3.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sejak pukul lima subuh dia sudah bangun dari tidur. Semalaman Olin sulit tidur nyenyak sampai-sampai begadang. Hanya memikirkannya saja membuat dia gembira luar biasa.

Ketika matahari telah terbit alarm bawah sadarnya menyala otomatis. Olin langsung bangkit dari ranjang kamar menyambut hari baru dan segera melakukan ritual mandi. Tidak ada yang lebih menggembirakan dari hari ini.

Senyum lebar terbit di bibir Olin yang puas menatap semua peralatan sekolahnya di atas ranjang. Yang paling menggemaskan yakni seragam putih abu-abu yang dia kenakan. Terlihat cocok dan bagus di badannya yang ramping itu. Olin berputar sesaat di depan cermin besar sambil tersenyum.

Rambutnya yang telah disisir rapi kemudian digulung ke atas menyerupai cepol dan diikat dengan menyisihkan sedikit anak rambut di sisi dahi. Untuk membuatnya terlihat lebih segar Olin menambahkan sedikit lip gloss di bibirnya yang tipis. Sempurna, kini dia tampak seperti anak sekolah sungguhan. Tidak perlu bedak atau alat make up lainnya, Olin sudah lah cantik lantaran kulit putih bersih yang dimilikinya. Tak lupa lotion kulit dia balurkan ke beberapa bagian tubuh sebelum beraktivitas. Olin harus tetap menjaga kulitnya tetap lembab supaya tidak berakibat masalah. Satu benda lagi yang wajib dia bawa ke mana-mana saat berpergian adalah obat pereda gatal.

Lebih baik sedia payung sebelum hujan. Maka dari itu, Olin lebih suka berjaga-jaga ketimbang diserang panik duluan terkait penyakitnya yang mudah kambuh. Mencegah pastilah lebih baik daripada mengobati.

Sebenarnya dia masih tidak percaya kalau akan pergi sekolah. Namun, mengingat kembali jerih payahnya Minggu lalu menyadarkannya kalau itu nyata. Setelah berjibaku dengan segala pemberkasan yang diperlukan oleh sekolah, Olin telah menyelesaikan pendaftaran bersama ayah di salah satu sekolah ternama di Jakarta. Tidak sekali pun dia mengeluh pada proses tersebut, malahan Olin menikmati setiap momennya yang begitu berharga. Pengalaman baru selalu membuat Olin antusias tak terkecuali dengan pagi ini.

Seusai berdandan dan memasukkan semua perlengkapan sekolahnya ke dalam tas dia segera keluar dari kamar. Olin melangkah menuju meja makan di mana ayah tengah sibuk menyiapkan makanan.

"Ayah?"

"Hei, Sayang. Anak Ayah bangun pagi rupanya," ucap ayah ketika melihat Olin datang dengan pakaian rapi.

"Iya, dong, Yah. Kan, mau sekolah!"

"Biasanya jam segini masih tidur juga," ledek ayah terang-terangan. "Kamu duduk dulu biar Ayah siapin sarapan."

"Memangnya masak apa, Yah?"

"Makanan kesukaan kamu dong!"

Olin mendekati ayah yang tengah membuat sesuatu. "Wah, omelet!" serunya begitu mencium aroma khas yang menyeruak ke hidungnya. Olin jadi makin bersemangat karena ayah yang dengan baik hati membuat sarapan favorit untuknya.

Meski ayah merupakan laki-laki tapi dia tidak kaku untuk bergulat dengan perabotan dapur. Meski ayah tidak jago masak tapi ayah selalu bangun pagi dan membuat sarapan untuk keduanya. Ayah itu serba bisa, ayah bisa jadi sosok kepala keluarga sekaligus merangkap jadi seorang ibu rumah tangga. Semenjak ibu meninggal ayah yang banyak melakukan kegiatan di rumah, seperti sekarang memasak untuk putri tersayangnya.

Kalau Olin jangan ditanya. Dia bisa masak tapi tidak seenak masakan ayah. Yang pasti dia masih perlu belajar banyak buat nyaingin ayah.

Beberapa menit kemudian dua manusia itu khusyuk menikmati hidangan tanpa suara di meja makan. Ayah selesai lebih dulu ketimbang Olin.

"Semuanya sudah dibawa, Lin?"

"Udah, Yah."

"Obat?" tanya ayah memastikan dengan saksama. Ayah selalu teliti padahal tanpa diingatkan pun Olin tidak lupa.

Merogoh tasnya yang tergolek di kursi sebelahnya lalu Olin mengangkat benda yang dimaksud.

"Beres, Yah."

Ayah mengusap puncak kepala Olin lembut sambil tersenyum puas lalu berkata, "Bagus kalau kamu ingat. Itu buat jaga-jaga kalau nanti penyakit mu kambuh. Ayah sih, sebenernya nggak ngarep gitu tapi kamu nggak bakal tau gimana di sekolah nanti Lin. Ayah pesen sama kamu hati-hati dan kalau ada apa-apa kasih tau Ayah, ya."

"Iya, Yah. Nggak perlu khawatir pasti baik-baik aja, Yah."

Ayah terlalu berlebihan menurutnya. Olin kan mau sekolah bukan tawuran, memangnya bakal terjadi apa? Olin paham bahwa ayah hanya khawatir pada hal-hal yang tidak perlu. Wajar saja, karena ayah terlalu menyayanginya.

Lagi pula penyakitnya tidak seburuk itu. Tanpa obat pun sebenarnya Olin masih bisa bertahan setelah setengah jam terlewati dengan menahan rasa gatal disertai bentol yang sudah seperti sahabat karib.

Daripada membuat ayah dilanda keresahan lebih baik Olin menurut saja. Toh, tidak ada ruginya sama sekali. Paling-paling kupingnya yang bakal panas karena diomelin terus kalau membangkang. Olin tidak mau merusak hari pertamanya sekolah.

"Kalau sudah siap semuanya kita berangkat. Ayah yang anter kamu."

"Ta ... baik, Yah."

Tadinya Olin ingin berangkat bareng Maga tapi dia urungkan. Dia bisa pergi bareng Maga besok dan seterusnya setelah mengejutkan cowok itu hari ini. Tidak ada yang tahu soal Olin yang sekolah hari ini kecuali ayah. Sekalipun Maga yang belum menerima kabar apa pun darinya.

***

"Dah, Ayah!" seru Olin sambil melambaikan tangannya ke arah mobil ayah yang meninggalkan gerbang sekolah.

Olin mengembuskan napas lega usai kendaraan ayah tak terlihat lagi. Pasalnya tadi ayah bersedia menunggu sampai bel sekolah berbunyi guna menemani Olin yang sendirian. Dengan beragam alasan dan ketegasan dia menolak mentah-mentah niat baik ayahnya.

Memangnya dia anak TK yang harus ditungguin segala. Olin tak habis pikir dengan sikap ayah yang protektif.

Kaki Olin mulai melangkah perlahan memasuki halaman sekolah. Dia bergerak menuju kantor sekolah menemui wali kelasnya. Sambil melihat-lihat matanya menyisir apa-apa yang ada, semua terasa menakjubkan baginya. Olin dipenuhi rasa gembira karena menjadi bagian dari mereka yang disebut murid sekolah. Saking gembiranya, kini dia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya sendiri. Semangat Olin makin menggebu-gebu.

Olin terus tersenyum sepanjang perjalanan menuju kelas bersama Pak Amad.

"Nah, kita sampai di kelas!"

Suara wali kelasnya membuat Olin menoleh. Dari tadi dia asik sendiri memandangi sekitar tanpa sadar sudah sampai di depan pintu yang tertutup rapat.

"Ayo masuk, Nak."

"Iya, Pak."

Sebelum masuk Olin memastikan penampilannya sendiri dari atas ke bawah. Baru setelah itu Olin ikut melangkah bersama Pak Amad yang menyapa murid-muridnya.

"Pagi anak-anak!?"

"Pagi Pak!"

Semua anak menjawab bersamaan dengan lantang. Suasana kelas yang tadinya berisik semakin riuh karena kedatangan Olin yang tiba-tiba. Bukan satu dua anak, melainkan banyak pasang mata menatap ke arahnya dengan rasa penasaran.
Olin jadi sedikit gugup tapi dia tetap mempertahankan senyuman semanis mungkin.

"Tenang semuanya!" kata Pak Amad sambil memukul papan tulis beberapa kali supaya anak-anak diam. "Hari ini kalian kedatangan murid baru. Bisa kalian lihat sendiri. Nah, coba sekarang perkenalkan diri kamu biar semua teman-temanmu kenal."

Olin menganggukkan kepala menatap lurus ke depan. Semua menunggu dia bicara tapi mendadak tenggorokannya kering dan sulit diajak kompromi. Bahkan untuk bicara sepatah dua kata saja susah. Olin jadi gugup sendiri karena diperhatikan banyak orang. Baru kali ini dia merasa tidak nyaman dengan situasi seperti itu.

Dia berusaha tenang seraya menghela napas dalam. Matanya yang bergerak-gerak menemukan sosok yang mampu mengubahnya lebih tenang. Maga bagaikan angin segar yang membangkitkan nyali ciut Olin. Dia jadi lebih berani lalu menegakkan badan.

Dengan mata saling bersirobok Olin mulai bicara secara jelas.

"Nama saya Olin Nisaka Kei. Salam kenal."







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro