Jika Cinta, Maka...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai."
KH. Rahmat Abdullah

▪▪▪

credit characters by La Fadz:
Medina, Atik, dan Rhum.


















"BIASANYA orang kalau jatuh cinta itu gimana?"

Ketika itu jeda kelas masing-masing cukup untuk digunakan mengobrol bersama. Di masjid kampus, sesuai sholat dhuha dan melipat mukena, Medina, Atik dan Rhum duduk di samping lemari mukena di lantai dua. Dari sana, mereka dapat melihat pemandangan kampus tercintanya. Sebab, hanya kaca besar yang jadi pembatasnya.

Ada fakultas Hukum yang berdiri gagah dengan suasana adem pohon-pohon dan semak yang mengelilinginya.

Atik dan Rhum mengerutkan dahi. Padahal baru saja sepuluh menit mereka menyelesaikan semuanya. Atik bahkan belum sempurna merapikan kerudung dan juga touch up sedikit sunblock ke wajahnya.

"Tumben ngomongin cinta-cintaan," celetuk Atik, yang kemudian diiyakan oleh Rhum dengan anggukan kepala.

Tetapi, Medina justru tertawa kecil. "Udah, jawab aja kenapa sih. Sekali-kali kita diskusi soal cinta-cintaan boleh lah."

"Yeee, bucin dong!"

"Eh tapi bener. Nggak papa kali kita diskusi masalah cinta. Secara, cinta kan fitrah!" kata Atik sembari terkekeh.

"Iyaaa, yang udah fasih masalah ini," sambung Rhum, menggoda Atik.

Medina tertawa melihat kedua sahabatnya mulai memantik keseruan obrolan mereka. Untung, masjid sedang lumayan sepi. Lagipula, bukan maksudnya untuk berisik di masjid. Dengan waktu yang terbatas, kadang ia senang kalau memanfaatkan waktu untuk berdiskusi dengan kedua perempuan itu.

Banyak hal baru yang ia pelajari dari kedua sahabatnya. Menurut Medina, perbedaan antara mereka justru membuatnya banyak menimbang masalah dari berbagai sisi.

"Gini, gini... maksudku, bener nggak sih misal ada seseorang yang lagi jatuh cinta, dia itu jadi rela melakukan segalanya? Ya apa ya istilahnya...."

"Bucin tingkat akut!" seru Rhum.

"Ah, Rhum suka gitu," serbu Atik. "Realitasnya, cinta itu memang sebegitu dahsyat efeknya. Banyak kok kasus yang bisa kita lihat di sekitar kita yang membuktikan bahwa virus cinta memang bisa membuat orang jadi setengah gila. Pernah denger nggak ada seorang cowok yang bunuh diri gara-gara diputusin pacarnya?"

"Itu sih akibat negatifnya pacaran, Tik."

"Hush, Rhumanaaa! Diem dulu kenapa?! Kita lagi fokus bahas apa yang dilakukan oleh palaku bucin, oke?" kata Atik. "Realitas di masyarakat memang gitu. Bener kata Medina, orang jatuh cinta itu rela memberikan dan melakukan segalanya. Bahkan hal yang dianggap paling penting. Contohnya kehormatan. Berapa banyak sih, perempuan yang rela ditidurin cowok hanya dengan alasan cinta? Ya kaaan?"

Rhum dan Medina mengangguk-angguk. Mengiyakan pendapat Atik yang fasih sekali membicarakan masalah cinta.

"Satu lagi... sebenernya kalau kita bahas cinta, konteksnya nggak sesempit itu, lho."

"Oiya?"

"Maksudnya gimana?"

"Yaaa, cinta kepada dunia juga termasuk alasan kenapa seseorang rela memberikan segalanya. Contoh kecilnya, seorang perempuan yang rela lepas kerudung demi bisa diterima di perusahaan tertentu. Udah itu orientasinya bukan akhirat, cinta dunia banget sampai hal-hal prinsip mengenai agama jadi tergadaikan. Ngeri kan?"

Medina dan Rhum sekali lagi mengangguk.

"Kalau membicarakan perihal cinta, ada banyak sisi positifnya juga, kok," sambung Rhum.

"Nih ya, tanpa ada rasa cinta, maka dunia tidak akan punya nyawa. Kita menjalankan kehidupan dengan perasaan hampa. Ya, nggak usah melulu soal dua lawan jenis. Tapi, cinta sesama manusia. Sebagai bagaian dari fitrah yang diberikan Allah. Misal aja, cintanya orangtua kepada anaknya. Dengan besarnya cinta yang mereka punya, apapun ditempuh untuk membahagiakan anak-anaknya.

Umi dan Abiku misalnya. Mereka memberikan segalanya. Waktu, tenaga, pikiran untuk menghidupiku sampai saat ini. Ya meskipun kita paham kalau ada zat yang Maha Menghidupi kita, Allah. Tapi, dengan cintalah, kita bisa merasakan perjuangan orang-orang yang kita sayangi."

"Sepakat!" Medina dan Atik serentak menyepakati.

"Atas nama cinta juga, ribuan tahun lalu, ada seorang manusia tangguh yang merelakan kehidupannya demi kebahagiaan seluruh manusia di dunia hingga hari ini. Waktunya, tenaganya, pikirannya, bahkan sejengkal perjuangannya dulu adalah representasi dari begitu cintanya beliau pada kita hari ini."

Atik dan Rhum mengernyitkan dahi mendengar Medina berkata.

"Iya. Dialah Rasulullah. Yang cintanya pada kita tak pernah habisnya. Atas nama cinta pada Illah, beliau berdakwah tanpa kenal lelah. Menyebarkan risalah demi terwujudnya manusia yang bebas dari belenggu kejahiliahan atas agama yang dibawanya.

Karena cintanya kepada kita, meski dicaci dan dibenci oleh kaumnya, beliau tetap yakin akan apa yang disampaikannya. Bahwa Islam adalah ajaran paripurna yang mampu mengubah hidup kita jadi jauh lebih baik. Bahwa Islam adalah tatanan sempurna dari Alla ta'ala yang seharusnya kita syukuri karena tidak semua manusia dapat menikmatinya."

Mereka bertiga diam. Entah kenapa, kalau membicarakan perihal perjuangan Rasul yang mereka sayangi, ada rindu yang menyayat-nyayat ulu hati. Ada rasa sedih karena sampai sejauh ini tak mampu melakukan banyak hal untuk membalas cintanya.

"Kadang, merasa rendah banget karena nggak bisa melakukan banyak hal untuk agama ini. Ah, benar. Seharusnya kalau kita mengaku mencinta saudara kita, atau bahkan sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita mengikuti jejak Nabi untuk turut serta dalam menyebarkan Islam. Berdakwah. Semampu yang kita bisa, dengan apa yang menjadi bagian dari keahlian yang Allah titipkan," kata Rhum.

Atik dan Medina mengangguk.

"Ya Allah, kok bener sih." Mata Atik mulai berkaca-kaca. "Dakwah itu cinta. Harusnya kalau cinta, kita rela melakukan segalanya. Tapi... jangankan melakukan segalanya. Kadang rapat dan agenda di LDK aja sering aku abaikan. Bahkan waktu lagi futur-futurnya. Aku pernah lho, sengaja matiin HP supaya kalau ada senior yang ngajakin rapat atau kajian jadi nggak bisa menghubungi. Astaghfirullah akuuu!"

"Iya betul. Dakwah adalah cinta. Maka ia akan meminta segalanya dari kita. Waktu, pikiran, tenaga bahkan harta. Aku sendiri juga masih jauh dari kata sempurna. Iya benar, mengaku aktivis dakwah tapi kegiatannya mubazir semua. Tapi kita kan ada untuk saling mengingatkan. Betul kata Rhum. Semampu kita, sebisa kita. Potensi dari Allah harus dimaksimalkan. Lalu digunakan untuk menolong agama Allah."

"Sampaikan walau satu ayat!"

"Yap!"

"Terimakasih ya Rhum, Mei. Kalian berdua udah menunjukan rasa sayangnya sama aku. Sering nasehatin ini itu. Meskipun kelihatan rese dan ngeselin. Tapi, lewat kalian lah aku jadi kayak gini."

"Ihhh, Atik mah. Pake nangis-nangis."

Ketiga sahabat itu menangis, atas apa yang sedang mereka diskusikan.

"Iya, pokoknya sama-sama saling ngingetin, lho."

"Inget ya, kalau kalian sampai capek ngingetin aku. Berarti aku anggep kalian udah nggak sayang," tambah Atik ketika mereka saling berpelukan.

Iya, bukankah begitulah perihal cinta, semua adalah tentang bagaimana kita peduli dan berbagi? Tentang bagaimana seharusnya kita berjuang dan turut berkontribusi demi agama ini? Iya, semampunya, sebisanya, dan semaksimal kita.

▪▪▪




Referensi bacaan:
Isti'ab, Fathi Yakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro