"Enggak, Bu. Takut Ibu nyariin." Hira menolak halus.

Ponsel Hira berbunyi tanda pesan masuk. Hira segera meraih ponselnya. Satu pesan dari El. Hira segera membuka pesan dari El.

Maaf, tadi saya sibuk jadi baru bisa balas. Ada apa?

Hira segera membalas.

Tidak jadi. Ini aku mau pulang.

Setelah membalas pesan El, Hira segera berjalan keluar untuk pulang. Di saat yang sama El turun ke bawah.

"Sya. Antar Hira pulang, yah?" perintah Hilda.

"El saja yang antar Hira pulang." El menyambar.

Tatapan Hilda tertuju ke El. "Kamu enggak jadi mandi?" tanya Hilda pada El.

"Nanti saja, Mi. Ada yang El mau omongin sama Hira." El mengenakan jaketnya dan meraih kunci mobil di atas meja.

Hilda menatap El bingung, begitu pun Asya.

"El pamit." El mencium punggung tangan Hilda dan mencubit pipi Asya sekilas.

Hira yang bingung pun pamit pada Hilda dan Asya.

"Hati-hati, Nak," peringat Hilda pada El.

"Iya, Ami. Assalamu'alaikum." El membuka pintu untuk Hira.

Hira melambaikan tangan pada Hilda dan Asya. Mereka pun membalas salam El dan melambaikan tangan.

"Ada apa, sampai kamu datang ke rumah mencariku?" tanya El, di sela ia menyetir.

"Apa?! Nyari kamu? Aku datang ke rumah cuma main." Hira mengelak.

"Yakin?" tanya El memastikan.

Bilang enggak yah sama El? Aku enggak mau seperti ini terus. Menurutku, El baik, seperti kata Asya. Semoga ini keputusan terbaikku.

"Emm ... aku ... memang mau mengatakan sesuatu sama kamu." Hira terdengar ragu.

El tersenyum tanpa menatap Hira. El sudah bisa menebak.

"Tapi, kamu jawab jujur." Hira menggigit bibir bawahnya.

"Insya Allah." El menyahuti, masih fokus mengemudi.

"Apa kamu terpaksa, ketika menerima perjodohan dari Ayahku?" Hira menatap El di balik spion.

"Alhamdulillah, enggak," sahut El tenang.

"Apa alasanmu mau dijodohkan dengan aku?" Hira benar-benar siap menerima kemarahan El menanyakan masalah itu.

El menghela napas. Ia hanya diam, tak menjawab pertanyaan Hira.

Apa El marah? tanya Hira dalam hati.

Mobil yang mereka naiki sengaja El hentikan di bahu jalan. "Alasanku, karena aku menerima semua takdir yang Allah berikan untukku." El menjawab pertanyaan Hira.

Hira hanya terdiam. Ia masih tak paham dengan ucapan El.

"Ada lagi?" tanya El.

Hira menunduk. "Aku mau menikah denganmu."

El menatap Hira dari spion. "Mahira Azalea. Pernikahan bukan permainan yang bisa kamu tarik-ulur. Aku tidak memaksamu untuk menerima perjodohan ini. Bukankah ini kemauanmu? Bukankah kamu ingin menikah dengan David?"

Hira menggeleng. Matanya berkaca-kaca. "Enggak, Mas. Aku minta maaf sama Mas El karena membuat keluarga Mas El kecewa terutama Ibu. Aku benar-benar siap menikah dengan Mas El." Hira terisak.

Maafkan aku, El. Sebenarnya aku melakukan semua ini demi Ayah. Aku tak tahan jika Ayah, Ibu dan Kak Man mendiamkan aku terus menerus. Hanya ini jalan satu-satunya yang akan membuat mereka kembali bangga padaku. Aku tak punya jalan lain.

El semakin bingung dengan sifat Hira. Kenapa Hira tiba-tiba seperti ini. Beberapa hari yang lalu dia menolakku, tapi sekarang, dia memintaku untuk menikahinya? Ya Allah, apa semua ini?

"Aku ngerti, kalau Mas El meragukanku karena masalah kemarin, tapi ucapanku kali ini bisa Mas pegang. Aku enggak akan membatalkannya." Hira berjanji.

"Bagaimana dengan David?" tanya El.

"Untuk apa aku masih mengharapkan laki-laki yang tak pernah serius denganku?"

El mengangguk.

"Aku akan bilang pada Ayah jika Mas El setuju."

"Akan kukabari jika aku mendapat jawaban dari Allah." El kembali melajukan mobilnya.

Tak lama, mobil El tiba di depan gerbang rumah Wijaya.

"Terima kasih karena sudah mengantarku," ucap Hira tulus.

El hanya mengangguk. "Maaf, kalau aku tak turun."

Hira mengangguk dan segera turun dari mobil El. Setelah Hira menepi ke depan gerbang, El segera melajukan mobilnya meninggalkan Hira yang masih berdiri di depan gerbang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro