5. Ketahuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinde dan Brave update lagi. Aku rombak alurnya ya, Deers! Silakan kalau mau baca ulang.

***

"Silakan!" Brave mempersilakan Cinde untuk duduk dengan gerakan tangannya begitu gadis itu masuk.

Cinde melangkah canggung menghampiri meja sang bos. Apalagi Brave menatap gerak-geriknya sampai dia memposisikan diri di kursi di depan meja Brave.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Cinde membuka suara untuk memecah kekakuan.

"Ah, tentu. Ada telepon dari perusahaan Kintamani Ceramic, mengingatkan agenda besok untuk meeting agar bisa memutuskan berapa kontrak yang akan kita buat untuk pesanan cangkir," ujar Cinde. "Sedianya cangkir ini untuk penyajian menu baru kita."

"Saya juga sudah booking-kan tiket untuk Bapak. Pulang pergi."

"Ups, kita akan berangkat besok," ujar Brave.

"Kita?" Alis Cinde mengernyit.

"Iya. Kita. Kamu ... saya. Kita berangkat besok dengan penerbangan pagi," kata Brave sambil membuka ipad-nya. "Makanya segera booking satu tiket pesawat lagi."

"Saya wajib ikut?" tanya Cinde meyakinkan diri dengan telunjuk mengarah padanya.

"Kamu sekretaris saya dan kamu harus mengikuti kemana saya pergi. Mengerti?" Brave tersenyum lebar dengan kedua alis terangkat.

Sudah lama Cinde tidak mengikuti Business trip. Namun, melihat ketegasan Brave tadi siang dan kesempatan kedua yang diberikan padanya untuk bekerja di perusahaan itu beberapa waktu lalu, ia jelas tak ingin melewatkan kesempatan sehingga bisa mengecewakan pimpinannya. Maka, malam ini Cinde mengkomunikasikan kembali rencana perjalanan esok hari, walau tadi siang ia sudah memberitahu di grup keluarga.

"Kamu yakin mau berangkat ke Bali, Cinde?" tanya Papa keheranan saat Cinde mengemukakan alasan detailnya.

"Iya, Pa," jawab Cinde. "Pak Brave sudah mengultimatum kalau Cinde harus berangkat."

"Tapi, Mama khawatir kamu kelelahan, Sayang." Ekspresi cemas itu benar-benar tidak bisa disembunyikan dari wajah Mama.

"Tenang, Ma. Cinde bisa jaga diri," kata Cinde meyakinkan orangtuanya. "Cuma dua hari aja."

"Tapi, bosmu itu laki-laki kan?" tanya Mama. "Kalian nginep di hotel?"

Cinde mengernyit. Gerakan menggigit kerupuknya terhenti dan dia menurunkan kembali tangannya. "Iya. Kenapa?"

"Aduh, Mama khawatir kamu-"

"Mama ih! Mesti mikir aneh-aneh." Cinde berdecak. "Lagian ya, Ma ... ini tuh kerja. Bukan dolan apa gimana-gimana. Mama nggak usah khawatir berlebihan, deh."

Mama mengembuskan napas berat. "Mama takut aja kamu diapa-apain ...."

"Ya elah, Ma. Cinde emang mau diapain coba?" Cinde tergelak dengan imajinasi liar Mama. Alih-alih mencemaskan kesehatannya, Mama malah memikirkan hal aneh. "Kebanyakan nonton sinetron ini Mama!"

"Ish, drakor ya! Kesukaan Mama kan Hyunbin."

Kalau sudah begini, Mama akan mulai bercerita tentang drama Korea yang dilihatnya tadi siang. Salutnya, Papa masih bisa mendengarkan cerita Mama dengan sabar. Bahkan ikut bereaksi yang membuat Mama tambah semangat berceloteh.

Cinde tersenyum, sambil mengunyah makanannya. Seandainya dia menemukan laki-laki sebaik Papa, tentu Cinde akan sangat senang. Tapi, sepertinya itu hanya tinggal kenangan ....

***

Sesuai rencana, Cinde langsung diantar Papa ke bandara pada pukul 07.00. Sedianya pesawat menuju Denpasar akan berangkat pada pukul 09.00. Saat Cinde datang, Brave sudah duduk di sebuah kafe kopi. Lelaki Itu duduk menumpangkan kaki kanannya di oaha dan pandangannya fokus pada layar i-padnya.

Merasa terlambat, Cinde mempercepat langkahnya dengan mendorong travel bag besar yang ditumpangi satu kotak kardus. Walau sudah berusaha bergegas, tapi rok pensil, barang bawaannya, dan tas ranselnya seolah mempersulit gerak Cinde.

"Pagi, Pak." Cinde terengah kala dia akhirnya sampai di depan Brave.

Brave mendongak ketika Cinde menyapa, lalu melirik jam tangannya. 07.35.

"Terlambat lima menit." Brave membungkuk meraih gagang cangkir, lalu menyeruput kopi paginya.

"Maaf." Cinde kemudian duduk di kursi di depan Brave. Sebuah meja bundar menjadi pembatas keduanya.

"Perasaan kita ke Bali bukan wisata atau berlibur berminggu-minggu, kenapa bawaanmu kaya orang mau pindahan?" Brave menatap bawaan Cinde. Satu travel bag besar dan kardus.

Cinde hanya nyengir. Tak menjawab.

"Malah mringis! Ya udah, ayo, kita check in. Setelah itu serahkan berkas yang akan ditandatangani pihak Kintamani."

Cinde hanya mengangguk dan menurut mengikuti Brave yang hanya membawa satu travel bag kecil dan tas selempang kulit cokelat. Jelas saja Cinde kesusahan mengimbangi langkah panjang Brave hingga pada akhirnya Brave berhenti dan berbalik, menatap sekretarisnya.

Dia mengembuskan napas panjang. "Rempong banget sih?"

Cinde memang terlihat kerepotan. Dengan satu kardus yang beratnya kira-kira 12kg, serta koper besar, ditambah langkah kakinya yang tak lebar, memang membuat jalannya terhambat.

"Ish, lama banget!" Brave tak sabar dan menghampiri Cinde. "Apa sih ini?" Brave mengangkat kardus dengan tulisan Baxter bertali rafia. Wajahnya seketika memerah, dan urat lehernya menonjol saat merasakan berat yang tak disangkanya.

"Itu ...."

"Pantas aja kerdil macem kurcaci. Lha bawaannya berat kaya gini!" Brave mengembuskan napas lega setelah berhasil meletakkan kardus di atas koper ber-rodanya.

"Loh, Pak! Kardus ...." Cinde mengerjap karena Brave membawakan kardusnya .

"Udah! Ayo, buruan! Sambil nunggu, nanti saya mau ngecek dulu berkasnya."

Cinde melongo. Dia masih mencerna apa yang terjadi. Namun, senyuman tipis kemudian terbingkai di wajah kala menyadari bahwa bos berwajah jutek itu ternyata cukup peduli padanya.

Sambil menanti panggilan boarding di VIP lounge, Cinde kemudian mengeluarkan berkas yang diminta Brave. Lelaki itu lalu menerimanya dan membuka tiap lembaran berkas yang Cinde buat. Walau samar, dari jarak cukup dekat, Cinde masih bisa memindai kuluman senyum Brave.

"Bagus. Saya suka!"

Pujian itu mampu melambungkan Cinde ke angkasa, seiring pesawat yang juga mengudara dan akan membawa mereka ke pulau Dewata. Cinde merasa kerja kerasnya dihargai. Selama bekerja, baru kali ini dia mendapat apresiasi dari pimpinan. Tentu saja hal kecil itu terasa menyenangkan dan mampu membuat Cinde tak bisa berhenti mengerucutkan bibir untuk menahan senyum lebar.

Lima puluh menit kemudian, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Udara Ngurah Rai. Sebenarnya Brave tak perlu menunggu bagasi karena dia hanya membawa travel bag kecil yang bisa ditaruh di dalam kabin pesawat sedang Cinde terpaksa harus menitipkannya di bagasi. Tapi, entah kenapa Brave memilih menitipkan kopernya serta di bagasi.

Sebenarnya Cinde tidak mau terlalu geer. Namun, tetap saja Cinde berpikir kalau Brave seolah melakukannya dengan sengaja. Apakah memang aslinya pimpinan perusahaannya itu baik tapi pegawainya tidak bisa mengimbangi cara kerjanya yang cepat sehingga dianggap sebagai sebagai bos yang sewenang-wenang?

Entahlah ....

Cinde enggan menyimpulkan dan menepis pikiran yang tidak perlu. Dia harus sadar diri pada posisinya. Pada keadaannya ....

Setelah mengambil bagasi, mereka berdua keluar menuju tempat penjemputan dan langsung disambut kertas bertuliskan "Brave Ganendra. Welcome to Bali." Brave tersenyum lebar sambil melambaikan tangan lalu menghampiri orang itu.

"Pak Bra-ve?" tanya laki-laki berikat udeng dengan logat Bali yang khas.

Cinde seketika terkikik karena orang itu melafalkan nama Brave tidak dengan lafalan bahasa Inggris, namun dengan lafal harfiah. BRA-VE.

Brave melirik tajam ke arah Cinde sehingga gadis itu harus melipat bibir untuk menyembunyikan tawanya.

"Panggil Brave. BRAVE," kata Brave memperjelas.

"Ah ... Maaf, Pak. Maklum orang desa." Made lalu mengambil ambil dua travel bag tamu dan kardus itu.

Brave meringis. Senyumnya terlihat aneh. Pemandangan itu harus membuat Cinde sekuat tenaga menahan kekehannya meski dia masih ingin meledakkan tawa.

"Kamu sudah puas ngetawain saya?" bisik Brave saat mereka berjalan di belakang Made yang mereka menuju ke pick-up zone.

"Habis muka Bapak lucu."

Langkah Brave sontak terhenti. Matanya membeliak lebar. Dia menatap Cinde tak percaya. "Kamu ...."

"Ya, Pak?" tanya Cinde sambil menoleh. Karena perbedaan ketinggian mereka yang cukup mencolok maka Cinde harus mendongak.

Brave hanya mengembuskan napas kasar. Dia kembali menatap ke depan dan seketika Brave merangkul pundak Cinde untuk menghindarkan sekretarisnya dari tabrakan dengan troli yang dibawa calon penumpang dari arah berlawanan.

Tubuh Cinde seolah tertarik magnet. Dia menabrak dada kekar Brave yang mengenakan jas. Aroma parfum manis yang menguar terhidui dan berhasil membuat debaran jantungnnya meningkat.

"Lihat ke depan jalannya!"

"Ma-maaf." Cinde mendorong Brave. Mukanya merah padam karena malu atau justru karena takut suara detak jantungnya terdengar saking kerasnya. Dia pun menunduk tak berani menatap Brave.

Beruntung selama menanti di pick up zone, Brave mendapat telepon sehingga Cinde tidak perlu terjebak dalam situasi yang canggung. Begitu mobil jemputan datang, Cinde memosisikan diri di belakang, sementara Brave memilih berada di depan di samping Made.

"Kita belum bisa check-in karena masih pagi, berarti saya akan langsung antar Bapak ke kantor?" tanya Made memastikan agenda perjalanan.

"Ya, Pak. Memang rencananya seperti itu," jawab Brave.

Mengetahui persetujuan sang tamu, maka sopir pun segera melajukan mobil keluar dari bandara dan menyatukan diri dengan kepadatan jalanan kota Denpasar yang didominasi dengan banyaknya bus pariwisata.

Setengah jam kemudian, akhirnya mobil berhenti di halaman depan kantor perusahaan penghasil keramik. Mereka pun segera turun tetapi masih meninggalkan barang bawaannya di mobil. Kali ini Brave tidak langsung masuk, melainkan menunggu Cinde yang turun dari mobil.

"Ayo!"

Mendengar seruan Brave, Cinde bergegas meloncat dari kabin mobil sambil mencangklong tasnya.

Mereka dipersilakan masuk ke ruang kepala untuk menikmati kudapan sejenak sambil bercakap tentang agenda dua hari ke depan. Sementara itu Cinde mengikuti dengan menjadi pendengar yang baik dan mencatat kalau-kalau ada hal penting.

"Nanti jam dua belas, kita akan makan siang di luar lalu kita lanjutkan untuk meninjau pabrik. Bagaimana, Pak?"

"Jam dua belas?" Bibir Brave mengerucut. "Sebaiknya makan siang nanti jam 12.30. Sekretaris saya harus mengurus cairan CAPD-nya."

Cinde yang sedang menikmati kehangatan teh seketika terbatuk. Dia menatap Brave yang juga menatapnya.

"Ganti cairan tiap jam dua belas, kan, Mbak?"

💕Dee_ane💕

FYI

Hai, Deers, aku mau kasih tambahan pengetahuan nih buat kalian. Mungkin kalian agak asing denger istilah CAPD ini.

CAPD =continuous ambulatory peritonial dialysis

CAPD ini adalah terapi seumur hidup bagi penderita gagal ginjal kronik (amit2 deh..ketok lantai 3 kali). Teknik ini menggunakan selaput rongga perut sebagai alat penyaring darahnya.

CAPD adalah salah satu terapi para penderita gagal ginjal selain hemodialisa aka cuci darah.


Ups, kamu ketahuan, Cin!

Bosku kok tahu aku pake CAPD?- Cinde

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro