Bab 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

River mencuci tangan di wastafel. Menatap bayangannya di cermin. Ada bercak darah di wajah dan kaos yang dipakainya. Ia berharap Siera tidak mencium bau anyir darah atau pun melihat ada percikan di tubuhnya. Terapis yang memijat Siera mengatakan kalau istrinya masih tertidur pulas. Mungkin karena selama beberapa hari ini berada dalam himpitan masalah dan juga menjalani hidup yang menegangkan membuat Siera tidak bisa tidur nyenyak. Pilihan tepat membawa istrinya ke tempat ini, dengan begitu bisa beristirahat.

Levin menaiki tangga, membungkuk di belakangnya. "Tuan, total ada 11 orang terbunuh dan sisanya luka berat."

"Bagaimana dengan orang-orang kita?"

"Tiga terbunuh, lima luka berat."

Mengelap tangan dengan tisu, River membalikkan tubuh. Menuruni tangga diikuti oleh Levin, sedangkan Atoki tetap berada di tempatnya, menjaga pintu di mana Siera berada. River menatap tubuh-tubuh yang berbaring di lantai. Beberapa di antaranya adalah anak buahnya. Ia mengampiri mayat orang-orangnya dan menghela napas panjang. Merasa sedih untuk setiap nyawa yang tercabut.

"Jorel!"

Laki-laki bertubuh kekar dengan banyak tato maju ke depan. "Ya, Tuan!"

"Angkut semua mayat dari kelompok Black Eagle. Berikut yang luka dengan truk dan kita akan antarkan mereka."

"Baik, Tuan!"

"Flint!"

"Ya Tuan!" Flint dengan rambut pirang dan wajah pucat kali ini maju menggantikan Jorel yang mundur.

"Kamu bantu Jorel dan tunggu aku di ujung komplek. Setelah aku mengantar pulang istriku, kita ke markas Black Eagle."

Flint menggeleng dengan wajah menyiratkan kekuatiran. "Tuan, bisakah tugas seperti itu diberikan pada kami saja? Saya, Jorel, dan Levin akan memimpin anak buah ke sana."

River menghela napas panjang dan menggeleng dengan wajah muram. Menatap sedih pada tubuh-tubuh yang terbujur berdarah di lantai. Percikan darah ada di mana-mana, mengotori tangga, lantai, dan juga dinding. Ia membangun tempat ini sebagai tempat negosiasi, dan tidak menyangka kalau akhirnya akan diserang.

Ia mengingat bagaimana memulai usaha spa. Bisnis yang sebenarnya tidak pernah ada dalam pikirannya. Tapi demi kelancaran negosiasi, menyogok para pejabat korup, dan juga memberikan servis untuk orang-orang yang terlibat dengannya, maka spa ini didirikan. Tidak banyak kamar dan terapis, dan hanya dibuka saat dibutuhkan saja. Seperti hari ini saat ia menbawa istrinya datang. Ternyata ia kecolongan, informasi tentang kedatangannya sudah sampai pada telinga musuh dan penyerangan terjadi di luar perkiaraannya.

"Sebenarnya aku bisa memberikan tugas pada kalian, tapi mereka sudah membuatku kesal. Menyerang di saat aku datang kemari dengan istriku. Sungguh berani mereka melakukan itu." River menunjuk lantai atas. "Sebentar lagi istriku akan bangun, kalian sebaiknya bersihkan tempat ini."

Levin, Jorel, dan Flint membungkuk tanpa kata.

River menepukkan tangan tiga kali dan para pegawai spa bermunculan, dari bawah tangga, balik meja, kursi, dan tempat persembunyian lain. Wajah mereka pucat pasai dengan tubuh gemetar.

"Setelah aku pergi, kalian boleh pulang. Datang untuk bekerja saat dikabari. Ingat, peristiwa hari ini adalah rahasia. Kalian tahu konsekuensinya kalau berkhianat bukan?"

Wajah-wajah pucat itu mengangguk pada River.

"Bagus! Sekarang bersihkan tempat ini. Aku beri waktu setengah jam."

River menaiki tangga, meninggalkan anak buahnya melakukan pekerjaan pembersihan. Ia memberi tanda pada Atoki untuk pergi sebelum masuk ke ruang terapi. Siera masih terlelap dengan tubuh tertutup handuk. Berbaling menelungkup, bahu serta kaki terbuka, menunjukkan kulit putih dan segar karena baru saja dilulur. Ia mendekati ranjang, menatap istrinya lekat-lekat. Berpikir tentang semua kemungkinan yang akan terjadi. Kelak jika istrinya tahu siapa dirinya, akankah Siera tetap bersikap lembut seperti sekarang?

Jemarinya mengusap anak rambut yang menutupi dahi Siera. Bergerak lembut ke bahu dan membelai perlahan. Kulit yang terasa begitu halus di jari River. Dulu beberapa kali ia menjalin hubungan dengan perempuan, bercinta dengan mereka dalam kondisi sadar maupun tidak. Tapi, tidak ada satu orang pun yang bisa menyentuh hatinya. Siera, tanpa rayuan, kata-kata manis, maupun kemanjaan, membuatnya tidak berdaya. Pernikahan yang terjadi, ternyata menjerat hatinya lebih dalam.

Sentuhan River membuat Siera terbangun. Ia mengerjap, menatap wajah suaminya lalu bergegas duduk tanpa menyadari situasi. "Ah, aku tidur lama? Maaf, bikin kamu bangun."

Otak River kosong dan tidak bisa berkata-kata saat handuk yang dipakai Siera merosot. Seketika bagian depan tubuh istrinya terlihat. Dada yang membusung ranum dengan puting yang menegang, perut rata dan langsing, lalu pangkal paha di mana area intimnya tertutup tumpukan handuk. River merasa tenggorokannya kering seketika.

Siera menyadari tubuh telanjangnya terlihat. Ia menatap River dan jemarinya dengan gugup menarik handuk. "Ah, jatuh."

Sayangnya River bergerak lebih cepat dari dugaannya. Suaminya itu merapat, mengangkat dagunya dan melancarkan ciuman. Siera bahkan tidak bisa mengelak karena cengkeraman di dagu dan bibir River sangat menuntut. Rasa hangat seketika mengalir dari bibir. Tidak pernah mengalami ciuman yang begitu sensual, menuntut, dan juga intens. Bibir River melumat dan mengisap bibirnya, bertukar desahan dan erangan tanpa sadar muncul dari tenggorokannya saat dadanya dibelai lembut.

Siera mengerjap, ingin menyingkirkan jemari River dari dadanya tapi tidak bisa. Satu tangan River mencengkeram kedua tangannya dan menguncinya. Bibirnya masih dilumat dan dihisap, dengan jemari suaminya meremas serta mengusap dadanya dengan perlahan. Rasa hangat berganti dengan panas. Pakaian River menyentuh kulit telanjangnya dan menimbulkan sensasi kasar dan mendebarkan. Ia ingin bergerak, melepaskan diri dari cengkeraman River tapi bibir suaminya makin lama makin menuntut dan dada membusung tanpa malu.

Saat River mengakhiri ciuman mereka, Sier mengembuskan napas panjang. Mengerjap untuk menatap River lebih jelas. "Lepaskan aku," ucapnya serak.

River tidak menjawab, menarik tubuh Siera ke belakang lalu menunduk untuk melumat puting yang menegang. Erangan panjang dan malu-malu keluar dari bibir Siera.

"River, ah, aku—"

"Siera, diamlah sebentar dan nikmati."

Cengkeraman River pada tangan Siera mengendur, sementara ia menunduk makin dalam untuk melumat puting bergantian. Satu jari meremas, dengan mulut tidak berhenti mengisap atau mengecup. Ingin rasanya berlama-lama pada tubuh yang hangat dan dada yang membusung sempurna. Ketukan pelan di pintu membuatnya tersadar. Ia mengangkat kepala dari dada yang kini basah dan menatap Siera dengan mata memandang sayu. Tidak bisa dipungkiri, kabut gairah yang pekat menyelimuti mereka. River menghela napas panjang lalu mundur beberapa langkah, membiarkan istrinya menarik handuk dan menutupi tubuh telanjangnya.

"Sebaiknya kamu ganti pakaian, aku tunggu di luar."

Tanpa menunggu jawaban, River bergegas meninggalkan Siera. Bangkit dengan tubuh gamang, Siera menuju ruang ganti untuk memakai kembali pakaiannya. Pikirannya tidak menentu, tertuju pada cumbuan yang diberikan River padanya. Suaminya yang sehari-hari terlihat lembut dan penurut, berubah menjadi penggoda. Bukan hanya bibirnya yang menuntut. tapi jemarinya pun sama. Seumur hidup baru kali ini Siera merasakan tubuhnya panas terbakar gairah. Ia bahkan tanpa sadar mengerang dan menuntut lebih. Memejam lalu menghela napas panjang, Siera meletakkan kepala di dinding. Berusaha menenangkan diri sebelum keluar dari ruang ganti.

Tidak ada siapa-siapa saat ia keluar dan mendapati ruangan kosong. Entah di mana terapis yang melayaninya. Ia berniat memberi tips tapi dua perempuan yang sebelumnya ada di sini menghilang. Apakah River mengusir mereka? Menatap ranjang tempatnya bercumbu dengan River, dada Siera kembali berdesir. River adalah suaminya, tidak salah kalau menuntut kemesraan. Meskipun bisa dikatakan, itu berarti keluar dari jalur perjanjian mereka. Seingatnya dulu ada perjanjian di mana saat menikah tidak akan ada sex. Nyatanya sebuah ciuman dan cumbuan membuat tubuhnya luluh lantak.

"Ini bukan apa-apa. Hanya cumbuan bisa," gumam Siera pada diri sendiri. Tangannya memegang pintu dan membukanya dan menatap River yang tersenyum padanya.

"Sayang, kita pulang sekarang?"

Seolah tidak pernah terjadi apa pun, River mengulurkan tangan untuk menggandeng Siera menuruni tangga. Sikap santainya tidak terlihat kalau baru saja mencumbunya dengan panas. Siera bertanya-tanya apakah semua laki-laki seperti River? Bisa begitu tenang setelah berciuman, sementara hatinya berdebar tidak karuan?

Tiba di lantai dasar, semua pegawai spa berbaris di pintu dan membungkuk saat melihatnya datang. Kebingungannya dijawab oleh River.

"Aku sudah membayar tagihan, mereka juga mendapatkan tips."

"Sikap mereka ramah sekali, aku merasa seperti yakuza yang sedang diantar anak buah. Seperti yang ada di film-film."

River tergelak, merasa kalau istrinya sangat lucu. Memang tidak salah kalau Siera merasa seperti itu, karena memang kenyataannya begitu. Hanya saja istrinya tidak tahu menahu soal asal usulnya.

"Sayang, aku ada sedikit urusan malam ini. Kamu aku tinggal nggak apa-apa?"

"Urusan apa?" tanya Siera saat suaminya meminta ijin pergi.

"Masalah bisnis dengan beberapa teman. Mungkin agak lama, jangan takut tidur sendirian. Aku akan meminta penjaga untuk mengecekmu dan ingat, telepon aku kalau terjadi sesuatu."

Siera mengangguk tanpa kata, bertanya-tanya tentang apa yang akan dilakukan suaminya di tengah malam buat? Apakah pertemuan memang tentang bisnis atau melibatkan hal pribadi lain? Apakah ada perempuan yang akan terlibat? Siera ingin bertanya tentang semua itu tapi memilih untuk menyimpannya dalam hati saja. Ia tidak tahu, setelah cumbuan mereka di spa malam ini apakah hati River menjadi miliknya atau tidak. Banyak orang mengatakan kalau laki-laki bisa mencium perempuan mana pun tanpa rasa cinta. Siera dibuat gundah oleh pikirannya sendiri.
.
.
.
Di Karyakarsa ending.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro