Part 19 - Would you?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hola, saya kembali lagi *kibas-kibas pom-pom*

Sebelumnya saya mau berterima kasih untuk readers yang sudah membuat cerita ini 1k views. Wih, senengnya sampe ubun-ubun loh. 

Nah buat yang sudah menunggu (ada ga ya? *wink*) kelanjutan cerita ini, silahkan dinikmati ya seperti saya menikmati proses pembuatannya dengan berganti-ganti nongkrong di coffee shop seharian demi kalian, hohoho.

Part ini adalah flashback ketika Andre mengantar Nayla pulang dari apartemennya sepulangnya mereka dari Puncak. Masih inget kan?

Please enjoy, comment, and votes. Okay?

-astrid-

***

Andre menekan tombol lift lalu kembali ke sisi Nayla untuk menunggu lift itu membawa mereka ke lantai lobby gedung apartemen Andre. Dia lalu merapatkan jaket berwarna biru yang dikenakannya. Penyejuk ruangan yang ada di lorong apartemennya memang dingin. Nayla langsung menatapnya dengan pandangan mencela begitu melihat gerakan Andre.

"Gue bisa turun sendiri ke lobby, Dre." Sudah kedua kalinya Nayla mengulang kalimat yang sama. "Ga usah dianter." Andre tersenyum menanggapi kata-kata Nayla.

"Ga apa-apa, Nay. Anggap aja gue membalas kebaikan lo yang merelakan diri nemenin gue yang lagi sakit," kata Andre.

"Tapi lo itu harusnya istirahat di bawah selimut yang hangat, bukannya kedinginan kayak gitu," kata Nayla. Matanya menatap angka di layar lift. Lift-nya lelet banget sih, batin Nayla.

"Oh, ini sih selalu begitu. Gue lagi sehat juga emang rasanya dingin AC-nya," kata Andre menjelaskan. Nayla memutar bola matanya, tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan oleh Andre.

Ting...

Pintu lift terbuka. Andre menahan pintu lift dan mempersilahkan Nayla memasuki lift itu.

"After you, Nay!" ucap Andre dengan gayanya yang gentleman. Nayla membalasnya dengan senyuman lalu masuk ke dalam lift tersebut.

Apartemen Andre berada di lantai 10 dan kecepatan lift itu memang perlu dipertanyakan karena Nayla mulai merasa sudah berabad-abad berada di dalam lift bersama dengan Andre dan keheningan yang meliputi mereka.

Ting...

Pintu lift akhirnya terbuka lagi dan lobby apartemen terlihat di depan mereka. Lagi-lagi Andre mempersilahkan Nayla keluar lift duluan.

"Adik lo nunggu di mana?" tanya Andre pada Nayla yang sedang mengecek ponselnya.

"Hm...katanya udah di lobby sih. Mana ya?" Nayla mengedarkan pandangannya ke seluruh lobby, tetapi hasilnya nihil.

"Duduk sana aja," kata Andre sambil menunjuk beberapa sofa yang ada di lounge lobby apartemennya. Mereka berjalan beriringan ke sana. Mata Nayla masih mencari-cari sosok Rio, adiknya.

"Lo balik aja ke kamar, Dre," kata Nayla.

"Ga ada kalimat yang kesannya ga ngusir gue gitu? Dari tadi loh, Nay, lo cuma bilang begitu terus." Andre berkata dengan sebal, tetapi dia tetap melengkungkan senyumnya. Ekor matanya melirik Nayla. Yang ditegur hanya cengengesan tidak jelas sambil masih mencari-cari sosok adiknya.

"Hm...Nay?" panggil Andre.

"Apa?" Nayla masih sibuk celingak-celinguk sambil sesekali mengecek ponselnya.

"Gue boleh tanya sesuatu sama lo?" tanya Andre.

"Lo baru aja nanya," jawab Nayla. Andre tertawa pelan. Dia menyukai sikap Nayla hari ini. Nayla begitu berbeda, begitu perhatian. Seolah sikap juteknya telah menghilang entah ke mana, walaupun Nayla masih menjawab beberapa pertanyaannya dengan ketus.

"Gue denger...hm...dari Felix... lo pernah deket sama cowok, temen SMA lo." Kata-katanya barusan berhasil mencuri perhatian Nayla. Kini cewek itu memandangnya lekat-lekat dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan. "Lo pacaran sama dia?" Mata Nayla membulat mendengar kalimat terakhir dari bibir Andre. Lalu perlahan tatapannya berubah menjadi sendu. Nayla menghela napas lalu menunduk memandang ponselnya. Kepalanya menggeleng pelan.

Dalam diam, Andre mengamati tingkah Nayla. Andre punya feeling bahwa dia baru saja melakukan kesalahan. Pasti bentar lagi gue kena marah-marahnya lagi. Duh, kenapa sih gue kepo di waktu yang ga tepat?

"Gue belajar biola karena dia." Nayla membuka mulut dengan kalimat yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Andre.

"Eh?"

"Gue ga pernah pacaran sama dia, bertepuk sebelah tangan kok." Nayla tertawa pelan. Hah? Gue ketawa waktu ngomongin Mika? Nayla juga kaget dengan sikapnya sendiri. "Tapi gue jadi pengen kasih lihat ke dia bahwa gue juga bisa main musik. Dan lo pasti tau kalo biola adalah salah satu alat musik melodik dengan tingkat kesulitan yang lebih susah dari piano. Makanya, gue pilih untuk mulai belajar biola."

"Tapi lo bisa main piano. Kurang buat cowok itu?" kata Andre. Sebenarnya Andre tidak perlu bertanya, dia sudah tau jawabannya. Felix sudah pernah bercerita tentang ini padanya.

"Gue tau dia suka sama musik. Gue juga tau kalau sebenarnya gue sepadan buat dia dengan kemampuan gue. Tapi...kalau suatu hari nanti, gue ga bisa main musik lagi, dan hanya itu satu-satunya alasan buat dia untuk memilih gue, kita berdua sama-sama bisa hancur. Makanya dia ga pernah tau gue main piano," jelas Nayla panjang lebar. Nayla membiarkan dirinya merasa nyaman bercerita pada Andre yang selama ini selalu memberikannya aura yang sama seperti dia berada di dekat Mika dulu. Dia sudah lelah terus menerus dihantui oleh rasa sakit hati yang dirasakannya karena Mika.

"You are really someone different, Nay," gumam Andre, yang sebenarnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Nayla hanya melirik Andre dengan ekor matanya, tidak tau harus berkata apa lagi.

"Hm...terus, kenapa lo benci sama gue?" tanya Andre. Nayla tertegun mendengar pertanyaan Andre. Apa selama ini gue benci sama dia? Kayaknya enggak.

"Gue ga benci sama lo," jawab Nayla singkat. Andre tertawa pelan, menyindir jawaban Nayla. Kalau ga benci, apa dong namanya sikap lo yang selalu jutek sama gue?

"Yakin?" tanya Andre lagi. Nayla mengangguk. Dia memang tidak pernah membenci Andre, hanya ada sedikit rasa tidak suka karena Andre mengingatkannya pada Mika.

"Lo, Mika, dan semua temen pemusik lo itu sama aja," jawab Nayla. "Kalian lebih senang dengan orang yang punya skill sama, padahal kan tiap orang talent-nya beda-beda." Nayla tidak bisa menyembunyikan nada menyindir dalam kata-katanya barusan.

"Jangan menilai seperti itu sama orang lain, Nay," tegur Andre. "Apa bedanya lo sama dia, yang berpikir bahwa orang yang bisa main alat musik itu lebih baik? Ck...dia udah ngasih lo pengaruh buruk." Nayla terpana memandang Andre. Selama ini, tidak ada orang yang menegurnya seperti ini. Semua yang tau masalah ini membiarkan saja Nayla punya pikiran itu. Dan ya, kali ini, Nayla berpendapat kata-kata Andre barusan benar dan dia setuju dengan Andre.

"Real love should bring out the best in you, nothing less. Kalau rasa yang lo punya ke orang itu membuat lo jadi berpikir sempit seperti ini, lo perlu pikirkan ulang perasaan lo ke dia," sambung Andre.

"I'm over him already, Dre," ujar Nayla. "Gue ga punya perasaan apa-apa lagi ke dia." Nayla berusaha terdengar tegas, baik itu untuk Andre dan juga untuk dirinya sendiri. Nayla bisa mendengar Andre mendengus pelan mendengar jawabannya.

"Lo masih belajar biola karena dia. Lo jutek sama gue karena dia. Iya, lo udah move on?" Andre menang telak kali ini. Nayla diam saja, hanya membenarkan dalam hati.

Tiba-tiba Andre menggenggam tangan Nayla. Nayla merasakan debaran yang dulu hanya ada ketika Mika sedang bersamanya kini muncul lagi. Hanya ada satu penjelasan mengenai rasa yang sedang dia alami. Dia mungkin...ya, mungkin...telah jatuh cinta pada Andre. Nayla mengangkat kepalanya untuk menatap Andre. Andre balas menatapnya dengan lembut.

"Nay, please, fokus ke gue. Biar gue jadi orang yang membuat lo memaafkan semua masa lalu lo. Hm?" Andre meremas pelan jemari Nayla.

Nayla merasakan wajahnya menghangat ketika dia terus menerus ditatap dengan intens oleh tatapan penuh kasih sayang Andre.

"Kenapa?" Nayla akhirnya bisa menemukan suaranya lagi.

"Uh?" Andre tidak paham pertanyaan Nayla. Nayla menghela napas.

"Kenapa lo memilih gue?" ulang Nayla dengan maksud yang lebih jelas. Andre tersenyum mendengar pertanyaan Nayla. Setiap cewek pasti menanyakan pertanyaan itu pada cowok yang menyukainya. Tapi tidak semua cowok sadar dengan alasan mengapa, termasuk Andre.

"I don't know. I just did," kata Andre. Nayla menatapnya curiga. "Yang pasti bukan karena lo bisa main musik, atau karena lo pinter gambar, atau karena lo yang selalu jutek sama gue dari awal ketemu. Ketika gue lihat lo, gue tau gue harus berjuang untuk jadi bagian dari hidup lo. It just happened that way."

"Hm...begitu." Nayla mengangguk. "Oke, kita lihat seberapa hebat lo bisa jadi orang yang bisa membuat gue memaafkan masa lalu gue."

Mereka saling melempar senyum. Nayla membalas remasan tangan Andre, seolah ingin menghantarkan hangat tubuhnya untuk Andre karena tangan Andre masih terasa dingin dan sedikit berkeringat.

Handphone di pangkuan Nayla bergetar dan nama "Mario" berkedip-kedip. Mereka berdua sama-sama melirik caller ID di handphone Nayla. Nayla melepaskan tangannya dari genggaman Andre.

"Adik gue," ujar Nayla. Nayla mengambil handphone-nya dan menekan tombol hijau pada layar handphone-nya lalu mendekatkan benda itu ke telinganya.

"Kenapa lo ga minta anter pulang pacar lo aja sih, Nay?" teriak Rio kesal, bahkan sebelum Nayla menyapanya. Nayla sampai harus menjauhkan handphone-nya dari telinganya. Andre hanya tersenyum simpul mendengar kata-kata dari adik Nayla.

"Berisik lo," sambar Nayla. "Lo di mana? Gue dari tadi udah di lobby, tau." Nayla sekali lagi mengedarkan pandangannya ke sekeliling lobby. Dia tetap bisa menemukan sosok adiknya.

"Lo pikir gue kurang kerjaan, nyari parkir dulu dan masuk ke lobby?" sembur Rio kesal. "Di depan nih, di driveway. Udah dari tadi." Nayla mengarahkan pandangannya ke driveway area apartemen Andre. Dan dia melihat mobil Rio lengkap dengan Rio di dalamnya yang sedang marah-marah di dalamnya terparkir manis di sana. "Gue jadi ngeliatin lo pacaran. Dih...nyebelin banget, asli. Ga usah pamer kemesraan juga kali." Nayla memutar matanya, sebal. Siapa juga yang pamer kemesraan? Eh, emangnya gue tadi mesra ya sama Andre? Nayla tersipu malu.

"Iya, iya, gue ke sana. Ga usah marah-marah juga. Baru beberapa menit doang kan?" kata Nayla.

Klik.

Rio mematikan sambungan teleponnya. Nayla mendelik sewot ke handphone-nya.

"Ga sopan," dengus Nayla pada handphone tak bersalah itu.

Lalu sentuhan Andre di lengannya menyadarkan Nayla.

"Yuk, gue anter sampe mobil!" ujar Andre. Nayla mengangguk. Nayla mengekor Andre yang berjalan duluan menuju mobil Rio.

Rio menurunkan kaca mobil ketika Andre dan Nayla mendekat.

"Hai, gue Andre, pacarnya Nay." Andre mengulurkan tangannya kepada Rio. Nayla terpana dengan rasa percaya diri yang menguar dari Andre, sekaligus tersipu karena Andre menyebut status barunya. Rio yang tadinya bersikap acuh tak acuh menjadi segan. Dia menyambut tangan Andre.

"Rio."

"Sorry, ya, ngerepotin buat jemput kakak lo. Gue kebetulan lagi sakit, jadi ga bisa anter dia," kata Andre.

"Ng..." Rio melirik Nayla yang ada di belakang Andre. Nayla memberinya kode untuk bersikap baik di depan Andre. Rio akhirnya tersenyum pada Andre. "Ga apa-apa kok."

"Gue pulang dulu. Lo istirahat ya," kata Nayla. Andre mengangguk. Andre mengantar Nayla sampai ke pintu penumpang, membukakan pintu buat Nayla dan menutup pintu itu ketika Nayla sudah duduk dengan manis di kursi penumpang. Nayla melambaikan pada Andre dan tersenyum.

Ah, ternyata begini rasanya punya pacar. Nayla bergumam dalam hati. Senyum masih terulas manis di bibirnya.

"Gila...kesambet apa tuh cowok bisa suka sama lo! Romantis banget lagi, sampe bukain pintu buat lo segala. Ckckck..." ujar Rio yang berhasil membuatnya mendapatkan toyoran di kepalanya dari Nayla.

"Berisik. Nyetir yang bener. Gue cape, mau tidur!" kata Nayla.

"Lagian, pulang dari jalan-jalan, malah pacaran dulu," kata Rio.

"Whatever, Rio!" ujar Nayla mengantuk. Dia menguap, menyandarkan kepala, dan menutup matanya.

***

Kalo ada yang penasaran sama Mika, sabar ya, saya mau fokus sayang-sayangan Andre sama Nayla dulu. Kasihan mereka dulu tukang ribut terus, udah jadian masa langsung konflik lagi gara-gara Mika nonggol.

Cheer me on with your comment and votes.

-astrid-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro