My Brother's (30)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fiki saat ini dalam kondisi memprihatinkan. Ia langsung di bawa ke ruangan IGD rumah sakit terdekat.

"Aww," ringis Fiki kesakitan.

Beberapa luka di wajah tengah diobati oleh perawat laki-laki. Fiki terus mengeluh kesakitan akibat luka yang ia derita.

"Mas, pelan-pelan dong," ujar Fiki.

Air mata Fiki sudah menetes. Sebagai anak Bungsu sifat manja ya keluar.

"Ini juga sudah pelan-pelan. Kamu kenapa bisa seperti ini? Tawuran ya?" tanya perawat laki-laki bernama Agus.

"No! Fiki nggak pernah ikut tawuran!" bela Fiki tegas.

"Oh. Lalu kenapa wajahmu, apalagi pipi seperti pempek luka begini?" tanya Agus sekali lagi. Ia masih fokus memberiskan dan mengobati memar di muka gemoy Fiki.

Fiki tak menjawab. Ia malah menundukkkan wajah. Agus langsung mengangkat wajah Fiki ke atas.

"Oke, kalau kamu tidak mau cerita. Intinya kamu jangan seperti ini lagi ya," ucap Agus tersenyum tipis.

"Ba-baik, Mas Agus," balas Fiki menggemaskan.

Gilang menunggu di luar IGD. Ya, Gilang lah yang mengantar Fiki ke sana. Ia tak menyangka bahwa Shandy akan memukuli Fiki, Adiknya sendiri dengan brutal.

Mungkin, rasa kekesalan dan kemarahan yang terpendam di hati Shandy sudah terlalu menumpuk. Akibat obat yang di konsumsi Shandy membuat Shandy semakin tak karuan.

"Hmm... sebentar lagi nasipnya akan segera berakhir," ucap Gilang menyeringai kecil.

Gilang meraih gawai miliknya mengetik nomor dengan cepat lalu menghubungi seseorang. Panggilan ya terhubung, Gilang langsung memberitahukan sebuah informasi penting kepada pihak yang ditelepon.

"Baik, Pak. Cepat datang ke alamat yang telah saya berikan. Mereka sudah sangat meresahkan sekali," ujar Gilang.

Tut!

Panggilan terputus dari Gilang. Seringai kecil berubah menjadi lebar.

"Shandy... nikmatilah sisa hidupmu di sana setelah ini hahaha...."

Gilang menatap layar gawai. Sebuah pesan dari aplikasi berwarna hijau muncul.

081xxxxxxxxx
"Tugas yang anda berikan sudah saya kerjakan. Saya menunggu kiriman uang itu secepatnya!"

Gilang membalas pesan itu singkat 'Oke'. Ia langsung mengirimkan beberapa nominal uang ke nomor rekening yang dituju.

"Wow... hari ini sangat baik sekali untukku. Kalian takkan pernah hidup tenang hahaha...," ucap Gilang tertawa kecil penuh kesenangan.

Gilang memilih tempat agak sepi. Jadi, ia tak perlu takut jika ketahuan orang-orang di sekitar IGD. Gilang pun memasukan gawai ke dalam seragam sekolah.

Langkah kaki Gilang menuju ke ruang IGD. Mungkin Fiki sudah selesai diobati. Gilang masih memiliki urusan penting setelag ini dan ia tak mau sampai telat.

"Fiki... mulai sekarang kamu bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang dari sang Kakak yang selalu memukulimu," gumam Gilang.

Gilang langsung masuk ke dalam ruang IGD. Ia melihat Fiki sudah selesai ditangani. Sisanya tinggal mengurus obat untuk pereda nyeri dan luka saja.

"Fik, gue ke apotek dulu ya," pamit Gilang.

"Iya, Bang Lang," jawab Fiki pelan.

Gilang menuju apotek untuk menembus obat. Ia tak sungkan bila mengeluarkan biaya besar pengobatan Fiki. Ia sungguh menganggap Fiki sebagai Adik kandung sendiri.

Daripada Fiki harus menjadi korban kekejaman Shandy. Lebih baik Gilang menggantikan sosok Abang yang bertanggung jawab serta memberikan kasih sayang bagi seorang Fiki gemoy.

_$_$_

Di salah satu perumahan kawasan Jakarta, dua buah mobil polisi sudah berada di depan gerbang rumah. Anggota polisi keluar dari mobil, lalu mulai membuka gerbang perlahan.

Pintu ruang utama terkunci. Polisi bertubuh tegap mendobrak paksa pintu hingga terbuka. Mereka masuk memeriksa setiap ruangan dan sudut rumah.

Di lantai 2, tepatnya kamar Joe. Alunan musik masih menggema kencang di ruangan kedap suara.

Joe dan Shandy tak bisa mendengar keributan di luar. Mereka masih tertidur lelap akibat pesta mabuk dan obat terlarang.

Petugas polisi mencoba membuka kamar Joe dan tak terkunci. Suara musik kencang membuat gendang telinga polisi itu sakit.

"Angkat tangan kalian!" perintah sang polisi setelah mematikan musik paksa.

Joe dan Shandy tak bergeming. Dua polisi lain masuk ke dalam kamar. Mereka mencium bau anggur merah.

"Periksa setiap tempat ini!"

"Baik, Pak!" jawab kedua anggota polisi tegas.

Joe dan Shandy dibangunkan dengan cara paksa. Pukulan keras di wajah keduanya akhirnya berhasil membuat netra Shandy terbuka.

"Apa sih?! Fiki jangan bangunin gue!" Shandy melantur.

"Bangun!" bentak Pak polisi tegas.

"Ada apa sih ribut-ribut? Gue masih ngantuk Shan," sahut Joe setengah sadar.

"Kalian berdua kami tangkap!"

Joe bangun seutuhnya. Ia mencoba melawan, tetapi efek minuman terlarang masih ada.

"Pak! Jangan tangkap saya!" Joe masih berusaha melawan.

Pegangan di tangan Joe membuat ia pasrah. Sepasang borgol sudah terpasang di kedua tangan ya.

Shandy juga telah sadar. Ia berjalan pelan menuju pintu. Niat untuk melarikan diri begitu menggebu-gebu.

"Pak! Tersangka berhasil kabur!" lapor anggota polisi bertubuh kurus.

"Cepat tangkap!" Perintahnya.

Shandy baru menuruni anak tangga dengan buru-buru. Anggota polisi masih mengejar Shandy hingga ia menargetkan ya dengan tembakan.

Dorr!!

Peluru timah menembus kaki kanan Shandy. Shandy yang berada di tengah anak tangga. Dan tubuh kurus Shandy mau tak mau terjatuh sampai anak tangga terakhir.

Luka-luka memar di beberapa bagian tangan, kaki dan wajah terlihat. Kepala Shandy mengeluarkan darah segar.

"Pa... Ma... Shandy kangen pelukan hangat Papa dan Mama," ucap Shandy lemas.

Perlahan kelopak mata Shandy tertutup. Pandangan mata mulai menggelap.

Anggota polisi langsung menuruni anak tangga menuju ke lantai 1. Ia memeriksa nadi di leher serta tangan Shandy.

"Nadinya sudah tak terasa," ujarnya.

Shandy menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Joe telah ditangkap. Barang bukti berupa botol bekas anggur merah, sekantong ganja serta sabu-sabu berhasil diamankan. Namun, satu pelaku nyawanya tak terselamatkan yaitu Shandy.

Di rumah Gilang...

Fiki berusaha meraih segelas air putih di atas meja nakas. Jari-jarinya malah tak sengaja menyenggol gelas itu hingga terjatuh lalu pecah di lantai.

Prakk!!!

"Perasaan gue kok nggak enak ya. Semoga Bang Shandy baik-baik saja," ucap Fiki. Ia menghembuskan napas pelan.

___BERSAMBUNG___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro