23. Piano

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku melewati gerbang besar berwarna perak yang menjulang tinggi melindungi rumah megah di balik gerbang itu. Seorang satpam yang sudah lama kukenal tersenyum ramah saat aku datang.

Aku menyusuri jalan kecil yang di kiri-kanannya terdapat tanaman-tanaman kecil milik nyonya besar rumah ini. Aku menghirup udara segar dalam-dalam. Aku selalu menyukai tempat ini, tak peduli seberapa seringnya aku berkunjung kemari.

Saat hendak menginjak teras rumah, aku melihat seorang wanita paruh baya tengah duduk di salah satu kursi besi tak jauh dari tempatku berdiri dengan kedua tangan terbalut hand gloves. Atensinya tertuju pada tanaman bonsai di atas meja di hadapannya. Niatku ingin langsung masuk ke rumah kuurungkan. Langkah kakiku mendekati wanita paruh baya itu.

“Bibi,” sapaku ramah.

Kepala yang sejak tadi tertunduk itu kini mendongak. Iris matanya bersirobok dengan manik hazel-ku, “Ara! Hime-chan rupanya,” ia tersenyum lembut, “Mencari Ken, ya?” ia meletakan gunting yang ia gunakan untuk merapikan bonsai ke atas meja.

Aku mengangguk sekali, “Apa Ken ada di rumah?”

Wanita paruh baya ini adalah ibu dari sahabatku. Dan beliau sudah menganggapku seperti anaknya sendiri karena beliau tidak memiliki anak perempuan. Kakak sahabatku laki-laki dan sahabatku sendiri juga seorang laki-laki.

“Kento-kun ada di belakang rumah. Dia sedang sibuk,” Bibi Yumi terkekeh pelan.

Ah, Ken sibuk, ya? “Sepertinya aku akan kembali lagi nanti. Aku takut mengganggu Kento.”

Bibi Yumi langsung berdiri ketika aku hendak kembali pulang, “Tidak, Hime-chan. Aku yakin Kento-kun menunggu kehadiranmu. Dia sedang memperbaiki piano peninggalan kakeknya yang baru dikirim tadi pagi oleh pamannya.”

Hatiku berbunga saat mendengar kata ‘piano’, “Benarkah?”

Bibi Yumi tersenyum tipis, “Masuklah.”

Aku mengangguk antusias, “Baik, Bi.”

Setelah membungkuk hormat pada Bibi Yumi, aku bergegas masuk ke rumahnya dan langsung melesat ke halaman belakang. Para maid yang ada di sini sudah tidak heran dan tidak asing lagi denganku. Karena aku sudah terlalu sering keluar-masuk kediaman keluarga Yamazaki.

Setibanya di halam belakang, aku melihat Kento tengah asyik dengan piano dari mendiang kakeknya. Jari-jarinya telaten memperbaiki apa saja yang perlu diperbaiki.

“Ken,” panggilku dan berhasil membuat Kento menoleh padaku.

Ia tersenyum lebar. Deretan gigi putihnya tampak. Jangan lupakan dua gigi gingsulnya yang menambah kesan manis pada senyumannya, “Hime-chan, kemari.”

Aku mengangguk lalu duduk di sampingnya, “Piano baru?”

Ia menggeleng, “Bukan. Ini piano milik kakekku.”

“Ini piano baru, Ken,” Kento menatapku dengan alis yang saling menyatu, “Karena aku baru pertama kali melihatnya. Maka piano ini adalah piano baru untukku.”

Kento tertawa renyah. Tangan kanannya mengacak rambutku gemas, “Kau bisa saja, Hime-chan.”

Aku tersenyum kecil, “Rusak?” kedua ainku tertuju pada piano.

“Hanya perlu beberapa perbaikan.”

Aku menyentuh tut-tut piano itu, “Jika sudah selesai diperbaiki, boleh aku mencoba memainkannya, Ken?”

Dia menatapku teduh, tersenyum, sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku, “Tentu saja. Kau akan menjadi orang yang pertama yang memainkan piano ini jika sudah selesai kuperbaiki,” dia memalingkan wajahnya lantas berujar lirih, “Karena kau adalah sahabatku.”

Seketika senyum di wajahku perlahan memudar.

Sahabat?

Friendzone ini benar-benar menyiksa.



=THE END=


18 Mei 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro