43. Badboy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah Kevin dan Nara selesai mengurus baju pernikahan, keduanya kembali ke rumah Kevin. Sungguh, Kevin tidak pernah membayangkan hal ini terjadi dalam hidupnya. Ia kira, semua ucapannya untuk memiliki Nara hanya angan semata, ternyata tidak. Dunia memang selucu itu.

“Nar, kayaknya kamu harus gendutin badan lagi deh,” ucap Kevin seraya memfokuskan pandangannya ke jalanan. Nara yang mendengar itu mengerutkan kening.

“Maksud kamu? Kamu nggak suka aku kurus? Atau kamu malu punya calon istri yang kurus karena penyakitan?” tanya Nara sarkas. Kevin jadi gelagapan. Bukan itu yang ia maksud.

“Bukan gitu, Yang. Aku liat tadi baju yang kamu pilih agak kegedean, mending kamu gendutin badan kamu sedikit biar pas. Takutnya kalau dikecilin malah jelek.” Nara membuang wajah ke luar jendela.

“Ya udah kalau kamu nggak mau.” Kevin melirik Nara sekilas. Kenapa Nara jadi sensi begini?

“Awas itu motor, kamu itu yang bener kalau nyetir,” tegur Nara dengan nada yang tak biasa. Kevin sampai bingung.

“Iya maaf, Nar.” Kevin melirik Nara lagi, “kamu kenapa, sih?”

“Laper.” Sontak, Kevin tertawa sangat kencang. Jadi, gara-gara lapar Nara jadi sensi begini?

“Ya ampun, ya udah ayo kita makan!” ucap Kevin semangat disertai tawanya.

_____________________________________

“Nar, aku balik ke London besok. Ada beberapa yang harus aku urus setelah konser kemaren.” Nara mengangguk seraya mengunyah, matanya terfokus pada makanan di depannya. Terserah Kevin, yang penting dirinya kenyang sekarang. Kevin terkekeh lagi.

“Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?” Nara mengangguk lagi.

“Nggak bakal kangen?” Nara menggeleng.

“Awas ya, nanti kangen setengah mati aku bakal ketawain kamu,” gurau Kevin. Lagi-lagi Nara hanya mengiyakan, “eh, jangan deh. Kalau kamu kangen sama aku, kamu cari yang lain aja, mau nggak?” Nara mengangguk lagi, membuat Kevin melotot.

“Kamu beneran mau cari pengganti aku?!” Nara mengela napasnya.

“Kamu bisa diem nggak sih, Vin? Nggak ngenakin orang makan, nih,” gerutu Nara seraya melanjutkan makannya yang tertunda. Kevin mencibir pelan, tapi masih bisa di dengar Nara.

“Papa juga pulang hari ini. Kayaknya bakal sampe pagi nanti,” ucap Nara. Memang, tadi Nathan memberitahu dirinya jika ia akan bersiap untuk pulang ke Indonesia.

“Perlu dijemput?” Nara menggeleng.

“Sopir pribadi kita yang bakal jemput. Papa kan pulang ke rumah aku nanti.” Kevin mengangguk.

“Terus, kamu mau pulang juga? Nggak mau nginep di rumah aku aja?”

“Masa Papa sendirian?” Kevin mencebikkan bibirnya sok imut, “nggak usah alay,” ucap Nara yang membuat Kevin terkekeh.

“Tungguin aku, ya.” Kevin mengusap tangan Nara lembut.

Menggoda Nara adalah hal paling menyenangkan bagi Kevin. Ia akan sangat merindukan perempuan itu nanti. Tidak rela rasanya jika ia harus melepas Nara begitu saja seperti ucapannya beberapa jam lalu. Semesta sudah menakdirkan dirinya bersama Nara dan Kevin yakin ia adalah jodoh perempuan itu.

_______________________________

Kevin memasang headset di kedua telinganya dan memejamkan mata. Jika kemarin ia memeluk Nara, sekarang ia hanya bisa memeluk ranselnya yang enteng, karena ia tidak membawa apa pun selain diri sendiri, ponsel, powerbank, pasport, dan dompet. Lagipula, urusannya akan selesai dalam beberapa jam dan Kevin akan langsung pulang ke Indonesia. Tidak peduli akan rasa lelah yang melanda tubuhnya, ia hanya ingin bertemu Nara secepatnya.

Kevin sudah berjanji pada Nara untuk membagikan undangan untuk teman-teman terdekat besok. Kevin ingin ia dan Nara yang memberikan langsung pada temannya. Kevin jadi tak sabar. Dan sebenarnya, urusan Kevin ke London itu adalah untuk membicarakan lirik lagu. Hanya lirik, tak ada melodi. Lirik lagu tersebut akan ia berikan untuk Nara nanti. Kevin ingin Nara yang memberikan melodi pada lirik yang ia buat.

Lirik lagu tersebut adalah perasaan Kevin selama ia bertemu Nara pertama kali sampai detik ini. Mungkin liriknya tak seberapa, tapi Kevin ingin Nara mengetahui jika cintanya lebih besar dari apa pun. Kevin sudah menduga jika lagu tersebut hanya berdurasi sekitar dua menit. Kevin tersenyum mengingatnya. Perjuangan untuk membuat lagu tersebut bisa dibilang cukup lama. Ya, semenjak ia kehilangan jejak Nara.

“Menurut Om Anton, bagian mana yang perlu di revisi? Atau ganti lirik?” tanya Kevin ketika Anton menjemputnya di bandara. Anton menggeleng.

“Lirik lagu kamu udah bagus. Kalau Om ubah, yang ada amburadul.” Kevin terkekeh.

“Lagu itu mau saya kasih buat kado pernikahan.” Anton tersenyum mendengarnya. Lelaki yang ia kenal selama dua tahun ini sudah dewasa. Padahal, dulu Kevin sangat tengil bagi Anton.

“Tapi sayang, habis nikah nggak bisa mesra-mesraan.” Anton tertawa, kemudian melanjutkan, “tourmu belum selesai.” Anton tergelak lagi membuat Kevin mencibir karena ulah managernya itu.

Malam yang terang menjadi saksi bagaimana perasaan Kevin saat itu. Bangga, bahagia, dan sedikit ragu karena takut jika Nara tidak menyukai tiap bait liriknya. Tapi Anton sudah berkali-kali meyakinkan Kevin bahwa Nara akan sangat terkesan dengan hadiah pernikahan yang Kevin beri.

Malam itu pukul 23.00 waktu setempat, dan Kevin akan kembali ke bandara pada pukul 03.00 dini hari. Ia hanya punya waktu dua jam untuk mempersiapkan lirik tersebut. Rencananya, Kevin akan membuat lirik tersebut melalui rekaman. Saat Anton menyarankan untuk di tulis di kertas, Kevin menolak. Udah biasa, gak kece. Begitu kata Kevin.

Suka-suka Kevin.

Setelah melakukan rekaman kilat, karena memang Anton dan Kevin melakukannya dengan buru-buru, akhirnya dua lelaki itu kembali ke bandara.

“Hati-hati, ya, Vin.” Anton menepuk pundak lelaki itu yang sebentar lagi akan boarding. Anton memang tidak ikut pulang ke Indonesia, dirinya harus ke Australia untuk mengurus konser Kevin selanjutnya. Konser Kevin di Australia memang harus diundur, karena acara pernikahannya yang tiba-tiba.

“Hati-hati juga, Om. Sorry dan makasih ya, udah mau direpotkan.” Kevin terkekeh pelan. Anton berdecak.

“Kayak sama siapa aja.”

“Oh iya Om, nanti takutnya saya nggak sempat ngasih rekamannya, Om Anton aja yang ngasih ke Nara, ya?” Anton mengerutkan kening.

“Lha, nggak spesial dong nanti?”

“Nggak apa-apa, Om. Setelah nikah kan saya langsung terbang ke Australia duluan buat gladi.” Kevin melirik tiket bertuliskan nama pesawat yang cukup terkenal di London.

Anton mengangguk. “Ya sudah, tapi kalau bisa sendiri ya sendiri. Nggak lucu dong kalau saya yang ngasih. Kalau gitu saya aja yang nikah sama Nara,” ucap Anton tenang.

“Ingat anak istri, Pak!” cibir Kevin kesal. Anton terkekeh saja mendengarnya, “ya udah. Nanti saya kasih sendiri kalau sempat. Saya pulang dulu, ya, Om. Jangan kangen!” Kevin memberikan kissbye seraya berjalan. Sedangkan Anton menggeleng pelan melihat kelakuan Kevin.

Kevin sudah Anton anggap sebagai anaknya sendiri. Kadang, melihat Kevin sama seperti melihat anaknya di rumah. Umur mereka tak jauh beda. Sebagai manager, ia memang harus selalu memperhatikan Kevin. Tak jarang pula ia sedikit merasa khawatir dengan lelaki itu. Bagaimana Kevin melewati hari-harinya, dengan apa Kevin makan, apakah anak itu sudah mandi atau belum? Ya, seperti itu pikiran Anton selama menjadi manager pribadi Kevin. Benar-benar seorang anak yang masih butuh bimbingan, tapi nyatanya, Kevin sudah bisa melangkah sendiri tanpa di tuntun siapa pun. Sekiranya, begitu pikiran Anton tentang Kevin.

See you in Australia,” lirih Anton seraya terkekeh melihat punggung Kevin yang perlahan menghilang.

__________________________________

Nara memegang beratus-ratus undangan di tangannya. Senyumnya tak kunjung hilang dari wajah cantiknya. Walau Kevin pulang dini hari nanti, tetap saja Nara tidak sabaran. Perempuan itu sudah menuliskan nama-nama teman Kevin dan dirinya yang akan mendapatkan undangan VIP nanti.

Nathan yang baru keluar dari toilet ikut tersenyum melihat putrinya tersenyum.

“Senyum-senyum mulu. Kenapa, sih?” Nathan mendudukkan dirinya di samping Nara. Anak gadisnya itu menggeleng seraya menatap undangan di tangannya.

“Kevin kapan pulang?” tanya Nathan.

“Subuh nanti.” Nara melirik jam dinding, kemudian menoleh pada Nathan, “tapi kok dia nggak ngasih kabar sih?” gerutu Nara. Nathan menahan senyumnya.

“Kevin nggak pergi jauh, Nar.” Nara mencebik, lantas beranjak menuju kamarnya untuk mengambil ponsel. Melihat anaknya pergi, Nathan menyalakan televisi. Memang sudah kebiasaan paginya untuk menonton berita.

“Selamat pagi pemirsa. Lagi-lagi peristiwa duka menyelimuti pagi ini. Maskapai London Air dinyatakan jatuh dan saat ini tim SAR sedang berusaha mencari korban yang hilang. Maskapai tujuan London-Indonesia itu jatuh--” Nathan menatap layar televisi dengan pandangan kosong. Hatinya mencelos. Dilihatnya Nara yang sedang meletakkan ponselnya di telinga. Namun, pandangan perempuan itu terfokus pada ucapan sang penyiar berita tadi. Tatkala mata mereka bertemu, jantung Nara berdegup kencang.

Nara menggelengkan kepalanya pelan, berusaha untuk tidak memikirkan yang aneh-aneh. Ia terus menghubungi Kevin.

“Di duga salah satu musisi asal Indonesia, yaitu Kevin Mahaprana menjadi korban atas jatuhnya maskapai London Air. Jasadnya--”

Nara menjatuhkan ponselnya ke lantai. Tidak, ia tidak percaya dengan semua berita itu. Ia tidak boleh menangis!

“Nara.” Nathan menghampiri Nara yang perlahan mendudukkan dirinya di lantai. Pria paruh baya itu juga tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar.

“Kevin Pa, nggak mungkin kan?” tanya Nara dengan mata berkaca-kaca.

Nathan merengkuh tubuh Nara dalam dekapannya. Nathan hanya bisa berharap berita itu tidak benar.

Tak lama, dering ponsel Nara terdengar.

“Itu pasti Kevin,” ucap Nara semangat. Ia menepis segala perasaan takutnya.

Dan ketika ia melihat layar, bahwa nama Vinna yang tertera, perasaan takut itu menjalari seluruh hati Nara. Perempuan itu tidak mengangkat panggilan Vinna, sehingga Nathan yang memutuskan untuk menjawabnya.

Isakan tangis terdengar dari ujung sana, membuat Nathan mengela napas panjang. Semuanya sudah jelas. Tak perlu ada yang menjelaskan semuanya. Pria itu menatap anaknya yang terlihat rapuh. Pandangan Nara kosong, matanya berkaca-kaca, badannya gemetar hebat.

“Kevin.” Pertahanan hatinya luruh, tangis yang ia bendung akhirnya pecah. Tak ada yang bisa Nathan lakukan selain merengkuh tubuh anaknya, walau nyatanya hati Nathan tidak karuan.

_____________________________________

Hampa.

Sakit.

Kecewa.

Sedih.

Semua itu yang Nara rasakan saat ini. Kevinnya pergi. Untuk selamanya.

Lalu, siapa yang bisa Nara rengkuh ketika ia menaiki pesawat? Lalu, siapa yang akan menggombalinya setiap hari? Lalu, bagaimana dengan janji yang pernah terucap bahwa Nara akan mendapatkan gombalan setiap hari? Bagaimana?

Lalu, apakah Nara harus tetap menunggu Kevin? Jelas, lelaki itu meminta dirinya untuk menunggu. Apakah Nara harus melakukannya?

Rasanya, ingin menangis pun Nara sudah tak sanggup. Air matanya habis. Nara sangat terpukul.

Kenapa Kevinnya pergi tanpanya?

Vinna memeluk Nara dari samping. Wanita itu seperti memeluk patung, karena Nara hanya diam tak bergerak. Sebagai seorang ibu, tak ada kata yang bisa ia definisikan untuk menjelaskan betapa pedihnya kehilangan seorang anak.

“Kevin.” Vinna berdeham tatkala menyadari suaranya bergetar. Ia tak ingin terdengar lemah. “Kevin bahagia punya calon istri seperti kamu. Dia bilang, dia merasa beruntung karena lelaki yang kamu cinta cuma dia.” Tapi tak bisa, sekuat apa pun Vinna menahan air matanya, air itu akan terus mengalir tanpa permisi.

Nara tetap diam tak bergeming.

“Kevin bahagia. Kamu juga berhak bahagia, Nara.”

Mungkin, semesta membiarkan Kevin dan Nara bahagia dengan cara yang berbeda. Kevin sudah bahagia, jelas. Karena ia pernah di cintai perempuan seperti Nara. Dan Nara akan bahagia, jika ia membiarkan Kevin bahagia dengan cara Tuhan membuat Kevin bahagia.

Semesta memang suka mengubah takdir. Tapi, rasa cinta Nara terhadap Kevin tak akan pernah berubah.  Tidak akan.

______________________

“Apa ini?” Anton tersenyum.

“Kata Kevin, kalau dia sempat memberikannya ke kamu, dia bakal memberikannya sendiri. Itu ... hadiah pernikahan yang Kevin buat untuk kamu.” Nara menatap kotak kecil berbalut pita berwarna putih di depannya.

“Kamu bisa buka itu di rumah jika mau.” Anton tersenyum, “kalau gitu, saya pamit. Salam cinta sebesar-besarnya untuk kamu ... dari Kevin.” Anton keluar rumah Nara dan menerobos hujan, kemudian memasuki mobilnya yang terparkir tidak jauh dari rumah Nara.

Perlahan, Nara membuka kotak itu. Ternyata recorder mini dengan stiky notes berwarna putih.

I love you, my wife, my queen, and my beloved teacher what ever I have.

From badboy.

Air mata Nara runtuh kembali. Kenyataan yang seharusnya sesuai dengan isi notes tersebut tidak akan pernah jadi kenyataan, membuat Nara kembali terpukul.

Nara memencet tombol On.

Semilir angin menerpa wajahku
Mataku tak luput darimu
Ku terus berlari
Sampai kau meninggalkan aku sendiri

Ku tahu kau mencintaiku
Ku tahu kau menyayangiku
Dan begitu pun aku
Yang mencintaimu lebih dari yang kau tahu

Nara terisak hebat. Tangannya menggenggam recorder itu dengan erat. Ia merindukan suara Kevin. Tanpa nada, Kevin terus bersuara. Tapi di telinga Nara, melodi terbentuk dengan sendirinya.

Hmmmm...
Oh, my mine

Saatku melihat matamu lagi
Hati ini tak pedih lagi
Karena kutahu takdir merestui
Jadilah bahagia
Salam cinta
Untuk kamu yang berbahagia

Rekaman habis.

Dan begitu pula kisah Nara dan Kevin. Habis. Sampai di sini.

Tamat






.
.
.
.








Akhirnya.

Jadi, gimana endingnya?
Kita harap kalian suka. Dan di sini guys, kita mau bilang bahwa nggak semua ekspetasi diri sendiri itu akan terus terwujud. Ada kalanya ekspetasi kita sendiri itu menyakitkan. Tapi, nggak usah khawatir karena Tuhan akan memberikan jalan lain yang lebih indah. Kayak Nara dan Kevin. Mereka bahagia kok. Mungkin, kalian berpikir nggak adil. Tapi lagi, kalau kalian merenungkan, mungkin nggak kalau sebenernya orang yang lebih mengerti, lebih baik untuk Nara itu Mike?

Kita nggak bilang Nara bakal nikah sama Mike atau siapa pun itu. Di sini kita mau menyadarkan aja, kalau nggak semua ekspetasi kita itu selalu terwujud. Enggak. Semesta emang gitu, slur.

Okay, sekian dari kami.

Salwa dan Yoyos pamit.

Tunggu epilog ya!

Best regards,
Salwayoyos 💞

Sampai jumpa di epilog!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro