11. Seseorang Dari Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cinde?" Nara menyipitkan matanya. Jarinya mengusap kasar mata seolah ia ingin meyakinkan penglihatannya.

Cinde hanya membeku di tempatnya. Matanya membeliak, menatap tajam Nara.  Lidahnya terlalu kaku untuk sekedar membalas sapaan Nara. Ia memang tidak tahu siapa rekanan yang akan didatangi karena di agenda tidak tercantum.

"Kalian saling kenal?" tanya Brave.

Cinde terkesiap. Melihat Nara akan membuka mulut, buru-buru ia menyahut, "Ah, iya. Mas Nara teman saya. Dulu saya kerja di Yogya, Pak."

"Wah, kebetulan sekali!" Tarikan bibir Brave semakin lebar.

Embusan napas lega terdengar lirih karena Brave tak menangkap ekspresi aneh Nara. Bila tidak, pasti Cinde tak akan nyaman bila Brave tahu Nara adalah mantan pacarnya.

Walau Cinde berusaha bersikap biasa, tetap saja ia gelisah duduk di sofa ruang kerja pemilik kafe, tepat di depan Nara. Sudah dua belas bulan berganti, ia putus kontak dengan Nara. Sejak Nara tiba-tiba menghilang tanpa berita dan berakhir ia mendapati Nara sedang berdua dengan gadis yang tak dikenal Cinde dalam kondisi baju terbuka di kamar rumah kontrakan, Cinde memutuskan hubungan mereka dan memblokir nomor Nara.

"Saya sudah pelajari proposalnya, dan saya tertarik dengan konsep 'beli sekali untuk kembali'. 'Kembali' di sini maksudnya adalah suasana homy yang Mas Nara tawarkan?" Brave memulai diskusinya.

"Ya. Begitulah. 'Kembali'. Saya berharap siapapun yang menikmati kopi seduhan kami akan datang kembali. Seperti makanan minuman racikan Ibu yang dirindukan." Nara melirik ke arah Cinde.

Brave mengangguk-angguk dengan pandangan yang sesekali mengedar ke ruangan ber-wallpaper kayu. Interiornya didominasi warna cokelat dengan meja kayu jati berada di tengah menghadap pintu. "Kok bisa mencetuskan konsep itu?"

Nara menarik bibirnya. Tatapannya masih tertuju pada Cinde. "Saya … menunggu seseorang untuk kembali."

Rahang Cinde mengerat. Nara seolah berbicara dengannya. Ia lalu melengos, menghindari sorot mata berbulu lentik dan tak lagi bisa fokus pada diskusi sang bos dan calon rekanannya.

Menjelang makan siang, Brave menjeda pembicaraan mereka. "Mas, boleh pinjam ruangannya? Sekretaris saya harus—"

"Pak, nggak pa-pa. Lanjut saja!" Cinde langsung memotong ucapan Brave.

"Tapi—"

"Nggak pa-pa, Pak. Sepertinya diskusinya masih panjang." Cinde benar-benar tak ingin kondisinya sekarang diketahui Nara. Masih basah di ingatan Cinde bagaimana Nara muntah di depannya saat Cinde cuci darah dan setelah itu menghilang tanpa kabar. Ya, Nara jijik dengannya! Nara enggan bersama dengan gadis penyakitan seperti Cinde!

Brave menelengkan kepala. Walau ia awalnya ragu, tapi akhirnya pria itu meneruskan perbincangannya hingga seorang karyawan masuk dan memberitahu bahwa mereka telah menghidangkan makan siang.

Menu yang disajikan kafe "Janji Hati" sangat beragam. Ada nasi goreng, udang asam manis, daging lada hitam, sop ayam, kerupuk, dan acar. Walau semua makanan yang ditata di atas meja adalah kesukaan Cinde, tapi ia tak tertarik dengan makanan itu.

"Makanmu sedikit, Mbak? Ini … udangnya enak loh. Kesukaanmu kan?" Brave menyendokkan udang dan meletakkan di atas piring Cinde.

Cinde terkesiap. Ia bisa menangkap mimik muka Nara yang sama terkejutnya dengannya. "Pak, saya bisa ambil sendiri."

"Harusnya bilang, 'Makasih, Pak'." Brave mengoreksi.

Cinde mendengkus pelan. Ia menunduk menatap tiga ekor udang yang ada di pinggir piring. Kenapa Brave tiba-tiba bersikap baik? Di depan Nara pula!

"Wah, Mas Brave perhatian banget sama Mbak Cinde." Nada Nara terdengar sinis di pendengaran Cinde. Rasanya Cinde ingin meraih gelas kristal di depannya dan menyemburkan air putih ke muka Nara.

Brave mengunyah dan menelan makanan yang sudah terlanjur masuk mulut terlebih dahulu sebelum menjawab Nara. "Seseorang bilang sama saya, kalau pemimpin yang baik jangan membuat takut bawahan dan merangkul bawahan agar mereka bekerja tanpa tekanan."

"Karyawan d'Kopi beruntung punya bos seperti Mas Brave."

Brave hanya tersenyum. Ia melanjutkan menyuapkan sesendok nasi goreng dengan potongan daging. Sesudah itu, obrolan basa-basi seputar kegiatan Nara dan Brave yang menjadi topik makan siang kali itu.

Setelah isi piring Brave habis, pria itu meminta izin untuk ke belakang, meninggalkan Cinde dan Nara di meja makan. Cinde sebenarnya ingin menahan Brave. Namun, ia akhirnya tetap berusaha bersikap sewajarnya seolah tak mengenal Nara.

"Gimana kondisimu?" Nara membuka percakapan.

Kunyahan Cinde terhenti. Kepalanya terangkat menatap Nara yang setahun ini membuat hatinya patah berkeping-keping. "Baik. Seperti yang Mas lihat."

"Kamu blokir nomerku," kata Nara tak memberi jeda hening.

"Kita sudah putus. Buat apa nyimpen nomer Mas."

Dengkusan kasar berembus dari hidung mancung Nara. Ia mengambil gelas dan meneguk isinya hingga tandas. "Kamu … kenapa tiba-tiba minta putus?"

Cinde meletakkan sendok dan garpunya. Walau isinya masih tersisa, nafsu makan Cinde sudah menguap seiring lontaran pertanyaan Nara. "Buat apa bertanya? Mestinya Mas tahu jawabannya!' ucap Cinde tenang.

"Cin, aku …."

"Mas, di belakang tanahnya masih luas ya? Beruntung banget dapat lokasi di sini." Brave menyeruak masuk, memangkas ketegangan antara Cinde dan Nara.

Nara gelagapan. "Ah, iya. Masih luas …."

"Loh, Mbak … kok nggak dihabisin?" Brave duduk kembali di sebelah Cinde.

"Iya, Pak. Masih kenyang aja rasanya. Tadi udah makan kudapan bakpia sama lumpia."

"Biasanya lambungmu melar, Cin," timpal Nara.

Cinde yakin Nara sengaja ingin menunjukkan kedekatannya di depan Brave. Namun, lagi-lagi Cinde berusaha menetralisir perasaannya. "Nggak lagi! Sok tahu!" Cinde memberikan cengiran.

Brave menatap bergantian laki-laki berwajah Arab itu dengan gadis mungil yang bermuka sangat Indonesia. "Kalian juga pasti cukup dekat ya?"

"Nggak juga, Pak. Mas Nara itu kakaknya teman kos saya. Sok akrab aja dia." Cinde tidak berbohong. Di awal pertemuan mereka, Nara selalu berusaha mencuri perhatian Cinde. Awalnya Cinde tidak menggubris karena mengira Nara berbeda keyakinan dengannya, mengingat wajahnya patut menjadi pangeran Arab. Namun, setelah tahu mereka seiman, Cinde pun pelan-pelan membuka hati.

Pada pukul 13.30, pertemuan dengan pemilik kafe kopi "Janji Hati" berakhir. Brave dan Cinde pun berpamitan untuk kembali ke Solo.

"Saya akan bicarakan hasil pertemuan ini dengan direksi. Kalau memang mereka setuju, kami akan segera menghubungi dan memberikan kontraknya," ujar Brave saat mereka berjalan menuju ke parkiran.

"Saya tunggu kabar baiknya." Nara kembali menjabat tangan Brave dan kemudian Cinde. "Sehat ya, Cin."

Tarikan bibir tanggung tergurat di wajah Cinde. Ia hanya memberi anggukan saja dan bergegas masuk ke dalam kabin mobil. Sungguh, kali ini ia berharap agar Brave membatalkan kerjasama dengan Nara. Gadis itu benar-benar tak ingin terlibat dengan mantan yang sudah memporak-porandakan batinnya di saat ia terpuruk.

***

Reuni dadakan Cinde dengan Nara setelah setahun tak bertemu, benar-benar berhasil membuat moodnya kacau. Hatinya mendung, seperti langit yang digelantungi awan hitam siang itu. Suasana gerah pertanda akan hujan, menambah kegerahan hati Cinde.

Bagi Cinde, Nara selalu berhasil membuat dirinya tak berdaya. Pria tinggi berahang tegas dengan cambang tipis itu berhasil membuat Cinde takluk dalam pesonanya. Selama delapan belas tahun, Cinde tidak pernah pacaran. Bukan karena ia tidak menyukai lawan jenis, melainkan cintanya selalu bertepuk sebelah tangan atau kalaupun saling suka, pasti tidak satu server alias beda iman.

Bertemu Nara, membuat Cinde merasakan pacaran untuk pertama kalinya. Laki-laki yang berbeda empat tahun darinya itu terlihat sempurna di mata Cinde. Bagaimana tidak, kalau penampilan Nara mampu mengundang perhatian setiap kaum Hawa? Perawakan tinggi dengan hidung mancung membuat gadis manapun akan jatuh dalam pesonanya.

Siapa sangka tujuh tahun lalu, Nara menghampiri kosnya. Alih-alih mencari Nada—gadis paling cantik di kos yang juga adik Nara—laki-laki itu justru menemui Cinde. Kenangan yang berusaha ia pendam itu kembali berputar seperti film di kepala Cinde.

"Ada apa, Mas?" Cinde masih ingat, saat itu pukul 17.30. Semburat jingga kala itu memancar dari angkasa saat matahari hendak terbenam.

"Mau ketemu kamu." Nara duduk begitu saja di bangku teras.

Mau tak mau, Cinde ikut duduk di sebelahnya. "Lha iya, mau ketemu aku ada perlu apa?"

Nara menunduk. Jari panjang dan lentik lelaki berusia dua puluh dua tahun itu saling bertaut gelisah.

"Ada apa, Mas? Mas butuh duit? Nada lagi ada acara ke luar kota sama temen-temen kempo." Cinde berusaha menebak asal.

Nara berdecak. "Nggaklah! Aku cuma … ehm …." Nara membasahi bibir merah tipisnya dengan ujung lidah sehingga menimbulkan kesan glossy. Ucapannya menggantung cukup lama.

"Cuma apa?" tanya Cinde dengan kepala meneleng.

Nara menghela napas panjang, lalu berkata dalam satu tarikan napas. "Cin, aku suka kamu. Kita jadian yuk!"

Cinde mengernyit. Matanya menyipit, mengamati Nara. "Apa?"

Nara memutar bola mata. "Kamu budeg ta, Cin? A-ku su-ka ka-mu. Ki-ta ja-di-an yuk!" Nara kini melafalkan kalimatnya dengan pelan dan penuh penekanan di setiap suka kata.

Cinde mengerjap. Ekspresinya beloon alih-alih terlihat senang ditembak cowok ganteng. "Mas Nara … sehat?"

"Su! Ini cewek ditembak kok malah melongo kaya sapi ompong!" Suara Nara meninggi.

"Ditembak? Mas Nara suka sama aku?" Cinde menunjuk dirinya sendiri.

Kedua kepalan tangan Nara yang gemas terangkat di samping pipi chubby Cinde. Rahang Nara mengerat sambil berdesis gemas. "Kalau bukan kamu, lalu siapa? Aku ngomong sama tembok po?"

Cinde memberikan cengiran sambil menggaruk kepala yang tak gatal. "Beneran berarti, Mas suka aku dan pengin jadi pacarku?"

Nara berdecak. "Iya! Kamu! Aku pengin jadi pacarmu!'

Cinde terkikik. Ia menyibak rambut bobnya ke belakang telinga dengan gaya centil. "Mas Nara nge-prank ya?" Cinde mendorong tubuh kekar itu.

"Ya owoh! Paringono sabar! Baru kali ini nembak cewek dibilang nge-prank!" Nara mengelus dadanya dan menggeleng kepala heran.

"Habis, kok bisa loh cowok seganteng Mas Nara yang jadi rebutan cewek-cewek kampus, malah suka aku yang cebol kaya kurcaci." Cinde berusaha menalar dengan logikanya untuk melindungi hatinya dari kegeeran.

Nara menoleh. Wajah gusarnya terkikis seiring matahari yang menghilang di ufuk barat. "Aku suka kamu. Kamu imut. Rasanya aku pengin ngantongi kamu."

Cinde berdecak. "Emang aku mainan? Takutnya kalau bosen dibuang dong!"

"Nggak, Cin. Kamu bukan mainan. Ibarat kata kamu kek kristal mungil yang pengin aku jagain."

Nyatanya … ucapan Nara sore itu hanya isapan jempol. Enam tahun kemudian, di saat Cinde sedang berjuang kala dokter memvonisnya menderita gagal ginjal kronis, Nara … pergi begitu saja. Meninggalkan Cinde dengan hati yang remuk dan asa yang meredup.

"Cinde, kamu kenapa kok diam aja?"

Suara Brave memecah lamunan Cinde. Gadis itu menoleh dan mengangkat alisnya. "Ya?"

"Saya perhatikan dari tadi kamu ngelamun." Brave menoleh sejenak ke arah Cinde, kemudian kembali fokus mengendari mobil yang sedang membelah keramaian jalan Solo-Semarang. Langit saat itu semakin gelap dan motor-motor pun semakin kalap ingin segera sampai tujuan sebelum hujan.

"Ah, nggak." Cinde berusaha menyembunyikan gundah di balik senyumnya.

"Kalau capek, tidur aja. Saya mau mampir dulu."

"Ke mana?"

"Nanti kamu juga bakal tahu," jawab Brave sambil tersenyum sendu.

💕Dee_ane💕

Brave mampir ke mana yak?

Cinde galau  ketemu mantan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro