• CHAPTER 3 •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah Owen :  4th street, New York.

"Kurasa bermalam di rumah ini bukanlah sesuatu yang benar."

Suara itu berasal dari Julia yang kini duduk di antara Jack dan Owen. Manik birunya itu melihat Jack lalu ke Owen bergantian dengan pandangan bingung bercampur canggung.

Setelah melakukan negosiasi, Owen dan Jack sepakat untuk membawa Julia bermalam sementara di rumah Owen--setidaknya sampai pemeriksaan TKP selesai dilakukan--karena Jack tak pernah menawarkan siapapun untuk berkunjung apalagi bermalam di rumahnya selama ini. Owen mulai berkomentar dan membuat Jack tidak nyaman, sehingga Jackpun terpaksa menyetujui keputusan Owen untuk membawa Julia bersamanya. Alih-alih khawatir dengan kondisi Julia, Jack lebih cemas Owen ataupun Julia mengetahui sesuatu yang dirasakan Jack sekarang.

"Kenapa kau masih di sini, Jack?" Owen, pria dengan mata cokelat gelapnya itu menatap Jack penasaran. Jack selama ini tak pernah sekalipun mau berkunjung ke rumah Owen, jadi rasanya aneh jika tiba-tiba ia bergabung dan duduk bersama mereka. "Bukankah kau bilang akan sibuk malam ini?"

Jack mendengkus pendek. "Menurutmu apa? Aku di sini untuk menjaga saksi kita." Ia melirik Julia yang duduk di sebelahnya sebelum kembali pada Owen. "Wanita ini bisa saja berbohong dan kabur, bukan?"

Namun Julia buru-buru menyela, "Sudah kukatakan, aku tidak akan kabur."

Jack menoleh dan menatap Julia, wanita itu sudah tidak sepucat sebelumnya. "Aku tidak bisa memercayai siapapun dalam sebuah kasus kejahatan," katanya dengan nada sinis--yang dibuat - buat.

Owen terkekeh pendek dan menggeleng. "Kau berlebihan, Jack." Ia lalu menarik sebotol jus jeruk yang sebelumnya sudah ia siapkan di atas meja dan menyodorkannya pada Julia. "Kasus kematian Charlotte belum tentu mengarah pada adanya dugaan pembunuhan atau tindak kriminal lainnya, bukan? Julia, minumlah sesuatu agar tubuhmu membaik."

Julia mengangguk kecil dan tersenyum sopan pada Owen. "Terima kasih."

Jack kemudian menarik sebotol jus jeruk lain di atas meja dan meneguknya dengan cepat dan keheningan terjadi setelahnya. Suasana yang canggung itu berlangsung sampai dering dari ponsel Owen terdengar di ruangan itu.

Owen merogoh saku celananya dan mengangkat panggilan itu. "Ya, bagaimana?" Pria berkulit putih itu mengerutkan dahinya dalam dan mencebik. "Baiklah. Hubungi aku jika kalian menemukan sesuatu," pungkasnya sekaligus mengakhiri pembicarannya di telpon.

"Ada apa?" tanya Jack.

Owen melihat Julia sesaat sebelum kembali pada Jack yang duduk di sebrangnya. "Orang tua Charlotte sudah melaporkan Julia ke kantor polisi atas tuduhan kasus pembunuhan anaknya."

Julia menggeleng cepat. "Aku tidak membunuhnya, sungguh," sergahnya panik. "Walaupun aku mabuk, aku masih bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi padaku setelah kami meninggalkan kelab. Dia ... maksudku, Charlotte sudah tewas saat aku sampai di apartemen."

"Kau harus tenang," pinta Jack, berusaha meredam suasana yang mendadak berubah tak nyaman. "Di hadapanmu sekarang ada dua polisi yang mungkin bisa membantumu atau menangkapmu dan memasukanmu ke dalam penjara." Julia menatap Jack serius. "Jadi, katakan apapun yang bisa kau ingat tentang wanita bernama Charlotte itu."

"Bagaimana hubunganmu dengannya belakangan?" tambah Owen. "Jika dia sungguh sahabatmu, apa kau memiliki bukti untuk memperkuat pernyataanmu tadi?"

Julia melihat Owen lalu ke Jack bergantian. Ia menggigit bibirnya ragu sebelum akhirnya mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Mata birunya yang redup menatap isi dompet berwarna merah muda itu beberapa detik sebelum akhirnya Julia mengeluarkan sebuah foto dari balik kartu kreditnya dan menyimpannya di atas meja. "Kurasa semuanya bermula saat kami terlibat dalam proyek film yang sama." Julia memulai. "Aku adalah seorang penulis misteri selama ini dan karya pertamaku dengan tema detektif romansa ini dipilih oleh Christian Moore."

Owen membulatkan matanya takjub. "Maksudmu, sutradara terkenal itu?"

Julia mengangguk mengiyakan dan kembali melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak tahu kalau Charlotte terpaksa mengikuti audisinya karena Christian sangat selektif pada proyeknya kali ini. Dia berusaha sangat keras untuk mengesankan Christian saat itu dan kurasa ... dia mulai membenciku sejak hari itu."

***

Golden Studio, New York.
(Dua bulan sebelum kejadian)

Wanita dengan rambut pirang sebahu duduk di sebuah sofa berwarna abu-abu. Maniknya yang sewarna dengan batu emerald itu menatap lurus ke arah pria bertubuh atletis di hadapannya. Dari wajah, usia keduanya tampak terpaut beberapa tahun saja. Gaya berbusana sang wanita yang dewasa tampak sebaya dengan gaya berbusana sang pria yang terkesan santai dan lebih muda dari usianya.

"Semua sutradara di negara ini menginginkanku untuk bergabung dengan proyek mereka, bahkan mereka rela merogoh kocek lebih dalam hanya demi menyewaku. Bagaimana mungkin kau menyuruhku untuk mengikuti sebuah audisi dalam proyekmu, Mr. Moore?"

Wanita itu adalah Charlotte. Ia terpaksa datang sepagi ini hanya untuk bertemu dengan sang sutradara karena tak ingin melewati sesi audisi pada proyek film yang digadang-gadang akan sangat popular di kota New York. Selama ini, tidak ada satupun sutradara yang berani menyuruh seorang Charlotte melewati sesi audisi selain Christian Moore, sutradara yang kini tengah berada di puncak kejayaannya. Charlotte merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh sutradara nyentrik itu, dan ia tidak bisa terima.

"Maaf, Charlotte." Christian mengedikkan kedua bahunya acuh. "Proyek film ini akan mengangkat cerita dari sebuah novel paling laris di kota New York dan aku tidak ingin berspekulasi pada peranmu nanti."

Charlotte mendecih sinis dan bersedekap. "Kau sungguh menghinaku, Pak Sutradara."

Christian mengulum senyum. "Aku sudah berbaik hati dengan memberikanmu pilihan, Charlotte. Jika kau memang ingin mendapatkan peran utama dalam proyek film ini, kau harus melewati sesi audisinya terlebih dahulu dan keputusanku bersifat mutlak."

"Aku menjadi sangat penasaran sekarang. Siapa penulis yang begitu menarik perhatian orang-orang di kota ini sampai seorang sutradara sepertimu tidak berani mengecewakannya," tandasnya sarkastik.  "Bukankah kau bereaksi berlebihan pada antusiasme orang-orang dalam proyek ini, Mr. Moore?"

Lagi-lagi Christian hanya mengulas senyum di bibirnya yang keabuan. "Julia."

Kening Charlotte pun berkerut dalam. "Apa?"

"Julia Milles," ucap Christian. "Penulis yang kau tanyakan tadi adalah Julia Milles dan novelnya yang begitu digilai masyarakat kota New York berjudul cahaya di antara gelapnya dunia. Bukankah seharusnya kau tak asing dengan nama itu, Mrs. Antonie?"

Wajah Charlotte memerah. Ia tengah menahan amarah sekarang.

"Kudengar kalian tinggal di daerah apartemen yang sama. Apakah itu benar?" Christian lalu meletakkan catatan naskah miliknya di meja dan kembali tersenyum di hadapan Charlotte. "Mungkin kau bisa mulai berlatih dengan penulisnya langsung. Terdengar sangat menguntungkan untukmu, bukan?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro