8. Celoteh Cinde

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinde dan Brave kali ini datang lagi. Moga kalian suka versi ini. Tetep dengan Brave yang cool, dan Cinde yang lempeng dan cuek. Jangan lupa komen dan votenya ya

💕💕💕

"Kamu diajak nonton kecak?" tanya Tiara di sambungan telepon saat Cinde menghubunginya untuk menanyakan di folder mana Tiara menyimpan bukti pembayaran yang ditanyakan rekanan.

"Iya. Kemarin. Baik juga ya, Pak Brave."

"Ah … kamu apain Pak Brave kok bisa luluh gitu?"

Cinde mengernyit. "Nggak diapa-ngapain."

"Beneran? Ngaku aja. Kamu kasih servis apa?"

Cinde tak bisa menangkap maksud Tiara. Namun, saat ia ingin bertanya, Brave memanggilnya.

"Mbak, sudah selesai cetak surat perjanjian kerja samanya?" tanya Brave dari ambang pintu ruang meeting.

"Sudah, Pak. Sebentar." Cinde menjauhkan sejenak gawainya lalu kembali menempelkan ke daun telinganya. "Eh, udahan ya. Aku dipanggil Pak Bos, nih."

"Cin, ntar biar aku ke kantor kalau kamu sibuk. Cuma ngirim email bukti transfer ke PT. Persada, kan?"

Mata Cinde berbinar cerah. "Beneran? Makasih ya, Mbak."

Setelah Brave menyetujui desain yang diajukan oleh pihak PT. Kintamani Ceramic, perjanjian kerja sama pun ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Karena pagi ini mereka sudah sekalian check out, maka Brave dan Cinde berpamitan dengan alasan ingin berjalan-jalan sambil menunggu pesawat yang dijadwalkan terbang pada pukul 19.00 WITA.

"Kita ke Jimbaran, Pak?" tanya Cinde dengan senyum lebar terukir di wajah, memastikan agenda mereka hari ini.

"Yup! Ikan bakar. Kesukaanmu, kan?"

Cinde mengangguk berulang seperti anak kecil yang diberi permen. Ia tak menyangka Brave tahu apa yang ia suka.  "Kok tahu, Pak?"

"Tahu lah." Brave berhenti melamgkah. Ia memutar badan, menghadap Cinde sementara jari-jarinya bergerak di depan wajah gadis itu seperti peramal nasib yang membaca bola kristal. "Kamu mudah ditebak. Tuh di dahimu ada tulisan : pencinta ikan bakar, pork haters."

Bola mata Cinde bergulir ke atas. Telapaknya mengusap kening seolah ingin menghapus tulisan seperti yang dikatakan Brave. Melihat tingkah Cinde, tawa Brave tersulut. Laki-laki itu tergelak puas karena bisa memperdaya gadis yang terlihat polos apa adanya.

Tapi Cinde tak mempermasalahkan. Ikan bakar lebih membuatnya tertarik daripada guyonan Si Bos yang kadang menganggapnya seperti anak kecil. Apalagi bila memakan hidangan lautnya benar-benar berada di tepi laut dengan hamparan pasir putih dan dimeriahkan deburan ombak. Ah, nikmat mana lagi yang bisa didustakan?

Untuk menu makan siang kali ini, Brave dan Cinde sepakat memesan ikan bakar, lobster, serta kepiting. Untuk sayur, Brave memilih plecing kangkung. Mereka pun lantas duduk di meja berpayung di bagian luar resto sehingga bisa menatap ke arah laut. Terik matahari yang menyengat, tak mampu menguapkan kebahagiaan Cinde karena bisa makan siang besar dengan menu kesukaannya di tempat yang romantis.

Romantis? Cinde menggeleng berulang. Ia harus menghapus segala macam kata aneh yang sering kali menyusupi otaknya. Makan siang kali ini adalah makan siang profesional karena sudah berhasil mendapatkan kerja sama yang menguntungkan. Tidak lebih!

"Makasih, ya, Pak. Bapak baik deh. Besok-besok kalau gini lagi, saya mau." Cinde tak sungkan menyedot ingusnya yang meleleh karena sambal mangga muda yang benar-benar pedas.

Brave berdecak. "Bisa bangkrut saya tiap trip kaya gini. Mungkin nanti saya bakal masukkan tagihannya ke potongan gaji—"

Kunyahan Cinde terhenti. Ia mengerjap berulang. "Ish, segitunya, Pak. Orang pelit seret rejekinya loh, Pak."

"Bukan pelit. Tapi semua harus dihitung."

Cinde mendengkus. Ia jadi teringat Candra, kakak kandungnya, yang sangatttt perhitungan seolah di otaknya tertancap kalkulator.

Mata Cinde menyipit, menatap Brave yang makan dengan tenang walau terlihat lahap. "Pak, Bapak kaya nggak percaya Tuhan saja. Tuhan itu punya jurus impossible math bagi orang yang beriman. Perhitungan Tuhan nggak kaya manusia. Mana ada lima roti dan dua ikan bisa ngasih makan lima ribu orang? Kalau diitung pakai akal manusia, jelas mustahil. Tapi kalau kita percaya, asal kita berusaha menyediakan lima roti dan dua ikan itu, Tuhan bakal menggandakan."

Brave melongo. Rahangnya tertarik ke bawah. Wajahnya perlahan memerah walau tidak terbakar teriknya matahari. "Kamu nggak tahu apa-apa! Jangan pernah bawa-bawa nama Tuhan di depanku! Kalau mau ceramah, di gereja sono. Bukan di sini!"

Cinde menyadari kesalahannya. Ia seketika menggigit bibirnya, menghindari tatapan tajam Brave. "Maaf, Pak. Saya nggak bermaksud …."

Brave lantas berdiri begitu saja, meninggalkan Cinde dengan piring-piring di meja yang untungnya sudah hampir tandas. Cinde pun akhirnya yang terpaksa menghabiskan sisa makanan di piring agar tidak mubazir.

"Kita ke mana lagi, Pak?" tanya Pak Made setelah mereka selesai makan.

"Kita ke pantai Kuta, ya? Habis sunset nanti kita baru ke bandara," jawab Brave singkat.

Cinde mengerucutkan bibir. Gerutuan dalam hati mulai silih berganti menyembul. Akhirnya ia paham bahwa memang Brave semenyebalkan seperti yang rekan kerjanya katakan. Ia merasa Brave seperti punya kepribadian yang tidak stabil. Awalnya baik, tiba-tiba marah begitu saja ketika mereka dalam mode bercanda santai, habis itu diam saja. Pantas saja Brave belum menikah di usia kepala tiga. Siapa gadis yang tahan dengan sikapnya yang moody?

Seharusnya pemandangan pantai Kuta ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tetapi aura gelap Brave seolah membuat langit cerah menjadi mendung, menjebak keriuhan sekitar sehingga Cinde terperangkap dalam kebisuan yang menyesakkan.

Mengetahui Brave duduk di bawah pohon, mau tak mau Cinde pun urung berjalan-jalan. Ia lalu duduk dengan kaki lurus karena rok pensil yang membatasi geraknya tak memungkinkan ia duduk bersila. Cinde hanya diam menatap indahnya langit biru dan menikmati suara gulungan ombak yang menjilat pantai, untuk menghapus kecanggungan.

Sampai akhirnya suara Brave kembali terdengar. "Cin, kamu memang suka ngomong tanpa mikir?"

Cinde menoleh, menatap wajah Brave yang tersorot sinar matahari yang sudah condong ke barat. "Ngomong tanpa mikir? Bagian mana?"

Brave mendengkus. "Bukannya biasanya cewek itu lebih peka ya?"

"Maksudnya, peka apa dulu, Pak?"

"Ya, kamu cenderung cuek. Ceplas-ceplos," jawab Brave.

Cinde kini meluruskan tatapannya ke arah bule yang sedang menari di atas papan seluncur di atas ombak. Dia mengembuskan napas panjang. "Bukan cuek sih, Pak. Tapi lebih nggak mau banyak mikir. Demi kesahatan jiwa dan raga saya. Hidup mati saya, di tangan saya. Mungkin yang orang bilang cuek itu adalah jalan ninja saya supaya semangat saya membara. Biar saya nggak gampang sedih. Bapak pernah dengar kan ungkapan 'hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang'. Jadi, saya nggak mau semangat saya luntur karena terlalu mikir ini itu. Saya pengin menggunakan waktu saya … selagi saya dikasih kekuatan buat berkarya."

Brave mengacak rambut pendek Cinde yang lembut dengan senyum sendu. "Cuma kamu, anak buahku selain Prita yang berani ngomong panjang lebar."

"Kenapa nggak berani, Pak? Bapak sebenarnya baik … walau gampang ngerajuk."

Brave melongo. "Ah?"

"Ups, maksudnya saya … ya … kadang susah diprediksi gitu kaya tadi. Habis ketawa, tiba-tiba diem. Kan yang diajak ngomong jadi nggak nyaman." Cinde berusaha memperbaiki kalimatnya. Dalam hati ia merutuk, kenapa sering salah bicara kalau di depan Brave.

Brave terkekeh pelan. "Jadi, intinya aku baik apa gimana?"

"Tiap orang punya dua sisi kehidupan seperti sisi mata uang koin. Kadang kita bisa baik, kadang bisa juga jahat. Pandangan orang relatif. Belum tentu A bilang jahat, tapi bisa jadi Si B merasa kita jahat. Jadi, tetap aja menjadi diri sendiri. Kita nggak bisa menyenangkan banyak orang. Mau kita jelasin sampai berbusa-busa tentang kondisi kita, kalau misal orang udah nggak suka sama kita, dia tetap nggak suka. Penjelasan justru akan membuat kita seolah seperti membela diri. Sebaliknya, kalau seseorang peduli sama kita, tanpa kita jelaskan, dia akan menghargai kita dan menerima kita apa adanya." Cinde kemudian menatap ke arah Brave. "Kaya Bapak yang nggak banyak bertanya dan masih mau ngasih saya kesempatan kedua. Jadi, bagi saya … Bapak baik. Walau kadang nyebelin." Cinde meringis.

Brave menatap Cinde lekat hingga membuat gadis itu salah tingkah. Cinde buru-buru memalingkan wajah, memandang langit yang perlahan meredup dan menampakkan semburat jingga yang mulai menggeser tabir biru angkasa. Dalam hati, Cinde menghitung sampai berapa detik Brave masih menatapnya.

Tidak! Ini sudah hitungan kedua puluh dan laki-laki itu masih memandanginya dengan intens. Bila seperti ini terus, sepertinya tidak akan baik untuk kesehatan jantung yang Cinde tebak sudah berdetak lebih dari 100 kali per menit.

"Pak, daripada ngelihatin saya, mending lihat pemandangan sunset deh. Dijamin nggak bakal ada di Solo. Kalau lihat muka saya, ntar Bapak bakalan enek dan kebawa jadi mimpi buruk deh."

Brave tergelak. "Iya. Enek banget! Ada ya muka kaya gini … item, kecil, hidup lagi."

"Ha … ha!" Cinde tertawa sarkas. "Kalau saya nggak ada, bisa-bisa Bapak kangen sama saya yang item dan kecil. Sayangnya udah nggak ada nyawanya!"

Tawa Brave terjeda. "Sori. Saya—"

"Ish, santai kali. Saya tahu Bapak cuma bercanda. Tapi beneran loh, Pak … sesuatu yang nampaknya biasa, pasti bakal berharga kalau udah kehilangan."

Decakan Brave terdengar keras. "Pede banget."

"Habis Bapak lihatnya kaya liat arca berharga ratusan juta sih." Cinde mencebik sambil kembali menatap mentari yang mulai turun di garis cakrawala.

"Saya bayangin yang jadi pacar kamu pasti mati kutu didebat kamu," ujar Brave kemudian.

"Sayangnya saya nggak punya pacar, Pak." Cinde tersenyum tipis. "Tapi ya, Pak … cewek Bapak juga pasti tahan banting ngadepin Bapak yang moody-an."

Seketika wajah Brave menegang. Lelaki itu menatap lurus ke arah pantai yang masih dipadati wisatawan domestik maupun mancanegara. Lelaki itu tak membalas gurauan Cinde yang membuat Cinde merasa bersalah.

Apakah candaannya kali ini lebih keterlaluan?

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro