19.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan perasaan senang Olin langsung berlari ke kantin begitu jam pelajaran berakhir. Bukan karena suara bel istirahat yang membuatnya bergegas pergi mencari makanan, bukan pula karena ngebet pengin ketemu Maga, sekali lagi bukan.

Ada yang lebih spesial dari itu semua.

Percaya atau tidak karena ucapan teman sebangkunya, Joeya yang menginginkan supaya Olin bisa membawa makan siangnya di kelas lah yang telah menggerakkan gadis itu untuk memenuhi permintaan tersebut. Tanpa perdebatan panjang kali lebar Olin menurut dan bersyukur untuk kali pertamanya sejak perkenalan mereka, dan Joeya mau makan bersama.

Meski bukan hal yang luar biasa, tapi bagi Olin yang mengharapkan seorang teman di saat seperti ini merupakan momen langka. Dengan hanya memikirkannya saja membuat Olin tersenyum cukup lebar di sepanjang koridor ketika berjalan cepat.

Kurang dari lima belas menit mengantre di kantin akhirnya dia mendapatkan beraneka macam jajanan beserta minuman dalam sebungkus plastik putih ukuran besar. Sengaja dia membeli banyak cemilan untuk dibagi bersama Joeya.

Saking senangnya dan terburu-buru sambil berlari kecil tiba-tiba wajah Olin menabrak sesuatu. Bukan sesuatu yang keras dan tidak sampai menimbulkan sakit. Namun, karena terkejut Olin mengaduh secara spontan sambil termundur selangkah ke belakang. Beruntung dia tidak terjungkal. Hanya kantung plastiknya yang terlepas dari genggaman tangannya hingga beberapa barangnya tercecer di lantai.

"Ma--af?" katanya sambil mengusap wajah. Seketika
kalimatnya terjeda tatkala mendapati Maga berdiri tegap di hadapannya.

Keduanya diam dalam beberapa detik terpaku saling menyelami tatapan satu sama lain. Ada banyak kata yang ingin Olin utarakan tapi entah mengapa mulutnya bungkam tak bisa bicara barang sepatah kata saja.

"Malah pada bengong!?"

Tiga detik berikutnya suara Angga memecah keheningan menyadarkan Olin dan Maga. Terlihat keduanya jadi salah tingkah. Maga yang melirik kesal ke arah Angga sedangkan Olin meringis kaku seperti orang bodoh.

Gegas Olin memungut plastik makanan yang terjatuh tadi, tapi gerakan tangannya berhenti ketika Maga ikut merunduk sesaat dan mengambil salah satunya di dekat kaki.

"Ini, ketinggalan satu," ucap Maga sambil menyodorkan tangannya yang memegang sekotak susu.

Apa Maga sebaik ini sebelumnya?

Lumayan lama dia tidak main bersama Maga tidak mungkin membuat Olin lupa kalau Maga tetaplah cowok cuek yang nggak mudah buat disuruh-suruh. Apalagi hanya karena Olin orangnya.

Dengan keras Olin menggelengkan kepala membuang rasa kepedean di hatinya. Olin yakin sekali Maga hanya merasa bersalah karena menabraknya. Olin tidak mau kegeeran sendiri. Lagipula, itu tindakan umum.

Terlepas dari itu semua kinerja jantung Olin kian cepat karena bisa melihat Maga dengan jarak tak lebih dari sejengkal. Sudah lama sekali rasanya dia tidak menghirup aroma mint dari parfum yang cowok itu pakai.

"Makasih, Maga." Sekotak susu berpindah tangan lalu Olin memasukkan ke dalam wadah seraya melebarkan senyuman yang sedari tadi belum luntur.

"Harusnya lo lebih hati-hati."

"Iya, aku lagi buru-buru."

"Buruan, Maga, gue nggak mau kehabisan bakso!" teriak Angga yang memilih lebih dulu pergi setelah dianggap sebagai nyamuk pengganggu. Angga cukup tau diri jika berada di tengah-tengah Olin dan Maga membuat dirinya terabaikan. Sebelum itu terjadi Angga telah berinisiatif mengambil tindakan.

"Gue duluan. Lain kali--"

"Oii, Maga! Buruan."

Padahal Maga belum selesai bicara. Padahal dia ingin menyampaikan beberapa patah kata tapi kesempatan itu tidak terjadi. Maga harus menelan kembali sisa kalimatnya saat mendengar Angga menjerit-jerit tak karuan. Dan di saat itu Olin telah berlalu meninggalkannya.

***
Sesampainya di kelas Olin menghempaskan pantatnya di kursi setelah meletakkan jajanannya. Dia nyaris ketinggalan untuk makan siang. Sebab, Joeya sudah menghabiskan setengah bekalnya ketika Olin sampai di sana.

"Joey ... kalo mau ambil aja."

Olin menggeser beberapa snack miliknya ke meja Joeya guna menawari teman sebangkunya camilan. Tanpa menjawab Joeya mengambil kripik kentang dan memakannya. Senyum kecil menghias di sudut bibir Olin kemudian dia menggigit lagi roti rasa kejunya.

"Gimana lo udah dapet ide buat tugas kita?" tanya Joeya setelah menyelesaikan sesi makannya.

"Kalo menurutku kita bisa wawancara pedagang sekitaran sekolah aja, kan banyak tuh. Mau pilih yang mana ada semua. Jadi, lebih efisien waktu nggak perlu jauh-jauh. Eh, tapi kalo kamu punya saran lain nggak masalah. Aku cuma nyampein pendapatku."

Terlihat Joeya berpikir sesaat lalu membalas. "Nggak buruk juga. Boleh pake ide lo. Tadinya gue mau ngajak keliling sekitaran pasar tapi yasudah. Lebih bagus ide lo setelah dipikir-pikir."

Olin menganggukkan kepala pertanda paham. Ternyata mengobrol seputar pelajaran bersama Joeya lebih mudah dibandingkan membahas hal lain. Buktinya Olin bisa lancar ketika diskusi begini. Joeya pun terlihat tidak begitu sangar ketimbang hari-hari biasanya yang cenderung jutek.

"Fix berarti kita setuju buat ngerjain tugas di sekitar sekolah aja?"

"Iya. Setuju."

Kalau sudah disepakati seperti itu Olin bisa bernapas lega. Dia tidak perlu bersusah payah untuk meminta izin kepada ayahnya jika harus mengerjakan tugas jauh-jauh usai pulang sekolah di kemudian hari.

"Kalo gitu selanjutnya kita tentuin pedagang apa yang pengin kita wawancara. Kalo bisa secepatnya kita kerjain takutnya keduluan kelompok lain yang mungkin sama-sama ngambil tempat di sekitar sekolah."

"Bener juga, aku nggak kepikiran."

Ketika keduanya asik berdiskusi tanpa sadar seorang siswa datang menyapa dengan santainya. "Jo, ditungguin lama amat?"

Joeya mendongak bersamaan dengan siswa itu yang duduk secara sembarang di atas meja. Tepatnya di dekat Joeya. Tangannya yang cekatan menyambar sisa minuman lalu meneguknya sampai tandas. Olin yang melihatnya langsung terbengong sambil menyimak lelaki berantakan tersebut.

"Astaga lo jelek banget. Ke mana rambut lo?" pekik Joeya begitu beralih dari kegiatannya menulis di buku. Joeya terpingkal sambil menepuk lengan siswa dengan rambut pitak di mana-mana. Jelas sekali bahwa kepalanya sehabis digunduli asal.

"Guru BK maksa gue buat potong rambut dan gini hasilnya."

"Salah lo sendiri. Udah disuruh dari kapan masih aja dablek."

"Ngapain sih lo, dekem di kelas dari tadi? Gue nunggu di lapangan sampe jamuran nggak juga nongol."

"Ya ampun gue lupa. Ada tugas Bindo, gue lagi diskusi. Mending lo main sendiri sono!"

"Telat, udah bubaran gue males."

"Ya, sorry." Joeya melirik Olin ketika teman cowoknya menaikan alis mata sebagai kode bertanya. "Olin, kenalan?"

"Gue, Andres--temen Joeya. Nama lo siapa?"

Kontan Olin menjabat tangan Andres yang terulur di depannya. "Olin."

Andres bisa dibilang sahabat Joeya. Sudah sering Olin melihat keduanya bersama terutama di saat jam istirahat berlangsung. Biasanya Andres memang menyambangi Joeya dengan datang ke kelas, tapi baru kini Olin dapat kenalan secara langsung dan mengobrol dengan cowok itu.

"Harusnya lo rapiin tuh rambut, Dres," ujar Joeya memberikan sarannya sambil menyentuh sejumput rambut Andres yang rusak akibat digunting tak beraturan.

"Iya, nanti gue cukur setelah pulang sekolah. Gila bapak itu emang." Andres menggerutu sendiri karena harus kehilangan mahkota terbaiknya yang telah dirawat indah selama ini.

Bagi Andres yang punya rambut menjuntai lurus melewati alis mata adalah gaya terkeren, menurutnya. Sayangnya, model rambut itu dianggap melanggar aturan di sekolah. Apalagi bagi guru BK yang menegakkan peraturan bagi murid-muridnya, tentu tampilan yang tidak semestinya amat mengganggu mata. Dampak dari peringatan berpuluh kali telah diabaik Andres sehingga kekecewaan terhadap tindakan gurunya tidak bisa lagi dicegah.

"Itu salah lo sendiri!"

Andres hanya menggumam kesal lalu beralih memperhatikan raut di wajah Olin yang dipenuhi gelagat tak nyaman. "Nggak usah takut, gue nggak gigit kok. Kalem aja," usilnya seraya terkekeh, "baik-baik sama Joeya ya, dia suka galak ta--"

"Berisik! Mending lo diem kalo mau duduk di sini. Kita mau ngerjain tugas, Andres!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro