23.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari sekian kemungkinan yang ada Olin hanya bisa melongo dibuatnya ketika Maga berdiri di hadapannya dan tanpa basa-basi sedikit pun langsung mengoper sekotak susu rasa coklat dan sebungkus roti sobek. Dalam keterpakuan yang belum usai Olin menerima ucapan singkat penuh perhatian yang amat sangat jarang dia peroleh selama berteman dengan Maga.

"Dimakan jangan dibuang. Awas kalo lo sakit dan ngerepotin gue."

Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Olin yang terbengong mendapati kejutan tersebut. Tak biasanya Maga bersikap seperti itu.  Dibilang perhatian padanya, jujur menurut Olin tindakannya bisa dikatakan manis.

Olin baru tahu kalau Maga bisa melakukan hal-hal diluar dugaannya. Lagipula Olin hanya seorang biasa yang rasanya terlalu mustahil diperlakukan begitu. Dari dulu ketika Olin sering bermain bersama Maga saja tidak dipedulikan perkara sudah makan belum, kamu maunya apa dan gimana? Bukannya dimanja atau disayangi sebagai sahabat yang perhatian, justru Maga bertindak sebaliknya. Kebanyakan cuek seolah baginya Olin bukanlah apa-apa.

Ya, mungkin dia tengah bermimpi sekarang?

"Aww!" keluh Olin sakit saat mencubit lengannya sendiri. Ternyata dia tidak sedang bermimpi, semua nyata. Olin merasa lebai karena masih tak mempercayai apa yang tengah dialaminya barusan.

Lalu dengan tidak bertanggungjawab karena membuat jantung Olin berpacu cepat, Maga melengos setelah beraksi super cepat layaknya kilatan petir yang langsung menghilang dalam keramaian koridor sekolah.

Dalam langkah lebarnya Maga terus mengusap wajah dengan gelisah. Berulang kali merutuki keputusannya yang dirasa berlebihan. Dia sendiri heran mengapa sampe melakukan hal aneh yang membuat dirinya menjadi berbeda.

Sungguh dia hanya bergerak mengikuti keinginannya yang bertentangan dengan akal sehatnya. Dipikir berapa pun Maga amat enggan bertindak layaknya cowok yang lagi diserang virus cinta. Meski dia ingin menyangkal kenyataannya menunjukkan keaslian yang sebenarnya.

Sejak kapan coba Maga berbaik hati dan membelikan Olin makanan dengan senang hati?

Belum pernah, dalam kamus besarnya belum pernah terjadi. Hari ini adalah yang pertama kalinya dan dia berharap supaya bisa jadi yang terakhir juga. Sangat mengesalkan memang, tapi Maga hanya bisa mengembuskan napas sambil mengiklaskan tindakan sembrononya yang terkesan konyol. Maga berharap semoga Olin tidak menyadari perilaku anehnya hari ini. Sebab dia sendiri pun tidak mengerti dengan dirinya sendiri.

"Wah, Ga. Ternyata lo diem-diem tapi geraknya cepet ya!"

Angga yang tiba-tiba menepuk pundaknya membuat Maga menoleh.

"Ngomong apa sih, lo?"

Terbahak-bahak, Angga tak menyangka otak Maga jadi tumpul kalau urusan asmara. Angga ingin memaklumi temannya itu. "Lo masih mau pura-pura nggak ngerti?" ucap Angga seraya mengeratkan lengannya yang masih melingkar di bahu Maga. Secara otomatis Maga kian merapat sesuai gerakan yang Angga ciptakan.

"Nggak usah basa-basi."

"Oke. Lo kira gue nggak tau lo habis ngapain."

"Hah, ngapain emangnya? Gue nggak ngelakuin hal kriminal tuh," ketus Maga penuh penekanan pada kalimatnya. Dan Angga makin terkekeh mendengar balasan lucu dari Maga.

"Yang abis beli makanan terus ngasih ceweknya, mana kok gue nggak dibagi?"

Bagaimana Angga tahu soal apa saja yang barusan Maga lakukan?

"Nggak usah bingung gue tau dari mana, haha," bisiknya puas karena melihat raut masam di wajah Maga.

"Gue lupa lo kan kurang kerjaan, sampai-sampai tau urusan orang lain."

Maga makin kesal saja lantaran Angga terus terkekeh sembari mengungkit kelakuannya secara habis-habisan.

***
Membalik badan, Olin memutuskan kembali ke kelasnya ketimbang melanjutkan langkah ke kantin sekolah. Dia mengubah tujuan awalnya secara tiba-tiba setelah mendapatkan roti dan susu untuk makan siang. Lumayan, Olin tak perlu mengantre panjang di kantin dan berebut makanan dengan murid-murid lain, ditambah yang paling penting dapat makan gratis.

Belum genap melangkah  terpaksa dia harus berhenti tatkala matanya bersitatap dengan Amakia yang berdiri di belokan koridor. Bisa dipastikan kalau Amakia telah berada di sana cukup lama atau bisa jadi Amakia lebih dulu berada di sana dan menyaksikan semua.

"Ini nggak yang kayak kamu bayangin, Ama. Aku nggak nyuruh atau minta sama Maga tapi dia yang ngasih barusan."

Nada suara Olin jadi terbata. Rasanya seperti ketangkap basah tengah melakukan tindak kriminal. Padahal kan, dia tidak punya salah apa-apa.

Olin semakin tegang karena Amakia tidak menjawab. Justru terus melangkah kian dekat dengan tatapan sinis. Sudut bibirnya yang kentara meremehkan membuat Olin tak nyaman. Ditambah aura mengintimidasi mendominasi suasana di sekeliling mereka. Lagi-lagi Olin hanya mampu menghela napas yang terasa berat.

"Gue tau kok, gue liat semuanya pake mata gue sendiri," katanya datar tapi amat menunjukkan gestur tak suka. Seraut Amakia dipenuhi pandangan mengejek layaknya seorang yang sedang kesal.

Seharusnya Olin lega mendengar ucapan Amakia yang terlontar dari bibirnya. Namun, perasaan tak nyaman yang sudah lebih dulu mendominasi akhirnya mengungkap satu hal pasti kalau Amakia tidak lah setulus itu bicara padanya.

Tepat setelah mendekat dan nyaris melewati Olin yang masih terpaku di tempatnya kemudian Amakia dengan sengaja menubrukkan bahunya kasar. Tanpa persiapan karena gerakan yang tiba-tiba dan diluar perkiraannya membuat Olin terhuyung nyaris jatuh. Tidak bisa dikatakan beruntung, sebab lengannya yang berhasil menopang beban tubuh malah tergores kursi yang berjajar di sepanjang koridor.

Meski merasa sakit, Olin hanya mengaduh sesaat lalu kembali bangkit seolah tidak terjadi apa-apa. Cuma nyeri, Olin masih bisa menahan denyut yang menghias di lengan tersebut. Dia mengusap-usap secara lembut permukaan kulitnya.

Olin tahu Amakia sengaja melakukan tindakan jahat itu. Tentu saja Olin marah dan ingin sekali membalas gejolak di dalam hatinya, tapi dia tidak punya kesempatan karena Amakia lebih dulu mengambil bicara.

"Itu nggak seberapa sama apa yang udah lo lakuin ke gue, Lin. Mana yang katanya mau bantuin gue buat pdkt, mana?" sindir Amakia disertai senyum mengejek. "Gue terlalu percaya dan nganggap lo polos, tapi ternyata nggak kayak bayangan gue."

"Aku lagi usaha Ama. Kejadian tadi cuma kebetulan. Lagian apa salah kalo temen sendiri diperhatiin?"

Mendengus kasar. Amakia tidak mau peduli mendengar omongan Olin. Di telinganya hanya terdengar omong kosong yang dibesar-besarkan.

"Gue harap kata-kata lo bisa dipegang, tapi gue nggak ngarep banget sih."

Memang Olin tengah mencari cara supaya bisa menepati janjinya terhadap Amakia, tapi tidak semudah membalik telapak tangan. Hubungannya dengan Maga saja baru mulai membaik lalu bagaimana dia bisa melakukan hal-hal yang memberatkan Maga tanpa menunggu momen yang tepat. Baginya saja menyanggupi permintaan itu sangat berat apalagi untuk menjalankannya.

Olin sebenarnya ragu apakah dia mampu atau sebaliknya? Pasalnya hatinya tidak pernah tenang semenjak mengetahui perasaan Amakia terhadap Maga.

Setelah kepergian Amakia yang tidak menyenangkan. Kini giliran Olin yang bergerak gusar. Dengan kecepatan maksimal dia segera menuju kelas seraya menggaruk lengannya gatal. Sebelum semua makin menyebar Olin perlu mengkonsumsi obat peredanya supaya penyakitnya lekas membaik.

Beruntung di kelas tidak banyak orang karena jam istirahat masih berlangsung. Joeya yang duduk di sampingnya hanya melirik dengan bibir berkecap mengunyah makanan.

Selesai meneguk obatnya dengan air mineral, lantas Olin langsung menyapa Joeya sambil melempar senyuman seolah apa yang barusan dia lakukan bukan apa-apa.

"Hai, Joey?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro