1. Langkah Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hallo, Deers ...

Ini karya keduaku nih di wp tahumn 2019 lalu. Setelah baca ulang, hikz ... aku malu banget karena nggak rapi blas. Jadi, aku revisi pelan2 ya. Buat kalian yang baru baca, ikutin terus cerita ini dan jangan lupa tebarkan jejak cinta kalian!

♥️♥️♥️♥️

Lao Tzu pernah berkata bahwa "Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama". Begitu pula dengan Cinde. Hari ini adalah langkah pertamanya membuka lembaran baru kariernya di kota kelahirannya.

Solo.

Tak terasa sudah setahun Cinde memutuskan resign dari perusahaan lamanya di Jogjakarta. Selama dua belas purnama ini, ia benar-benar rehat tanpa boleh melakukan apapun. Setelah berhasil meyakinkan Papa Mama, baru sekarang ia diperbolehkan bekerja lagi.

Begitu mendapat lampu hijau dari kedua orang tuanya, dua bulan lalu  Cinde mencoba peruntungan melamar di perusahaan kuliner yang membawahi gerai kopi lokal yang sudah mempunyai 50 gerai di seluruh Indonesia. Sesudah mengikuti beberapa tahapan tes, minggu lalu dia mendapat kabar bahwa dia diterima dan diperbolehkan bekerja per tanggal 1 Maret.

Jadi, selama seminggu ini Cinde begitu bersemangat. Antara cemas dan juga senang karena pada akhirnya dia bisa beraktivitas normal kembali. Selama tujuh hari dia menanti hari berganti, dan pagi yang ditunggu Cinde akhirnya datang juga.

Bagi Cinde, hari pertama bekerja selalu merupakan hari yang menegangkan. Terlebih sudah dua belas bulan dia berkutat di rumah, tanpa memperoleh gaji dan hanya berinteraksi dengan segelintir orang. Mulai hari ini, Cinde akan menapaki tempat baru, dengan teman baru, dan suasana kerja yang baru.

Walau sebenarnya  pihak direksi perusahaan lama menyayangkan keputusannya mengundurkan diri, tapi Cinde tetap kukuh pada pendiriannya. Dia ingin pulang. Dia ingin berada dekat dengan Mama dan Papa. Di kota Solo tercinta.

"Cinde berangkat ya, Ma." Cinde mencium punggung tangan Mama Laras yang gemuk. Setelan rok pencil hitam dan blus cokelat muda, ia padukan dengan sepatu wedges sewarna dengan roknya.

"Dik, diantar Papa aja, ya?" Mama terlihat khawatir. Genggamannya begitu kuat seolah enggan melepas Cinde.

Cinde berdecak. Mama selalu cemas berlebihan. Gara-gara itu juga, Cinde baru diperbolehkan melamar pekerjaan baru dua bulan lalu. "Ih, Mama. Macem anak TK aja."

"Ya … Mama takut kamu kenapa-napa," ujar Mama tulus.

"Ntar, kalau ada apa-apa, Cinde bakal ngabarin." Cinde tersenyum lebar, sembari menepuk punggung tangan Mama yang selalu berhasil membuat olahan masakan yang membuat lidahnya bergoyang. 

Mama Laras hanya bisa mendesah panjang. Wanita berdaster batik itu mengantar Cinde ke luar rumah untuk membantu membuka gerbang.

Begitu roda motor matic merah menggelinding keluar dari carport, cahaya matahari cerah menyambut Cinde, seolah alam pun ikut mendukung hari pertamanya bekerja. Setelah melalui padatnya jalan raya kota Solo, Cinde memarkir motornya di bagian ujung deretan beberapa motor yang sudah berjajar rapi di depan ruko.

Tak ingin membuang waktu, ia segera  mematikan motor dan menyetandarkan motor, lalu melepas helm, tanpa turun dari jok motor. Dirapikannya sedikit rambut dengan bercermin di kaca spion, memastikan penampilannya prima di hari pertama bekerja.

Cinde melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
08.15. Masih ada waktu seperempat jam untuk menghadap Kepala HRD karena jam kerja dimulai pukul 08.30.

Dengan langkah pendek, Cinde bergegas masuk ke gedung ruko. Jantungnya seketika berdetak kencang ketika kakinya menapak ruangan lantai satu. Aroma kopi dari pengharum ruangan yang menyambut siapapun yang masuk ke gedung itu, memberi kesan bahwa perusahaan kuliner ini berkomitmen untuk meracik minuman berbahan kopi dengan kualitas terbaik. Ia berdiri sejenak di depan pintu, sambil melayangkan pandang ke segala arah. Sebuah backdrop dengan wallpaper cokelat tua dengan susunan huruf dengan nama perusahaan "PT d'Kopi Aroma Jaya" yang terbuat dari logam berwarna emas, menjadi pemandangan pertama yang tertangkap penglihatannya.

Setelah menyapa seorang resepsionis, dia tidak kesulitan menemukan ruangan HRD di lantai dua karena begitu Cinde sampai di undakan paling atas, dinding bagian kiri tertempel plakat informasi divisi yang ada di lantai itu. HRD, divisi pengembangan, dan divisi keuangan, menjadi divisi penguasa di lantai dua gedung ini. Begitu membelok ke arah kiri, matanya langsung membaca tulisan "Ruang HRD" pada sebuah papan kecil yang tergantung di atas pintu masuk.

Kaki Cinde mengayun cepat. Kedatangannya tidak mendistraksi siapapun karena orang-orang sudah terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Padahal menurut Cinde, hari masih pagi dan jam kerja pun belum dimulai.

Langkahnya kemudian terhenti saat berada di depan pintu kayu berwarna cokelat yang setengah tertutup. Cinde lalu mengetuk perlahan, untuk memberitahu kedatangannya.

"Masuk!" Terdengar suara perempuan dari dalam ruangan.

Cinde mendorong pintu perlahan. Jantungnya yang masih bergemuruh semakin berdebar saat dia memasuki ruangan asing.

"Pagi, Bu. Maaf mengganggu. Saya Cinde, pegawai baru," sapa Cinde.

Perempuan yang pernah mewawancarai Cinde itu mendongakkan kepala, memandang Cinde dari balik kacamata yang melorot ke ujung hidung.

"Mari, silakan duduk dulu, Mbak." Wanita itu mempersilakan dengan isyarat tangan agar Cinde duduk di kursi depan meja kerjanya.

Cinde memosisikan diri di kursi yang disediakan dengan sedikit canggung. Tatapan Cinde sempat menyebar ke semua penjuru sebelum dia menyerahkan berkas ke hadapan Bu Clara.

Wanita berpenampilan kuno itu—dengan cepol di atas dan kemeja yang dikancing hingga bagian paling atas—menerima surat yang masih beramplop. Setelah membukanya, ia kemudian membaca kata demi kata melalui kacamata yang bertengger di atas hidungnya. "Selamat datang di perusahaan kami. Perusahaan ini milik Pak Brave yang juga menjabat sebagai Chief Executive Officer. Saya akan memperkenalkan Mbak Cinde ke Pak Bos sebelum saya perkenalkan ke bagian lain."

Cinde tersenyum, kemudian menjawab, "Terima kasih sudah menerima saya bergabung, Bu."

"Jelas kami senang menerima, Mbak. Dari semua pelamar, Mbak Cinde yang memenuhi kualifikasi karyawan kami. Ya, semoga Mbak bisa memberi yang terbaik untuk kemajuan kantor ini." Bu Clara berdiri, merapikan roknya yang sedikit naik kemudian membetulkan letak kacamatanya.

Cinde pun ikut berdiri, mempersilakan Bu Clara melangkah lebih dulu. Mereka lalu keluar dari ruangan menuju ke lantai tiga untuk menemui CEO perusahaan kuliner yang mewaralaba d' Kopi, sebuah kafe yang menjual kopi, teh, dan minuman berkualitas tinggi lainnya.

Mereka berhenti di depan pintu kayu jati berpelitur yang tertutup. Namun, dari luar, Cinde bisa mendengar keributan yang tidak jelas. Cinde dan Bu Clara bersirobok pandang.

"Pak Brave orangnya tegas. Beliau tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun," komentar Bu Clara.

Cinde mengerucutkan bibir. Manggut-manggut. Otaknya seketika protes dengan penjelasan Bu Clara. Mana ada manusia yang tidak melakukan kesalahan. Lagipula apa bos galak itu juga begitu sempurna sehingga tidak bisa menerima sebuah kesalahan?

Namun, Cinde hanya membalas dengan senyuman. Dia orang baru di situ, sehingga tidak ingin banyak bicara lebih dahulu.

Lima menit kemudian, seorang pemuda keluar dengan wajah yang amburadul dari dalam ruangan. Dia mengerling ke arah Cinde sejenak. "Tiati! Masuk sini macem masuk kandang singa!" bisik lelaki itu.

Cinde mengerutkan alis. Kuduknya bergidik. Semenakutkan apa CEO mereka? Namun, sekali lagi Cinde hanya mengulas tarikan bibir dan membungkuk sedikit untuk membalas 'sapaan'.

"Ayo, masuk. Beliau tidak suka menunggu."

Alis Cinde yang tebal semakin mengernyit karena merasa terlalu banyak sekali pantangan orang tertinggi di kantor ini. Dengan menggigit sudut bibirnya, ia mengikuti Bu Clara. Walau kepalanya sedikit menunduk, tapi mata Cinde masih bisa memandang sekeliling ruangan itu.

Dalam hati dia berdecak takjub melihat betapa rapi dan bersihnya setiap sudut ruangan. Cinde menduga, bosnya ini pasti banyak maunya.

"Pagi, Pak. Ini ada karyawan baru dari pencarian SDM kemarin," sapa Bu Clara kepada seorang laki-laki yang hanya terlihat punggungnya di balik meja kerja yang terbuat dari kayu jati.

Cinde melihat papan nama berukir yang tertoreh nama "Brave Ganendra, S.E., M.M." yang diletakkan di atas meja berlapis kaca. Sepertinya bos mereka adalah seseorang yang suka memperhatikan detail yang sederhana. Terbukti dari pemilihan bahan papan nama itu serasi dengan meja yang sekarang bertumpuk rapi dokumen.

Lelaki itu kemudian menegakkan tubuh dan meletakkan kertas yang telah dia ambil dari lantai. Pandangannya tertuju pada Cinde yang berdiri canggung.

"Karyawan baru?" Brave mengernyitkan alisnya.

"Iya, Pak. Namanya Cinde. Kemarin Bapak tidak sempat mewawancarai karena sedang menghadiri grand opening gerai kafe kita di Makassar," kata Bu Clara. Bu Clara sedikit bergeser memberi ruang agar Cinde bisa memperkenalkan diri.

"Cindelaras atau Cinderella?" Brave tersenyum miring masih menatap gadis mungil yang kini terlihat jelas di depannya.

"Cinde Anindyaswari, Pak." Cinde mendongak dan seketika terkesiap saat pandangan mereka bertemu. Ia tak menyangka CEO PT d'Kopi Aroma Jaya, masih terbilang muda.

"Selamat datang di PT d'Kopi Aroma Jaya." Brave tersenyum sambil mendorong kacamata yang melorot ke pangkal hidung mancungnya.

"Terima kasih, Pak." Cinde sedikit membungkuk dengan dada bergemuruh. Tatapan laki-laki itu sangat tajam seolah ingin mengulitinya.

"Oh,ya. Kebetulan staf marketing kami resign setelah melahirkan. Tapi, untuk sementara kamu nanti akan membantu saya sebagai sekretaris selama Tiara cuti. Mengerti?"

"Sekretaris, Pak?"

"Iya. Kenapa? Agar lebih tahu detail pekerjaannya kamu bisa menghubungi Tiara, untuk mengetahui apa saja yang harus kamu lakukan."

"Baik, Pak.

Cinde akhirnya keluar bersama Bu Clara. Kepalanya meneleng dengan alis mengernyit. "Bu, saya nggak ada background jadi sekretaris nih. Gimana dong?" tanya Cinde khawatir saat Bu Clara menunjukkan meja yang berada tepat di depan ruang CEO.

"Nggak papa. Kamu sementara menggantikan Tiara di sini untuk mengurus jadwal, surat masuk, surat keluar, dan membuat surat tugas setelah disposisi. Kalau Tiara sudah masuk, baru kamu bisa ke bagian marketing," jelas Bu Clara.

Cinde kembali menggigit bibir. Bola mata cokelatnya bergulir ke kiri, ke arah ruangan berdinding kaca yang tertutup horizontal blind.

"Taruh dulu tasnya. Kita akan dulu berkeliling untuk perkenalan," tambah Bu Clara.

Cinde hanya bisa mendesah. Dia tidak menyangka langkah pertamanya terarah pada jalan yang berbeda dari yang direncanakan. Apakah dia bisa menghandel bos perfectionis itu? Sungguh, semoga tensi Cinde tidak naik karena harus berurusan dengan pemimpin galak.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro