1.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di atas kursi panjang dekat kolam renang Olin menatap lurus pada laki-laki yang tengah sibuk menyelam. Mata gadis itu bergerak teratur mengikuti kepala Maga yang muncul tenggelam ke dalam air. Dia tidak pernah melewatkan rutinitas yang sama setiap harinya hanya untuk jadi penonton setia.

Tidak pernah dia bosan menemani Maga berenang setiap hari. Walaupun hanya duduk-duduk di tepian kolam, kadang rebahan di atas kursi di sana hanya untuk menghabiskan waktu yang dia punya. Bagi Olin rutinitas itu salah satu hal wajib yang harus dia lakukan saat senggang. Bagaimanapun, waktu senggangnya lebih banyak ketimbang waktu sibuk. Maka dari itu, dia selalu senang berada di sana menjadi pengamat dan pendukung tanpa diminta.

Karena sahabatnya itu hobi sekali berenang, maka hari-hari Maga sering diisi dengan berenang di kolam belakang rumahnya usai kegiatan sekolah berakhir. Padahal di sekolah pun Maga telah banyak latihan dengan mengikuti ekskul renang. Berenang bukan sekadar hobi semata, Maga telah berniat dan menargetkan untuk latihan serajin mungkin supaya bisa terpilih dalam lomba bergengsi di tahun ini dalam mewakili sekolahnya. Olin masihlah mengingat setiap ucapan Maga kala itu.

Menjelang sore seperti ini adalah momen terbaik bagi Olin menemui Maga yang telah pulang sekolah. Dia sudah menunggu sejak siang setelah sesi homeschooling-nya selesai supaya bisa bertemu Maga. Banyak hal ingin Olin bagi pada sahabatnya tersebut.

"Nggak ada menarik. Hari ini sama aja, Ga. Ayah masih ngomel inilah, itulah."

Raut wajah Olin cemberut saat mengingat kejadian tadi sebelum dia pergi main ke rumah Maga.

"Mau ke sini aja ditanyain panjang lebar, Ga. Kayak mau ke mana aja coba. Bosen tau tiap hari begini mulu. Padahal kan, aku udah gede kali tapi dilarang ini itu." Olin bermonolog menyampaikan unek-uneknya soal ayah sambil mendecak tak suka.

Sementara Maga tak merespons apa pun selain terus berenang.

Pandangan Olin beralih sekilas pada hp milik Maga yang bergetar di dekatnya duduk. "Ga, ada telpon, hp kamu bunyi, nih!"

Maga yang mendengar teriakan Olin lantas keluar dari dalam air. Terlihat jelas bentuk tubuhnya yang lumayan berotot untuk ukuran anak SMA.

Bukan hanya menggoda di mata Olin yang melihatnya tanpa berkedip memandangi tiap inci tubuh basah itu. Bahkan beberapa kali dia sampai menelan ludah banyak-banyak. Olin tidak pernah menyesal telah menodai mata sucinya dan mendapati tatapan tajam dari Maga sebagai peringatan agar berhenti melihat seperti orang nafsu.

"Eh, tadi hp kamu bunyi. Amakia nelpon, tuh," ucap Olin cepat sambil menunjuk benda persegi di atas meja begitu Maga mengelap kepalanya menggunakan handuk. Olin tak mau dicap cewek mesum yang hilang akal hanya gara-gara terus melototi Maga yang cuma pakai boxer.

Jangan salahkan dia dong! Artinya Olin masih normal sebagai perempuan kalau urusan begituan.

"Iya."

Maga menjawab singkat seperti biasa. Olin paham benar dengan sikap Maga yang irit bicara.

"Nggak diangkat?"

"Males."

"Sapa tau penting lho, Ga?"

Dua kali hp Maga berbunyi dan Maga cuma melirik sesaat tanpa mau mengangkatnya. Dia kemudian malah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Perasaan dia sering nelponin kamu, pacar, ya?"

"Temen ekskul."

Olin berani berkata demikian lantaran Maga sering mendapat panggilan berulang dari nama itu. Bukan sekali saja Olin melihat langsung dengan mata bulatnya sendiri. Olin sampai hapal jika orang bernama "Amakia" tidak pernah absen di hp Maga. Oleh karenanya tidak heran jika Olin dibuat penasaran akut.

"Ah, yang bener deh. Aku nggak percaya."

"Terserah kamulah mau percaya apa nggak." Maga membalas santai sindiran Olin yang aslinya membuat Olin kesal karena mendengarnya. "Udah sana balik udah sore."

"Jadi kamu ngusir nih, ceritanya?"

Maga menghela napas tak menanggapi membuat Olin melanjutkan cerita yang sempat tertunda karena perkara bunyi telpon barusan.

"Pokoknya hari ini tuh, nggak jauh beda sama kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Bosenin tau."

"Memang kamu maunya gimana?"

"Ya, apa kek. Have fun sama temen atau ngapain gitu. Yang penting aku nggak dilarang ke mana-mana."

"Harusnya kamu bersyukur ayahmu peduli."

"Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain sih, enak aja ngomongnya."

Bayangkan saja Olin yang tinggal hanya berdua bersama ayah harus semakin merasa kesepian tatkala ayah pergi bekerja. Di tambah suasana rumahnya semakin mirip kuburan angker karena tak ada orang maupun teman yang berkunjung ke kediamannya. Olin merasa seperti hidup sendirian di bumi ini. Maka tidak heran jika dia sering kabur ke rumah Maga, tetangganya yang cuma berjarak lima meter.

"Tinggal nurut aja nggak bikin masalah pasti ayahmu nggak bakal ngomel, kan?"

"Nggak segampang itu kali. Susah ah, ngomong sama kamu nggak bakal ngerti sama kayak ayah maunya dipenuhi."

Ujung-ujungnya Maga juga yang salah. Inilah alasan dia enggan bicara sama Olin. Susah dikasih pengertian.

"Kamunya aja dablek."

"Maga!"

Olin memberenggut atas tuduhan yang dilayangkan padanya. Meski tak bisa menampik kenyataan bahwa dia memang suka menyusahkan orang lain, dia tetap tidak terima.

"Kenapa?" tanya Maga berlagak tidak mengerti.

"Iya, iya. Udah ah, nggak usah dibahas lagi."

Percuma rasanya curhat kepada Maga perihal perkara sepele. Dia frustasi sendiri jadinya.

"Mending cerita soal sekolah kamu. Gimana hari ini, Ga? Pasti seru ya?"

Maga mendudukkan diri di sebelah Olin lalu berkata, "Biasa aja. Bedanya banyak murid baru."

"Oh, iya. Tahun ajaran baru!" Olin berseru penuh semangat mengejutkan Maga sampai-sampai menutup telinga. Maga bisa budek akibat ulah Olin yang menjerit nyaring.

"Enak banget. Banyak anak baru pasti bakalan seru kenalan sama orang-orang yang belum pernah kita lihat," aku Olin seraya membayangkan dirinya menjadi bagian dari mereka. "Coba aku juga sekolah kayak kamu."

Bibir Olin berhenti bicara seiring sinyal di kepalanya yang menemukan sesuatu. Terlintas ide cemerlang yang bakal mengubah rutinitasnya bahkan hidupnya yang menjenuhkan itu.

Maga mengernyitkan dahi tatkala Olin menatapnya. Maga
merasa aneh dengan Olin yang senyum-senyum sendiri lalu bangkit dan berlari meninggalkannya sambil bicara lantang.

"Aku pulang duluan Maga, ada hal penting yang harus aku kerjain!"

***
Olin melirik sosok di depannya yang sedang sibuk mengunyah makanan. Entah berapa lama dia menatap ayah di meja makan seraya menghela napas panjang. Isi di kepala Olin serasa dipenuhi oleh banyak hal. Sedari tadi pikirannya bercamuk antara maju atau mundur.

Dilanda kebingungan membuat Olin tidak fokus untuk menghabiskan makan malamnya. Terlihat jelas makanan masih utuh dan Olin hanya mengaduk-aduk secara acak.

"Lin, kenapa makanannya nggak dimakan?" sentak ayah saat melihat kelakuan anaknya yang melamun.

"Eh, dimakan kok, Yah."

"Kok masih banyak, nggak enak?"

"Hmm ... itu," balas Olin singkat kemudian meletakkan sendok di atas piring, kedua tangannya saling bertaut memilin jari-jemari yang berkeringat. Olin duduk menegap begitu ayah menatapnya penuh tanya. "Ada yang mau Olin omongin, Yah."

Sebelum menjawab ayah menghabiskan sisa makanan di mulutnya lalu meneguk minum di gelas.

"Tentang?" tanya ayah santai. "Biasanya juga langsung ngomong, 'kan?"

"Tapi Ayah jangan marah ya, janji?"

Dahi ayah mengerut dalam. Menatap Olin lurus menerka-nerka arah pembicaraan. "Iya, tergantung apa dulu?"

Karena ayah tidak suka basa basi maka Olin tidak membuang kesempatan untuk berkata jujur. "Mumpung ini tahun ajaran baru kan, Yah. Boleh nggak Olin sekolah?"

"Kamu, kan udah sekolah, Lin."

"Maksud Olin sekolah formal Yah, bukan homeschooling."

Ayah diam beberapa detik. Otomatis Olin ikut diam menanti jawaban yang membuatnya tegang.

"Kamu yakin?"

"Iya, Yah."

"Memang kenapa kalau homeschooling? Selama ini nggak ada masalah sama sekolah kamu, Lin. Yang lebih penting kamu tahu alasannya kan kamu nggak sekolah kayak anak-anak lain?"

"I-iya, Yah. Tapi aku bosen tiap hari belajar di rumah terus. Olin pengin punya banyak temen ngerasain hal baru, Yah. Bergaul kayak yang lain di luar sana pasti seru. Selama ini Olin nggak ngerasain semua itu, lingkungan Olin cuma rumah dan rumah. Olin butuh suasana baru, Yah." Panjang lebar Olin menjelaskan dengan suara terbata.

Ayah masih mendengarkan Olin bicara lalu kembali melanjutkan sesi makannya yang tadi tertunda.

"Boleh, Ya, Yah?"

"Nggak boleh."

Jantung Olin seperti berhenti berdetak karena mendapat penolakan. Matanya menatap tak percaya tatkala harapan terbesarnya dipatahkan begitu saja. Olin sangat kecewa sampai kesulitan bicara.

"Tapi, Yah ... aku bisa jaga diri udah besar, Ya--"

"Ayah nggak ngizinin kamu buat sekolah formal, Olin." Ayah tetap bersikukuh pada keputusannya yang menyebalkan itu. "Udah nggak usah bahas itu lagi, mending habisin aja makanan mu."

|
|
|
^°^
Segitu dulu buat permulaan. Tungguin buat part selanjutnya ya. Kasih like komen terbaikmu biar makin semangka 🍉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro