Bagian 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wijaya masih tak percaya dengan ucapan putrinya. Wijaya ingin mendengar semuanya langsung dari mulut El. El tidak mungkin membatalkan perjodohan itu tanpa alasan yang jelas dan tanpa berbicara langsung pada Wijaya. Wijaya tak tenang menanti kedatangan El.

"Assalamu'alaikum." El menyapa Wijaya.

"Wa'alaikumussalam." Wijaya menatap El.

"Maaf kalau saya terlambat."

Wijaya tersenyum. "Tidak apa-apa. Silakan duduk."

El pun duduk. "Apa semuanya baik-baik saja? Tidak biasanya Pak Wijaya mengajak bertemu mendadak seperti ini?"

"Ini masalah pembatalan perjodohan Pak El dan putri saya."

El hanya tersenyum tenang. Ia sudah bisa menebak jika pembahasannya mengenai perjodohannya dengan Hira.

"Selamat siang, Pak. Ada yang mau di pesan?" Seorang pelayan kafe menghampiri mereka dan menawarkan pesanan.

"Capucino latte satu." El memesan.

"Ada lagi?" tanya pelayan.

"Itu saja untuk saat ini." El tersenyum.

Pelayan itu mengangguk dan pamit pergi.

"Apa benar, Pak El yang membatalkan perjodohan ini? Kenapa Pak El tak bilang langsung pada saya? Kenapa Pak El menyuruh saya bertanya langsung pada Hira kalau kenyataannya Pak El menolak Putri saya?" tanya Wijaya to the point.

"Sebelumnya saya minta maaf. Saya tidak ada maksud menolak Hira. Saya hanya tidak mau menjalani perjodohan ini jika salah satu dari kami ada yang merasa terpaksa. Saya tak ingin Hira merasa terpaksa dengan perjodohan ini. Dan lagi, saya masih bingung dengan perjodohan ini atas dasar apa, karena semuanya serba mendadak." El tersenyum sekilas. "Sekali lagi saya minta maaf. Jika Pak Wijaya menjodohkan Hira pada saya karena masalah kerja sama, Pak Wijaya tak perlu khawatir. Saya akan tetap membantu Anda." El masih tenang dan tersenyum.

Wijaya terdiam. Pelayan pun datang membawa pesanan El. Pelayan kembali pergi setelah meletakkan pesanan El.

"Kita masih bisa bersaudara meski Hira tak berjodoh dengan saya," lanjut El sambil mengaduk minumannya.

"Sebenarnya, saya menjodohkan Hira dengan Pak El bukan karena bisnis kita. Saya ingin, Hira mendapat suami yang bisa membimbing dia supaya lebih baik lagi. Saya tidak ingin Hira mengharapkan laki-laki yang tak pernah serius ke arah pernikahan. Masalah bisnis, itu hanya bonus saja, yang penting Hira mendapat calon suami yang baik dan bertanggung jawab. Saya pikir, Pak El orang yang tepat untuk Hira, tapi ternyata salah." Wijaya mengungkapkan isi hatinya.

El hanya diam dan tersenyum. Ia bingung harus berkata apa. Mungkin laki-laki yang di maksud Pak Wijaya adalah David. Laki-laki yang Hira cintai.

"Maaf, jika saya jadi curhat." Wijaya merasa tak enak hati.

"Saya mengerti dengan perasaan Pak Wijaya. Setiap orang tua pasti ingin memberikan kebahagiaan untuk anak-anaknya. Entah itu dalam pendidikan atau pun dalam masalah jodoh. Tapi semua itu kita kembalikan lagi pada Allah. Kita yakin saja dengan Allah bahwa semua takdir kita ada di tangan-Nya." El mencoba membuat Wijaya mengerti.

Wijaya hanya mengangguk. Wajahnya nampak terlihat sedih. El semakin merasa bersalah dengan semua ini, tapi ia tak bisa memaksa Hira untuk menerima semua ini.

"Kalau begitu, saya pamit untuk pulang." Wijaya mengakhiri pertemuan itu. Ia merasa, pertemuan ini adalah pertemuan terakhirnya membahas perjodohan itu. Wijaya merasa sedih dengan keputusan El.

El pun hanya bisa mengangguk.

Wijaya berlalu dari hadapan El. El pun berlalu pergi setelah kepergian Wijaya. El keluar dari kafe dan pandangannya tertuju pada Wijaya yang sedang berdiri menunggu jemputan. El segera menghampiri Wijaya.

"Maaf, Pak Wijaya. Apa ada masalah?" tanya El, melihat Wijaya masih belum pulang.

Wijaya tersenyum tipis. "Mobil yang menjemput saya sedang masuk bengkel, jadi saya menunggu taksi untuk pulang."

"Mari saya antar Pak Wijaya pulang." El menawarkan bantuan.

"Tidak, Pak. Saya sudah banyak merepotkan Pak El." Wijaya menolak.

"Tidak seperti itu. Ini kewajiban saya menolong Pak Wijaya." El masih memaksa.

"Baiklah." Wijaya pun menurut.

Mereka berjalan menuju mobil El. El pun segera mengantar Wijaya pulang ke rumahnya.

"Maaf, jika saya kembali merepotkan Anda." Wijaya membuka obrolan.

"Tidak sama sekali," sahut El singkat.

Setelah itu suasana kembali hening sampai mereka tiba di rumah Wijaya.

"Terima kasih untuk bantuannya," ucap Wijaya tulus setelah ia turun dari mobil El.

"Sama-sama, Pak." El tersenyum.

Di saat yang sama azan zuhur berkumandang.

"Apa Pak El mau mampir dulu sekalian shalat zuhur berjamaah di masjid belakang rumah?" Wijaya menawari.

El bingung antara menerima dan menolak. Sudah tiba waktu shalat zuhur.

Tak lama mobil Hira pun sampai di rumah. Hira turun dari mobilnya. Ada El? Sedang apa dia di sini? Apa mereka mau membahas masalah perjodohan?

"Eh, ada Mas El. Sudah lama?" tanya Hira basa-basi.

"Baru saja," sahut El singkat.

"Bagaimana Pak El?" Wijaya kembali menawari.

El hanya mengangguk.

"Ra. Bilang pada Ibumu jika Pak El akan makan siang di sini setelah shalat zuhur." Wijaya menitip pesan pada Hira untuk istrinya.

Hira hanya mengangguk dan berlalu masuk.

El dan Wijaya pun bergegas menuju masjid yang tak jauh dari rumah Wijaya.

Hira tiba di ruang makan. "Bu. Kata Ayah, Mas El akan makan siang di sini. Dia lagi shalat zuhur sama Ayah di masjid." Hira menyampaikan pesan ayahnya.

"Nak El bersama Ayahmu?" tanya Lina.

Hira hanya mengangguk. "Hira ke kamar dulu, Bu." Hira pun berlalu menuju kamarnya.

"Cepat ganti baju, nanti bantuin Ibu siapin makan siang buat Nak El," seru Lina pada Hira.

"Ibu saja. Aku mau istirahat," sahut Hira dengan nada malas.

Lina hanya menggeleng heran melihat kelakuan putrinya yang susah diajak untuk membantunya di dapur.

El dan Wijaya pun masuk ke dalam rumah setelah selesai shalat berjama'ah di masjid. Mereka langsung menuju ruang makan.

"Dimana Man dan Hira?" tanya Wijaya pada Lina yang sedang menuangakn air putih ke dalan gelas.

Panjang umur. Man tiba di ruang makan. "Ada apa, Yah?" tanya Man. Pandangannya tertuju pada El. "Pak El," lanjut Man.

El tersenyum dan mengulurkan tangan pada Man. Man pun menjabat tangan El.

"Tidak apa-apa. Mana Adikmu?" Wijaya menanyakan Hira.

"Tadi katanya mau istirahat." Lina menyahuti.

"Panggil dia kalau belum tidur. Makan siang sudah siap," perintah Wijaya pada putra sulungnya.

Man mengangguk dan berlalu menuju kamar Hira. Pintu kamar Hira tak tertutup rapat. Man segera masuk ke dalam kamar Hira, tapi langkahnya terhenti ketika Hira sedang berbicara pada seseorang di telepon menyebut nama El. Man penasaran dengan obrolan adiknya. Ia menguping obrolan adiknya di balik pintu kamar Hira.

"Mo. Aku seneng banget kalau perjodohan ini batal. Aku bersyukur banget El mendengar obrolan kita di kafe kalau aku enggak mau dijodohin sama dia. Aku yakin, El enggak bakal ngomong macam-macam saya Ayah masalah obrolan kita di kafe. El pasti punya alasan lain buat batalin perjodohan ini. Aku tinggal mikirin hubunganku dengan David."

Man membulatkan mata. Man masih tak percaya jika adiknya akan memanfaatkan kebaikan El. Pembatalan perjodohan bukan kemauan El, tapi karena Hira yang meminta secara tidak langsung pada El. Man merasa kecewa dengan adiknya.

"Ra! Ditunggu Ayah di ruang makan. Cepetan turun!" teriak Man di balik pintu kamar Hira.

Hira beranjak duduk. "Mo. Nanti aku telepon lagi. Aku mau turun, sudah di tunggu Ayah makan siang." Hira mematikan sambungan telepon dan beranjak dari ranjang, segera menuju ruang makan.

Semua sudah berkumpul di ruang makan. El pun menikmati makan siang di rumah Wijaya.

"Jangan sungkan-sungkan, Nak El. Ayo nambah lagi." Lina menawarkan.

El hanya tersenyum dan mengangguk.

"Apa mau nambah nasi? Sayur? Atau lauk?" Lina menawarkan tambahan.

"Tidak, Bu. Ini sudah cukup." El menolak halus.

"Apa masakannya kurang enak?"

"Masakan Ibu enak. El pingin nambah, tapi sudah kenyang."

Wijaya tersenyum melihat El dan Lina mengobrol. Wijaya masih berharap jika El akan menjadi calon menantunya, tapi ia sedih ketikamengingat ucapan El membatalkan perjodohan itu.

Man di landa risau dengan ucapan Hira. Selama ini ia selalu memanjakan Hira, tapi untuk kali ini, ia tak ingin membuat Ayahnya semakin sedih dan malu pada El. Hira tak sepantasnya memutarbalikkan fakta pada El dan ayahnya.

"Sering-sering main ke sini meski kamu tak menjadi menantu Ibu. Ibu akan masak yang lebih enak dari ini jika Nak El main lagi ke sini," kata Lina dengan nada kecewa.

"Insya Allah, Bu. El akan main ke sini kalau ada waktu kosong atau dapat tawaran dari Pak wijaya." El tersenyum.

Hira merasa bahagia. Pada akhirnya perjodohannya dengan El batal.

El telah menghabiskan makan siangnya. "El mau ke kamar mandi." El beranjak dari duduknya.

"Akan Man tunjukkan kamar mandinya sekalian Man mau cuci tangan." Man lekas berdiri.

El pun mengikuti Man. El memasuki kamar mandi. Man pun menuju tempat pencuci tangan.

El menghampiri ruang makan setelah selesai dari dalam kamar mandi. "El pamit pulang karena El ada janji dengan orang. El minta maaf dan terima kasih karena sudah merepotkan Ibu dan Pak Wijaya."

"Jangan bicara seperti itu. Ibu senang dengan kedatangan Nak El ke rumah ini." Lina menyahuti.

El tersenyum.

Wijaya, Man, Hira, dan Lina mengantar El sampai ke teras rumah. El pun segera menaiki mobilnya setelah memberi salam.

"Ibu sangat menyayangkan El membatalkan perjodohan ini. Dia sangat baik dan sopan," tutur Lina sedih.

"Mas El bukan jodoh Hira, Bu." Hira menyahuti dan berlalu masuk ke dalam rumah dengan senyum bahagia.

Ayah lebih sedih dengan keputusan El. Batin Wijaya.

Kalau saja semuanya tahu, jika pembatalan ini terjadi karena Hira, bukan El. Batin Man.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro