Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Niki hampir saja terjerembab, saat Lopika dan Lalita berlarian masuk. Ia sedang mengepel, lantai masih basah dan beruntung dua sepupunya tidak terpeleset. Kalau sampai itu terjadi, yang salah adalah dirinya. Keduanya berteriak-teriak seperti anak kecil, memanggil sang mama yang ada di lanti dua.

"Buruan turun, Maaa! Ada berita heboh!" teriak Lalita.

"Maaa, ayo, buruan!" Lopika menimpali.

Mirah turun dengan rambut awut-awutan, terlihat baru sajha bangun tidur. Merengut kesal pada dua anak gadisnya. "Kenapa kalian ricuh sekali. Nggak lihat mama lagi tidur."

"Mama tidur melulu, ini padalah seru!" Lopika mendorong sang mama ke arah sofa yag sudah lapuk, sekali lagi menyenggol Niki dan melotot sambil mendesis. "Minggir lo! Kagak lihat orang lagi ada perlu penting?"

Niki tidak menanggapi, membawa ember dan tongkat pel ke dapur, melanjutkan pekerjaannya dan tanpa sengaja mendengar percakapan ibu dan dua anak di ruang tamu.

"Aldo mau datang kemari, Ma." Suara Lalita terdengar antusias. "Sekarang udah ada di ujung gang!"

"Ngapaian ke sini?" tanya Mirah heran.

"Maa, lagi kunjungan sama orang tuanya. Aldo anak lurah, sudah semestinya kalau sang mama jalan-jalan, dia ikutan. Anak yang baik harus begitu."

"Terus? Kita mau ngapaian?"

"Ya, nggak tahu. Mama bantu kita mikir enaknya gimana nyambut mereka."

Niki memilih untuk menyingkir, tidak ingin terlibat dalam urusan mereka. Lagipula, ia tidak mengenal siapa Aldo. Dari beberapa bulan lalu, Lopika dan Lilita sudah meributkan laki-laki muda bernama Aldo. Ia hanya tahu kalau Aldo anak lurah, tapi belum pernah melihatnya. Sedikit heran saat mendapatkan undangan untuk ulang tahun pemuda itu. Lebih heran lagi saat Lopika dan Lalita menghadiri pesta, dan pulang mengamuk pada Niki. Menuduhnya menjadi penyebab kekacauan pesta. Padahal ia tidak tahu menahu soal itu.

Setelah tuduhan tidak berdasar selama beberapa hari, ditambah dengan oceh Mirah yang memekkan telinga, Niki memutuskan untuk menjauhi topik tentang Aldo. Lagi pula, ia sama sekali tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun untuk saat ini. Karirnya sebagai model dan juga kuliahnya, jauh lebih penting dari pada cinta-cintaan. Meski begitu talk urung ia merasa cemburu kalau ada orang berpacaran dengan mesra, contohnya Neil dan Almira. Begitu serasi dan terlihat sangat bahagia. Si laki-laki tampan, dan perempuannya cantik luar biasa. Sederajat karena datang dari keluarga berada. Keduanya adalah sepasang kekasih yang membuat iri banyak orang termasuk dirinya.

Niki teringat ajakan Neil untuk tinggal bersama. Tidak peduli meski sudah ditolak berkali-kali, Neil tetap memaksa. Berdalih sebagai keluarga, seorang om sudah seharusnya menjaga ponakan. Padahal Niki sama sekali tidak ingin dijaga. Dirinya lebih dari mampu menghidupi dan menjaga diri sendiri dengan sangat baik.

"Kalau sampai sekali lagi aku lihat kamu pulang pagi demi menjadi pramusaji pesta kostum, tanpa permisi aku akan menyeretmu pulang!"

Ancama Neil diucapkan beberapa hari lalu saat mengantarnya pulang. Niki takut tentu saja karena Neil bisa jadi sangat serius. Ia bukannya tidak suka tinggal di rumah besar itu, tapi ingin mandiri dan mencapai cita-citanya. Berada di dekat Neil, takut membuat dirinya manja.

"Eh, sini lo!"

Mirah menyentakkan lengan Niki yang sedang merapikan sapu. Niki bahkan tidak sempat berkelit saat Mirah mengoles sesuatu ke pipinya.

"Apaan, sih, Tante?"

"Awas lo, jangan dihapus!"

Niki menatap bayangannya di kaca lemari dapur dan kaget saat melihat pipi dan dahinya penuh noda hitam. "Kenapa ini?"

Mirah menunjuk wajah Niki dengan mata melotot. "Berani lo hapus, gue gamparin lo! Lihat aja!"

Semakin banyak bubuk hitam yang dioleskan ke wajah Niki, kini bahkan merembet sampai ke leher. Ia masih mencerna apa yang terjadi saat Mirah menyeretnya ke teras. Lopika dan Lalita berdiri diam dengan gaun baru warna ungu dan merah. Keduanya bahkan memakai bedak dan lipstik. Sedangkan Niki hanya memakai celana pendek selutut dengan kaos hitam yang kebesaran. Niki sibuk menghapus bubuk hitam yang menempel di rambut, saat kedua sepupunya memekik.

Ia mengangkat wajah, menatap serombongan orang yang berjalan dari ujung gang menuju teras rumah mereka. Berjalan paling depan, seorang perempuan pendek agak gemuk berseragam cokelat dengan rambut diblow. Di sampingnya ada pemuda berumur dua puluhan yang tidak terlalu tinggi. Wajah pemuda itu cukup tampan dengan ponsel canggih keluaran terbaru tergenggam di tangannya.

"Bu Luraaah, apa kabar. Marii, mampir!"

Perempuan yang disapa 'Bu Lurah' awalnya terlihat enggan untuk mampir. Melirik sekilas dan tersenyum kecil tapi pemuda di sampingnya bersemangat untuk mampir. Menggandengn tangan sang mama untuk memasuki halaman rumah yang sempit dan berdiri di teras berhadap-hadapan dengan Mirah dan dua anaknya.

Niki mundur dengan perlahan, setelah mengamati Aldo dari dekat. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum padanya sambil menyapa lirih.

"Hai, Niki!"

Bencana! Pikir Niki dengan ngeri saat Lopika dan Lalita yang bersemangat untuk mendapatkan perhatian Aldo tapi justru dirinya yang disapa. Dengan wajahnya yang cemong-cemong seharusnya Aldo tidak bicara dengannya.

"Kenapa wajahmu hitam-hitam?" tanya Aldo.

Niki tersenyum kecil. "Lagi nyapu."

"Wah, rajinnya Niki. Aku suka cewek yang rajin."

"Aldoo, kedua anakk sangat rajin kerja. Lihat, tangan mereka kapalan karena bekerja!" MIrah meraih tangan Lopika serta Lalita dan menunjukkan pada Aldo. "Kaki mereka juga kapalan karena bekerja keras."

Lopika dan Lalita mengangguk bersamaan, terburu-buru membuka sepatu untuk menunjukkan kaki mereka. Kedua hampir terjerembab kalau bukan karena Niki yang menyangga.

"Kami kerja keras."

"Kami banting tulang, tangan dan kaki kapalan!"

Sialnya, Aldo sama sekali tidak menunjukkan minat pada dua gadis itu dan terus menatap Niki yang mundur hingga mencapai pintu.

"Maa, Niki ini dapat beasiswa," ujar Aldo. "Tetap bayar katanya, nggak sepenuhnya. Bukannya sebagai warga kita harusnya kita bantu biar dapat beasiswa penuh?"

Bu Lurah mengangguk mendengar penuturan anaknya. Mengabaikan Lopika dan Lalita yang melompat-lompat di tempat mereka untuk menunjukkan telapak kaki, perempuan berseragam itu tersenyum ke arah Niki.

"Kalau kamu mau beasiswa, datang ke kantor kelurahan untuk mengisi formular."

Niki mengangguk. "Terima kasih, Bu."

Aldo bertepuk tangan. "Nikii, semangat. Kamu kerena. Aku nunggu kamu di kelurahan, ya!"

Iring-iringan lurah beranjak dari teras, Aldo maju dan kali ini berdiri beberapa jengkal dari Niki. "Kamu pasti bingung, kenapa aku bisa kenal kamu. Kita satu kampus dan aku selalu perhatiin kamu. Sayangnya, kamu nggak pernah tahu. Daah, Niki! Ngomong-ngomong, wajahmu tetap cantik meskipun cemong-cemong."

Aldo berlalu, meninggalkan teras. Sekali lagi Lopika dan Lalita yang merengek. Mereka kesal karena Aldo sama sekali tidak mengajak bicara. Niki yang tidak tahu menahu menerima akibatnya. Mirah mengamuk, tidak memberi Niki makan malam, dan memaksa untuk menyetrika semua pakaian. Lopika dan Lalita mendesiskan ancaman, akan melukai wajah Niki kalau banyak tingkah. Niki menghela napas panjang, memikirkan sekali lagi keputusannya untuk tetap tinggal di rumah terkutuk ini.

Ponselnya berdering saat sebuah pesan masuk. Niki membaca pesan yang tertera dengan bingung.

"Niki, i miss you."

Niki menganggap itu hanya pesan iseng dan mengabaikannya. Melanjutkan menyetrika pakaian yang semakin lama semain banyak. Seolah semua baju dikeluarkan dari dalam lemari.

**

Neil menghadapi jam-jam sibuk dengan bercangkir-cangkir kopi. Laporan, telepon, serta jadwal rapat yang sibuk. Ia bahkan tidak sempat makan siang karena memang tidak ada waktu untuk sekedar beristirahat. Satu-satunya hal yang mengalihkannya dari pekerjaan adalah pesan singkat dari Niki.

"Om, lagi apa?"

Pertanyaan yang kenak-kanakan tapi Neil memilih untuk menjawabnya.

"Kerja. Apa lagi?"

"Galak amat jawaban! Udah makan, Om?"

"Belum, kecuali kamu datang buat suapin aku."

Jawaban absurd tapi Neil memang sengaja ingin menggoda gadis itu. Lagi pula, bertukar pesan cukup membuatnya santai dan sedikit lepas dari kukungan pekerjaan. Ia mengabaikan perutnya yang perih dan mengguyur lambung dengan kopi alih-alih makan siang.

"Aku mau masakin buat Om, nasi goreng yang enaaak sekali. Bayar tapi."

"Ya sudah, berapa bayarannya. Sini buruan datang. Mumpung aku belum makan."

Tidak ada lagi jawaban dari Niki. Sebenarnya Neil iseng saja meminta gadis itu datang. Sudah dua Minggu ia sibuk dan belum ada waktu untuk menemui Niki. Di hari libur pun harus keluar kota. Neil kembali meringis karena perutnya seperti dicubit. Menghela napas panjang, ia bangkit perlahan. Mendadak tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Membuka laci, ia mengambil sati obat Pereda sakit maag dan menelannya. Berpikir untuk memesan makan siang tapi datang seseorang yang membuat niatnya terhambat. Waktu berlalu dengan cepat dan sudah nyaris sore saat sepupunya, Edwin datang dengan setumpuk berkas di tangan dan meletakkan di atas meja. "Kak, semua sudah selesai."

Neil mengernyit. "Kenapa pekerjaanmu dibawa kemari? Harusnya menjadi tanggung jawab kepala bagianmu."

Edwin berdiri gugup. "Itu, kata Mama, Kak Neil harus lihat kalau aku bisa kerja."

Neil menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala, menghadapi kebodohan sepupunya. Apakah Edwin tidak punya otak untuk dipakai secara mandiri atau hanya mendengar kata orang tuanya. Edwin sudah dewasa dan tapi tetap masih distir orang tua, bahkan soal pekerjaan. Mengernyit menahan perih Neil bangkit dari kursinya.

"Sampai kapan kamu bersikap bodoh begini."

Edwin mengerjap. "Bagaimana?"

"Aku tanya kamu, sampai kapan bersikap seperti ini? Kamu sudah tua, Edwin. Bagaimana bisa kamu mencapai jenjang yang lebih tinggi kalau masih seperti ini?"

"Apa aku sa-salah? Di mana salahku?"

"Masih nggak ngerti juga?"

Edwin merapikan letak kacamata dan menggeleng gugup. Wajahnya memucat dengan jemari gemetar. Mereka adalah sepupu, harusnya punya hubungan yang sangat dekat tapi cara orang tua mendidik Edwin membuat Neil tidak ingin terlalu akrab. Edwin baik, dan penurut tapi terlalu lemah sampai tidak punya pendapat sendiri. Seseorang seperti sepupunya akan mudah dikendalikan kalau bertemu orang yang salah.

"Edwin, kamu kerja untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang tuamu. Kenapa harus menuruti perintah mamamu yang justru nggak ada di sini."

"Tapi, Mama bilang, aku harus sering laporan."

"Ke kepala bagianmu, bukan aku."

"Tapi, ki-kita saudara. Sudah semestinya kalau aku bicara dengan kamu."

Rasa frustrasi melanda Neil karena Edwin. Ia tidak mengerti lagi harus bagaimana. Semakin banyak yang dikatakan, semakin bingung Edwin. Bisa-bisa sepupunya itu akan pingsan karena terlalu banyak ceramah.

"Sudahlah, bawa kembali berkas-berkasmu dan tunjukkan pada manajer atau kepala bagianmu."

Edwin mengangguk, meraih tumpukan berkas dan menatap Neil. "Kamu nggak apa-apa? Mukamu pucat."

Neil menggeleng. "Nggak apa-apa, cuma maag."

"Oh, jangan lupa makan."

Edwin belum beranjak saat Laras memberitahu lewat telepon kalau ada Niki datang. Laras bertanya apakah Niki bisa bertemu dengan Neil. Tanpa ragu-ragu Neil menyuruh Laras menjemput Niki yang masih berada di lobi.

"Niki? Apakah kakaknya Kak Lina?" tanya Edwin.

"Benar, kamu kenal juga. Kalian pernah berteman waktu kecil dulu."

Tidak bisa dikatakan berteman sebenarnya, Edwin merasa enggan dan takut dengan Niki. Itu semua karena sikap Niki yang cerewet dan membuat Edwin kehilangan sabar. Terlebih Yesy selalu mengatakan pada anak laki-lakinya untuk menjauh dari Niki dengan berbagai alasan. Salah satunya karena orang tua Niki dari keluarga miskin. Edwin menuruti larangan sang mama tentu saja.

Saat pintu terbuka, Niki muncul menenteng totebag dan tersenyum pada Neil, tak urung membaut Edwin terperangah.

"Om, aku datang bawa makanan!" Niki mengayunkan totebag di tangan. "Ayo, kita makan!"

Neil tersenyum, menahan rasa sakit yang kembali menyerang lambungnya. "Kebetulan, aku belum makan. Ngomong-ngomong, kamu masih ingat Edwin?"

Niki menatap pemuda berkacamata lekat-lekat dan mengernyit. "Edwin? Oh, sepupu Om Neil?"

"Benar, kalian pernah bertemu dulu."

"Memang, apa kabar Om Edwin?"

Edwin tercengang karena panggilan 'om' yang terdengar sangat asing. Meneguk ludah ia mengangguk dengan gugup. Niki berubah menjadi gadis cantik dan juga sexy, membuatnya sedikit kebingungan.

"Ha-halo, Niki."

Neil tidak sabar mendorong Edwin pergi. "Kita bicara lain kali. Aku harus makan."

"Aku juga mau makan," jawab Edwin.

"Nggak ada jatah. Nasinya hanya untuk dua orang!"

Neil menutup pintu dengan kesal. Tidak biasanya Edwin menginginkan sesuatu yang sama dengannya. Lagipula, mulai kapan sepupunya itu suka nasi goreng? Ia berbalik dan duduk di sofa. Di sana Niki sudah menunggu, membuka totebag dan mengeluarkan isinya.

"Padahal, nasi gorengnya cukup kalau untuk bertiga, Om."

"Ah, nggak usah kamu pikirin soal Edwin. Dia sudah makan siang."

"Iya, juga. Lagi pula ini udah sore. Om aja aneh, sore begini belum makan."

Laras membantu mengambil peralatan makan, Niki membantu Neil mengambil nasi goreng yang mulai mendingin. Ada irisan daging ayam, sosis, dan juga telur di dalam nasi. Neil menerima dan mulai menyuap perlahan. Mencecap rasanya.

"Enak, aku suka nasi goreng tanpa kecap."

Niki tersenyum. "Justru aku bikin karena tahu Om nggak suka kecap. Makan yang banyak Om, biar nggak maag."

Neil mencoba menikmati nasi goreng buatan Niki. Dengan jujur mengakui kalau rasanya memang enak. Sayangnya, perutnya tidak bisa dikompromi. Baru setengah makan, ia merebahkan diri di sofa karena perutnya melilit. Neil mengerang, keringat dingin mengucur deras. Niki meletakkan piring dan menghampiri Neil dengan panik.

"Om, kenapaa? Di mananya yang sakit?"

"Pe-perut."

Neil terengah, Niki berlari ke pintu dan memanggil Laras. "Kaaak, panggil ambulan.Kita bawa Om ke rumah sakit."

Tidak ada bantahan, Neil yang tidak berdaya membiarkan tubuhnya dibawa ke rumah sakit dengan ambulan. Niki dengan cemas berada di sampingnya. Meremas jemari Neil dan menghibur laki-laki itu dalam perjalanan menuju rumah sakit.

**

Edwin pulang dari kantor, bicara dengan menggebu-gebu pada sang mama soal Niki.

Edwin: Niki cantiiik sekali, Ma. Nggak nyangka kalau gadis kecil itu berubah jadi begitu cantik dan sexy.

Yesy: Anakku laki-laki pada umumnya, nggak heran kalau bilang Niki cantik. Tapi, aku jadi penasaran, seberapa cantik dia. Lagipula, kenapa bisa muncul setelah sekian lama? Apakah ada hubungannya dengan warisan? Nggak mungkin.

Lopika dan Lalita berdebat tentang tangan dan kaki siapa yang lebih kasar dan kapalan, membuat Mirah bingung, kenapa bisa melahirna dua anak perempuan yang tidak bisa berpikir jernih.

Lopika: Kakiku lebih kasar.

Lalita: Mukaku juga kasar.

Mirah: Diaaam!

Di kantor kelurahan, Aldo sibuk merayu sang mama soal Niki. Sedangkan Niki justru sedang menangis diam-diam di sudut UGD, melihat Neil terbaring di atas ranjang pasien.

.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 21-22.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro