MTM - 51

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Hari ini, pagi hari sekali, tidak seperti biasanya, Arga sudah menginjakkan kakinya di kantor.

Sejak kemarin, Arga sudah berniat untuk menargetkan pada dirinya sendiri agar bisa menyelesaikan semua pekerjaan di mejanya dan mengadakan meeting yang sudah masuk ke Sila hanya dalam jangka waktu satu minggu ke depan.

"Pak, tumben udah datang," sapa salah seorang satpam saat Arga hendak masuk ke dalam gedung kantornya.

"Iya, Pak, kerjaan saya banyak," sahut Arga berbasa-basi.

"Pak Arga memang CEO yang luar biasa," balas sang satpam.

Setelah itu, Arga hanya menganggukan kepala sungkan dan berpamitan untuk masuk ke dalam gedung.

...

Sejak masuk ke dalam ruangannya, Arga terus fokus pada berkas-berkas yang berada di atas mejanya, bahkan tak jarang laki-laki itu mengabaikan panggilan masuk di teleponnya, tidak peduli dari siapa panggilan itu berasal. Dan tidak peduli seberapa banyak ponselnya bergetar karena ia mengubah ponselnya ke mode silent.

Ketukan pintu, berhasil mengganggu fokusnya, membuat Arga berteriak mempersilakan si pengetuk pintu itu untuk masuk.

Sila muncul seraya menyunggingkan senyum lebar ke arah Arga yang menatapnya dengan ekspresi tak karuan, seolah laki-laki itu tengah menghadapi beban hidup yang berat.

"Kenapa, Sil?" tanya Arga to the point saat gadis itu melangkah mendekati mejanya.

"Lo baik-baik aja?" tanya Sila.

"Iya, kayak yang lo lihat. Gue baik-baik aja," sahut Arga seraya menyunggingkan senyum tipis.

"Jadi, kenapa? Ada berkas yang harus gue tandatangani, atau apa?" tanya Arga lagi.

Sila menggeleng. "Sei tadi nelepon gue, karena dia bilang, lo nggak angkat teleponnya, jadi gue disuruh pastiin kalo lo baik-baik aja," ujar Sila.

Arga meraih ponselnya dari atas meja. Ada 10 Panggilan Tak Terjawab dari Seina.

"Gue silent handphone," ujar Arga seraya menunjukan layar ponselnya pada Sila, agar sekretarisnya itu percaya.

"Oh ... oke ...," kekeh Sila.

"Jadi si Sei ngomong apa ke lo?" tanya Arga.

Lagi-lagi Sila menggeleng. "Dia nggak ngomong apa-apa, cuma nyuruh gue pastiin keadaan lo doang."

"Oh gitu."

"Ya. Kalau gitu, gue permisi yah, Ga," pamit Sila.

Gadis itu baru akan membalikkan badannya untuk melangkah keluar dari ruangan Arga, namun bos-nya itu kembali memanggilnya.

"Kenapa?" tanya Sila.

"Untuk bulan ini, ada berapa meeting yang harus gue hadirin? Yang jadwalnya udah masuk ke lo," ujar Arga.

Sila nampak memutar-mutarkan bola matanya ke kanan-kiri, berusaha mengingat jadwal Arga.

"Sekitar 10 meeting yang udah gue terima," jawab Sila pada akhirnya.

"Oke. Gue minta lo buat re-schedule semua jadwal meeting-nya," ujar Arga, membuat kedua mata Sila membola dengan sempurna.

"Re-schedule gimana maksudnya? Dimundurin?" Sila mengeryitkan keningnya.

"Bukan. Dimajuin. Gue mau 10 meeting itu dimajuin ke satu minggu ke depan. Mau sehari gue dateng ke dua atau tiga meeting, nggak masalah," jelas Arga.

"Kenapa? Kalau mereka nggak bisa gimana?"

"Meeting di kantor kita kan? Mereka yang butuh kita kan? Kalo mereka nolak, yaudah, gue nggak bisa kalau di luar seminggu ke depan," ujar Arga.

Laki-laki itu kembali fokus dengan berkas-berkas di hadapannya, mengabaikan Sila yang menatapnya masih dengan sebuah kebingungan.

"Kenapa sih?" tanya Sila penasaran.

"Gue mau cuti, sampe Seina ngelahirin," sahut Arga sekenanya.

Sila sempat menganga seraya membelalakan kedua matanya sebelum akhirnya ia berdecak, "Ga, lo gila?"

"Seina yang minta," ujar Arga asal.

"Nggak mungkin."

"Yaudah. Pokoknya gue minta lo ikutin apa kata gue, re-schedule jadwal meeting-nya," ujar Arga seraya tangannya mengisyaratkan Sila untuk keluar dari ruangannya, seolah tidak membiarkan gadis itu untuk bertanya ataupun menyampaikan protesnya.

Akhirnya Sila harus keluar dari ruangan Arga dengan pasrah. Pasrah menerima ocehan dari para klien yang tidak terima jadwal meeting-nya dirubah secara mendadak, mungkin? Baiklah, apapun yang akan terjadi nanti atas perintah Arga ini, semua akan Sila hadapi.

***

Arga nampak mengatur napasnya sebelum tangannya bergerak untuk memencet bel apartmentnya.

Laki-laki itu tahu, pasti di dalam, istrinya marah padanya. Pasalnya, saat di kantor, saat Sila keluar dari ruangannya, ia tidak kembali menghubungi Seina meskipun tahu jika wanita itu menghubunginya beberapa kali.

Setelah memantapkan hati, tangannya bergerak memencet bel. Tak lama, Seina muncul, menunjukan ekspresi yang tak bersahabat.

Tanpa menunggu Arga masuk, wanita itu sudah kembali membalikkan badan, melangkah dan duduk di ruang televisi.

"Sayang ...," panggil Arga saat ia berhasil duduk di samping Seina.

Seina hanya melirik Arga sekilas.

"Aku minta maaf nggak angkat telepon kamu. Kamu tahu kan aku sibuk? Aku harus selesaiin semua pekerjaan aku, demi kalian," ujar Arga.

Ia berharap Seina akan mengerti.

Mata Seina tiba-tiba nampak berkaca-kaca, dapat Arga lihat jika wanita itu juga menggigiti bagian dalam bibir bawahnya.

"Hei? Kenapa?" Arga menarik Seina ke dalam dekapannya. Mengecup puncak kepala wanita itu beberapa kali.

"Aku nggak suka diabaikan," lirih Seina.

Arga menghirup napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

Beberapa hari belakangan ini, Arga merasa Seina memang lebih sensitif. Wanita itu bisa menangis hanya karena hal kecil, dan tiba-tiba marah tanpa alasan yang jelas.

Hormon wanita hamil, mungkin?

Arga kembali mengecup puncak kepala Seina, mengeratkan pelukannya. "Iya, oke, aku janji nggak akan mengabaikan telepon atau chat dari kamu lagi. Aku minta maaf, udah dong jangan nangis."

Seina menarik tubuhnya, mendongakan kepalanya untuk menatap wajah Arga.

"Janji?"

"Iya, Sayang."

Sepersekian detiknya, Seina nampak tersenyum lebar. Ekspresinya berubah 180 derajat dari beberapa detik lalu.

"Agar, hari ini aku nggak masak. Kita makan di luar aja yah?" ujar Seina tiba-tiba.

"Oh, gitu? Oke, kalau gitu aku mau mandi dulu, setelah itu kita pergi keluar yah? Kamu mau makan apa?"

"Nggak tahu," sahut Seina tersenyum tipis.

"Yaudah, kita pikirin nanti, sekarang aku mandi dulu." Arga bangkit dari duduknya, kembali mengecup kening Seina sebelum melangkah masuk ke dalam kamar.

Sedangkan Seina hanya menatap kepergian Arga dengan datar. Ia memilih untuk menghidupkan televisi selama menunggu Arga selesai membersihkan diri.

***

Saat ini Arga dan Seina sudah ada di sebuah restoran yang berada di mal di bagian bawah gedung apartment mereka.

Di hadapan mereka sudah ada beberapa makanan pesanan keduanya.

"Gar, aku gendutan yah?"

Arga menelan salivanya dengan susah payah. Pria itu sedikit trauma dengan pertanyaan itu.

Dulu, sewaktu mantan pacarnya bertanya itu, dan Arga menjawab iya, ia kena omelan tak ada habisnya dan berujung gadis itu mendiamkannya beberapa hari.

Lalu sekarang, saat Seina bertanya, apa yang harus Arga katakan? Terlebih pipi wanita itu kini memang nampak lebih chubby dari sebelumnya.

"Udah jujur aja!" seru Seina saat Arga tak kunjung mendapat jawaban.

"Kalau gendutan, aku nggak mau ngehabisin semua makanan ini," tambahnya.

"Loh? Nggak gitu dong. Kamu gendutan itu wajar, Sayang. Kamu lagi hamil, kembar juga, kamu nggak bisa egois gitu dong? Pikirin juga anak-anak kita," ujar Arga berusaha sabar.

"Tapi kalau aku gendut, nanti kamu nggak sayang sama aku lagi. Iya kan?" Seina menatap Arga dengan tatapan menyelidik.

Arga menggelengkan kepala cepat. "Nggak, siapa bilang? Aku bakal tetep cinta sama wanita yang udah mengandung anak-anakku," ujar Arga.

"Jadi bener aku gendutan?!"

Arga mengusap dadanya beberapa kali. Sabar.

"Iya. Tapi aku lebih suka kamu yang berisi kayak sekarang, lebih seksi," ujar Arga.

"Kenapa?"

"Lebih empuk buat dipeluk," kekeh Arga. Ia berdiri mendekati Seina, menarik Seina ke dalam pelukannya.

"Ah ... kamu bikin aku malu ...," desis Seina. Ia membalas pelukan Arga dengan erat.

Mendengar desisan itu, Arga justru terkekeh geli. Istrinya berubah menjadi menggemaskan.

"Yaudah, sekarang lanjutin makannya. Nggak usah takut gendut, karena kesehatan si kembar lebih penting kan? Aku juga lebih suka istriku yang berisi," ujar Arga seraya melangkah kembali ke kursinya setelah keduanya saling melepas pelukan satu sama lain.

Mata Seina nampak berbinar, kemudian ia kembali memakan semua makan di atas meja dengan lahap, sempat membuat Arga menggelengkan kepalanya.

Seina manja. Dan saat ia hamil, wanita itu tambah-tambah manja, dan bisa menjadi wanita yang menyebalkan secara tiba-tiba.

Tapi Arga bertekad, ia harus selalu sabar menghadapi itu, berusaha untuk tidak membentak wanita itu.

Karena bagaimanapun, Seina begitu karena hormon. Hormon wanita hamil. Setidaknya Arga hanya akan merasakan sikap Seina yang menyebalkan tinggal 7 bulan lagi.

Ya. 7 bulan lagi. Itu tidak lama kan?

---
Yeayyy... aku minta maaf mulu deh karena selalu telat update. Maaf yah hihi, aku juga sebenernya pengen cepet-cepet nyelesaiin ini dan ganti ke prekuelnya. HAHAHA.

Btw aku mau kasih tau, kalo grup whatsapp MTM UDAH CLOSE MEMBER YAH!😊

Instagram:
(at)ashintyas
(at)oreovanila.story
(at)arga_dimitra
(at)seina_alexandra

Serang, 28 Oktober 2018

Love,
Agnes

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro