Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Para pelayan di rumah besar itu saling berbisik dan bergumam saat tahu tuan mereka membawa seorang gadis ke rumah. Mereka hanya bisa menduga tentang identitas gadis itu tanpa pernah benar-benar mengerti. Terlebih baru kali ini tuan muda membawa seseorang ke rumah. Selama ini mereka tahu kalau Neil mempunya kekasih, tapi tidak pernah ada yang bertemu langsung. Rumah besar ini selalu sepi, hanya dihuni oleh Neil dan para pelayan saja.

Ada yang menerka kalau gadis itu adalah calon istri, Neil. Sebagian mengatakan hubungan mereka tidak lebih dari kerabat. Namun semua orang sepakat kalau Neil tidak pernah menunjukkan perhatian pada seseorang seperti sekarang. Siapapun identitas gadis itu pasti orang yang istimewa. Pelayan mengatakan kalau gadis yang berbaring di kamar atas itu sangat cantik. Berambut pirang dan bertubuh langsing. Wajahnya seperti boneka dengan mata besar dan bibir merah. Saat tersenyum, seolah ada matahari menyinari di wajah dan menambah kecantikannya. Mungkin bagi beberapa orang dianggap berlebihan tapi kenyataannya memang Niki sangat cantik, terutama di usia sekarang.

Di hari pertama Niki diselamatkan, langsung dibawa ke rumah sakit oleh Neil. Setelah dilakukan perawatan beberapa hari, Neil membawanya pulang. Tidak ada bantahan dan penolakan dari Niki, dengan tubuhnya yang penuh luka, ia bahkan tidak tahu harus kemana. Beruntung Neil menyelamatkannya, kalau tidak ia bisa mati di loteng yang sempit dan pengap itu.

Neil turun tangan langsung untuk merawat Niki. Dari mulai memantau pemberian obat sampai makanan. Memanggil terapis untuk melatih otot, dan juga dokter yang merawat jalan. Neil yang terkenal workaholic, bahkan rela pulang lebih awal dari kantor dan menunda semua pekerjaan di luar kota. Laras pun mengerti dan merampingkan jadwal bossnya seefesien mungkin.

Niki menjadi tidak enak hati, merasa bagai beban untuk Neil. Mengungkapkan kegundahannya dan justru ditertawakan oleh Neil.

"Mulai kapan kamu menjadi lembut begitu? Seperti bukan dirimu?" decak Neil bingung saat Niki mengatakan rasa sungkannya.

"Om, yakali, aku nggak ada terima kasih karena udah ditolong." Niki mengernyit, berusaha bangun dari ranjang. Ia merasa sangat bosan dan ingin beraktivitas, tapi punggungnya belum sepenuhnya terbebas dari rasa sakit. "Kalau bukan karena Om datang, mungkin aku jadi bangkai di kamar itu."

"Jangan bicara sembarangan!"

"Kenyataannya begitu." Niki menghela napas panjang dengan murung. "Mereka mengunciku, nggak ngasih makan, dan menendangku. Mereka pikir aku anjing galak yang suka menggigit. Rasanya sedih sekali kalau ingat malam-malam di loteng itu."

Tubuh Neil mengejang, mendengar cerita Niki. Ia berdiri diam di samping ranjang, menatap gadis yang bicara dengan nada muram dan melamun. Ada kelegaan yang tidak dapat disembunyikan terlihat dari senyum yang mengembang.

"Mereka merampas ponselmu?"

"Iya, bukan hanya ponsel tapi juga uang dan ATM. Untung saja mereka nggak tahu berapa PIN, kalau tahu sudah dikuras semua tabunganku. Mirah mencari buku tabungan di kamar, mengacak-acak, tapi nggak nemu. Untung buku tabungan aku taruh di bawah kasur. Sekarang mereka pasti udah nemuin."

"Kartu ATM?"

"Nggak ada di aku, Om. Masih di tangan mereka."

"Nggak masalah, pihak bank harusnya meminta identitasmu atau minimal surat kuasa."

"KTP pun ada di tangan mereka."

"Brengsek!"

Pasrah dengan keadaan Niki tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Mirah dan keluarganya. Meskipun Neil sudah mengatasi mereka semua, ia yakin kalau uang tabungannya sudah ludes. Padahal ia mengumpulkan susah payah dari kerja sebagai pelayan sampai model paruh waktu. Demi satu hal yang sangat ingin dilakukannya. Sekarang semua terasa sia-sia begitu saja, pengorbanan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Tersenyum pada Neil yang baru saja mengumpat, hati Niki diliputi kehangatan. Dunia tidak sepenuhnya kejam padanya. Ia masih punya Neil yang menyayangi sepenuh hati, rela berkorban untuknya. Ia berjanji dalam hati akan menjadi gadis yang baik untuk membalas kebaikan Neil. Meskipun ia tidak yakin bagaimana caranya.

Neil menghampir ranjang dan duduk di pinggirannya. Mengamati wajah Niki yang masih sedikit pucat. "Sebenarnya, aku merasa aneh denganmu. Bisa mencari uang sendiri, tapi memilih bersama mereka."

Mengedip dengan bibir berkedut menahan senyum pahit, Niki menjawab dengan pandangan melamun. "Kampus aku ada semacam pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Aku ingin sekali ikut, selain nilai, uang, diperlukan juga persetujuan orang tua atau wali. Aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, belajar biar nilai bagus, dan berharap Bibi mau mau tanda tangan. Makanya aku bertahan di rumah itu, jadi pembantu mereka. Karena aku pikir tahun depan bisa pergi, setelah itu nggak balik lagi. Ternyata rencanaku berantakan."

"Kamu masih mengira kalau bibimu akan ngasih kamu tanda-tangan?"

Niki mengangguk sedih. "Iya, naif memang."

Raut wajah Neil berubah, selintas rasa sedih, berikutnya ada titik kemarahan yang terlihat. Hidup memang sejatinya berat untuk orang yang tidak punya uang, apalagi koneksi. Niki berusaha menciptakan sendiri kesempatan untuk hidupnya, tapi dihancurkan dengan sia-sia oleh Mirah. Neil tidak tahu apakah Mirah itu perempuan berwujud iblis, atau justru sebealinya, Iblis sedang menyamar menjadi perempuan itu. Rasanya ia tidak bisa membedakan antara iblis dan Mirah.

Banyak macam kejahatan di dunia, melukai secara fisik atau mental, dan Mirah melakukan keduanya pada seorang gadis yatim piatu yang seharusnya dilindungi olehnya. Seonggok penyesalan bercokol di dada Neil, seandainya bisa ingin kembali ke masa lalu dan tidak akan pernah menyerahkan Niki pada mereka. Apapun yang terjadi ia akan menghasuh Niki sendiri, bila perlu akan menempuh jalur hukum untuk mendapatkan hak asuh. Sayangnya, saat itu ia tidak terlalu peduli dan menggap tidak akan mampu menjaga anak kecil. Sebuah penyesalan yang kini ingin ditebusnya.

"Jangan kuatir soal tanda tangan," ucap Neil lembut. "Kamu fokus dengan penyembuhanmu. Biar aku yang berusaha untuk membuatmu mendapatkan pertukaran mahasiswa itu."

"Om, bisakah?" tanya Niki penuh harap.

"Tentu saja, kita akan membuatmu lepas dari keluarga setan itu. Serahkan detilnya padaku, yang terpenting kamu sehat dulu."

Tidak ada bantahan dari Niki, meskipun merasa enggan dan malu, tapi harus menerima bantuan dari Neil. Ia yakin kalau laki-laki itu bisa diandalkan dan akan melakukan yang terbaik untuknya. Selama tinggal di rumah Neil, satu-satunya orang yang bisa mengunjunginya adalah Erica. Sahabatnya itu datang untuk menghiburnya agar tidak kesepian saat Neil kerja.

"Lo harus cepet sehat, kerjaan banyak nunggu."

"Memangnya nggak ada yang bisa gantiin gue?"

"Banyak, tapi gue maunya sama lo!"

"Why?"

Erica tergolek malas di ujung ranjang. Hari ini dia datang memakai jumpsuit merah dengan kaos tanpa lengan. Menunjukkan kulitnya yang eksotis dan tubuhnya yang sexy. Menghela napas panjang, menjentikkan kuku yang dikutek merah muda.

"Nggak tahu napa, kayak kurang cocok. Bisa jadi gue yang pemilih atau memang mereka yang ngeselin. Awalnya doang baik-baik, pas udah naik, job lancar, pada belagu. Malas sumpah."

Niki tersenyum kecil, Erica memang sangat blak-blakan dalam bersikap dan bicara. Tidak heran kalau banyak yang tidak menyukainya, terutama para cewek. Berbeda dengan para laki-laki yang justru memuja keindahan tubuhnya.

"Masa lo mau nunggu sembuh?"

"Mau gimana lagi? Ada, sih, kerjaan sendiri. Cuma duitnya nggak sebanyak kalau kita kerja barengan. Ngomong-ngomong, Om lo nggak ada rencana mau ketemu Jared?"

"Nggak tahu. Napa emang?"

"Gue bisa ikut."

"Idiih, dasar genit! Bilang aja naksir Jared."

"Jelaslah, siapa yang nggak mau punya laki kaya raya, dan gue nggak perlu kerja keras banting tulang!"

Kedatangan Erica adalah hiburan untuk Niki. Sahabatnya itu sangat pandai menghidupkan suasana, tidak heran kalau Erica menjadi favorit banyak orang untuk berteman. Selain itu, koneksi Erica pada orang-orang yang bisa memberi mereka pekerjaan juga cukup luas. Mendapatkan gelar Miss Perfect, sahabatnya memang perempuan sejati, baik dalam pekerjaan maupun pergaulan.

Sekian lama bersama sebagai sahabat, mereka jarang sekali bertengkar. Kalau pun sesekali berbeda pendapat dan berdebat, itu hanya menyangkut hal-hal ringan. Sejauh ini Niki tidak pernah menganggap Erica sebagai saingan, meskipun mereka sama-sama berkecimpung dalam modeling.

"Setelah sembuh nanti, apa rencana lo sama Nenek Lampir itu?"

"Bibi gue?"

"Yee, siapa lagi?"

"Nggak tahu, Om bilang jangan ikut campur. Gue suruh diam aja, dia yang beresin."

Erica duduk tegak dan menyeringai. Wajah cantiknya terlihat agak puas. "Bagus, gue suka gaya Om lo. Makin kejam dia, makin bagus buat Nenek Lampir itu. Gue pingin lihat, gimana kehidupan mereka setelah lo nggak ada. Satu keluarga pemalas semua. Heran, ya? Ada orang kayak gitu, nggak tahu malu, hidup lagi!"

Niki pun tidak habis pikir dengan cara Mirah beserta keluarganya menjalani hidup. Selama ini mereka mengandalkan bantuan dari Neil dan dirinya. Setelah ia tidak lagi ada di sana, entah bagaimana kelak kehidupan mereka. Dengan Beno yang menganggur, Mirah dan dua anaknya yang pemalas dan boros, bisa jadi makan aja akan sulit. Tapi, Niki tidak mau lagi peduli dengan mereka. Selama ada kesempatan untuk mandiri, ia akan menggunakan sebaik-baiknya. Untuk sekarang ini ia hanya perlu memulihkan diri, dan membiarkan Neil yang membantunya menyelesaikan masalah. Laki-laki itu juga mengatakan akan membantunya mengambil pakaian dan barang-barang yang lain.

Neil membuktikan janjinya pada Niki. Beberapa hari setelah kondisi Niki stabil, ia membawa Laras dan beberapa orang mendatangi rumah Mirah. Sebelum sampai di rumah itu, Laras sudah lebih dulu menghubungi ketua RT setempat untuk meminta ijin kalau ada sedikit keributan. Dilihat dari pengalaman saat membawa Niki keluar, besar kemungkinan akan terjadi pertentangan lagi.

Rumah itu masih sama dari terakhir kali mereka datang, bahkan mungkin lebih parah dengan tumpukan sampah di teras. Barang-barang berantakan hingga keluar dari pintu, dan Neil mengernyit saat bau busuk menyergap dari dalam. Suara teriakan menggelagar dari dapur hingga ke teras.

"Kalian malas sekali! Beres-beres aja nggak bisa!"

"Mamaaa, biasanya ini kerjaan Niki!"

"Iya, kita mana pernah gini. Bisa rusak tangan kita!"

"Mama, sih, ngasih Niki pergi!"

"Panggil, Niki balik, Maaa. Kami nggak mau kerja begini, capek!"

"Berisiik! Emang kalian aja yang capek? Aku juga capek!"

Neil mengepalkan tangan menahan geram, mendengar perkataan mereka soal Niki. Seeanaknya saja ingin Niki kembali hanya untuk membereskan rumah. Orang-orang di sini bukan hanya serakah, tapi juga bodoh dan pemalas.

"Kalian masuk, langsung naik ke atas. Bawa semua pakaian Niki yang ada di kamar itu!"

Memberi perintah pada dua laki-laki di belakangnya, yang langsung dipatuhi tanpa banyak kata. Dua laki-laki bersafari hitam membawa dua koper besar. Mengetuk pintu dengan keras.

"Siapa kalian? Mau apa kemari?" Terdengar pertanyaan Mirah.

"Mengambil pakaian Nona Niki."

"Hah, pakaian apa? Nggak ada pakaian lagi. Pergi kalian? Atau aku lapor polisi!"

Pecuma Mirah berteriak, dua laki-laki itu menerobos pintu tanpa permisi. Bergegas ke atas dengan suara Mirah terdengar mengikuti. Neil mengisap rokok, berdiri di halaman dan menunggu anak buahnya menyelesaikan pekerjaan. Ia tidak beranjak kala Lopika keluar dan tertegun di pintu saat melihatnya. Tak lama gadis itu berteriak seolah melihat hantu.

"Maaa, orang itu di sini, Maaa!"

"Siapa?"

"Itu, Maaa!"

Lopika menunjuk dengan tangan gemetar ke arah Neil. Mira muncul diikuti oleh Lalita. Ibu dan dua anak berdiri memucat saat melihat Neil.

"Mau apa kalian?" tanya Mirah dengan suara gemetar.

Neil tidak menjawab sampai dua anak buahnya turun dengan koper kosong. "Tuan, di atas tidak apa pakaian. Kamar berantakan dan hanya tersisa ini."

Sebuah buku tabungan diserahkan pada Neil. Mirah melotot dan berusaha untuk meraih buku itu. "Itu milikku, kembalikaan!"

Neil menggenggam buku tabungan, menatap Mirah sambil lalu dan bersikap seolah tidak mendengar teriakan perempuan itu. Ia memandang pada dua bawahanya yang membawa koper.

"Apa maksud kalian nggak ada barang-barang di atas?"

Salah seorang dari mereka menjawab. "Tuan, pakaian sudah tidak ada di lemari. Ada orang yang membawanya lebih dulu. Kami hanya mengepak buku-buku, serta benda yang dirasa perlu." Mereka membuka salah satu koper yang berisi buku-buku milik Niki dan Nei mengangguk.

"Bawa ke mobil!" Neil kali ini memandang Mirah tidak berkedip. "Di mana ponsel, ATM, dan KTP Niki."

Mirah berkacak pinggang, memberanikan diri melawan Neil. "Untuk apa aku memberikan padamu. Benda-benda itu milik gue!"

"Tukang rampok dan benalu nggak tahu diri!"

"Apaa? Kalian mau apa kalau gue benalu, hah!" Mirah berkata keras tidak tahu malu, menatap Neil sambil menyeringai. Menebalkan muka untuk mempertahankan benda berharga yang dianggap miliknya. "Gue yang dari kecil ngasuh dan ngerawat Niki. Sudah semestinya kalau barang-barang milik Niki, gue yang punya. Mau apa lo semua, hah? Nggak cukup ngacak-ngacak rumah? Mau ngerampas lagi?"

Lopika dan Lalita berdiri gemetar serta takut di balik pintu, menatap ibunya yang melawan Neil. Semenjak tidak ada lagi Niki di rumah ini, mereka merasa kesulitan. Baik uang maupun tenaga dan itu menjengkelkan.

"Kemana barang-barang Niki? Pakaiannya, kalian kemanakan?" tanya Neil dengan suara lembut tapi mengancam.

Entah keberanian dari mana, Lopika muncul dan menjawab keras. "Kita pakai tentu saja. Aku, sih, nggak muat tapi Lalita muat dan sebagian kita jual!"

"Lopika, diaam!" raung Mirah.

Terlanjur, wajah Neil terlihat berwarna ungu karena marah. Ia memang tidak berharap banyak kalau keluarga ini akan menurut dan memberikan apa yang dimintanya, tapi tidak menyangka kalau mereka memang sangat bodoh. Terutama si kembar yang hidupnya di bawah kendali sang ibu. Neil berpikir sesaat lalu mencoba berkompromi.

"Nggak masalah kalau pakaian kalian ambil, tapi dokumen pribadi Niki, serahkan padaku. Kalau tidak ...."

"Kalau tidak apa? Kalian mau ngapain, hah! Gue nggak takut lawan kalian semua! Dokumen itu sengaja gue simpan, kenapa? Biar bocah sialan itu kesusahan. Hahaha. siapa suruh jadi anak pembangkang! Memang sudah se—"

Mirah terbelalak, kata-kata terputus saat Neil memerintahkan anak buahnya untuk masuk dan menggeledah. Sekali lagi terjadi keributan di rumah itu, untuk kali ini Beno tidak ada untuk membantu. Mereka menangkap Mirah dan dua anaknya lalu memasukkannya ke kamar mandi dan mengunci dari luar, setelah itu melakukan pencarian. Memerlukan waktu hampir satu jam dengan telinga berdenging mendengarkan teriakan Mirah dan dua anaknya, akhirnya dokumen pribadi Niki ditemukan. Neil membebaskan mereka sebelum pergi bersama anak buahnya. Ia berujar dalam hati, kalau urusan dengan keluarga Mirah belum selesai. Mereka akan menanggung akibat dari perbuatannya secara perlahan dan menyakitkan.

**

Extra

Lopika dan Lalita merangkak dari kamar mandi dengan lemas. Orang-orang Neil membuat mereka ketakutan. Mirah terduduk di lantai rumahnya yang kotor dan berantakan, setelah tidak ada Niki, tidak ada pula orang yang membersihkan rumah mereka.

Lopika: Aku kencing di celana, padahal dikurung di kamar mandi.

Lalita: Orang-orang itu preman.

Mirah: Tanpa uang, tanpa Niki, gimana nashi kami kelak.

Tiba di rumah Neil memberi tahu Niki kalau pakaian tidak yang tersisa dan untunglah berhasil menemukan ATM serta KTP dan tabungan Niki utuh.

Niki: Terpaksa ambil uang tabungan buat beli baju.

Neil: Niki, kamu pikir aku nggak punya uang buat beliin kamu pakaian? (Dengan pongah mengeluarkan kartu kredit hitam untuk Niki)
.
.
.
.

Di Karyakarsa bab 35-36.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro