17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Detak jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam lewat sepuluh, menyisakan suara kucing atau sesekali suara cicak yang sedang pesta nyamuk di teras rumah. Di ruang tamu yang penerangannya sengaja dimatikan, Valentina tengah merangkul lengan Raditya erat sambil sesekali berteriak kencang. Raditya yang setengah sadar karena kelelahan berjingkat kaget saat melihat adegan hantu 'ibu' tengah berdiri di belakang jendela dengan pandangan kosong. Belum lagi efek backsound yang menambah epik film Pengabdi Setan seri pertama yang disutradarai Joko Anwar. 

Raditya mendengus melihat kelakuan Valentina yang tidak dipegang omongannya. Dia yakin setelah ini gadis itu akan mengganggu Raditya dengan permintaan aneh-aneh seperti sebelumnya. Dia menguap lebar, walau film ini menarik ditonton tapi matanya sudah seperti lampu lima watt mau korsleting tak sanggup menahan kantuk. Bolak-balik menguap bak kebo kurang tidur sampai korneanya berair. Alhasil, Raditya yang masa bodo dengan teriakan Valentina langsung merangkul gadis itu seperti guling hidup yang memberinya kehangatan. 

  Yang dipeluk langsung mematung, apalagi Raditya terlelap di ceruk leher Valentina dengan dengkuran cukup keras. Valentina mencoba membangunkan suami jahanam yang telah meninggalkannya ke alam mimpi sementara adegan horor masih terus berputar. Tentu saja Valentina tidak ingin melihatnya seorang diri, belum lagi imajinasi liar langsung menggerayanginya. 

Bagaimana jika sosok ibu datang di belakang mereka?

Bagaimana jika hantu-hantu itu menyerang Valentina?

Bagaimana jika ... 

"Dit ..." cicit Valentina yang tidak dihiraukan Raditya.

Untuk beberapa saat, tontonan di televisi sudah tak berarti lagi kala Valentina meniti wajah Raditya. Walau hanya menyisakan sorot cahaya dari layar 49 inci itu, harus diakui Valentina kalau Tuhan sudah memahat wajah Raditya begitu sempurna. Ukiran alis tebal yang melengkung apik bak tikungan dekat Hotel Sahid, hidung mancung yang lubangnya kembang kempis, belum lagi bibirnya yang tebal bagian bawah nan kemerahan karena Raditya tidak pernah merokok. Tubuh tinggi yang diwariskan dari ayahnya ditambah Raditya pernah mengikuti klub voli di sekolah. Nilai plus lain adalah kedua tangan Raditya terampil bikin makanan. 

"Dia pinter bikin anak juga enggak ya?" gumam Valentina kemudian mengerjapkan mata menghapus pikiran kotor yang menyelinap di kepala.

Tiba-tiba Raditya terbangun dan menatap lurus ke arah Valentina membuat gadis yang suka bicara asal itu menepuk bibirnya sendiri. Dia takut kalau Raditya mendengar apa yang dikatakannya tadi. Raditya mengerjapkan mata lalu pandangan itu tertuju pada bibir Valentina. Tidak ada ancang-ancang maupun undangan kalau bibir itu akan disapa oleh bibir Raditya.

"Kamu nantang aku?" desis Raditya pelan kembali memagut bibir itu tanpa menunggu Valentina mengklarifikasi ucapannya.   

Bola mata Valentina membulat bahkan ingin menggelinding ke lantai lalu melompat bak bola pingpong, merasakan betapa lembutnya sentuhan bibir Raditya. Sekujur tubuh yang memakai piyama Spongebob itu merinding melebihi kehadiran kuntilanak yang mengawasi dua manusia dari kejauhan. Valentina bingung harus bagaimana membalas kecupan itu ketika Raditya menggigit pelan bibirnya. 

Iki lambeku kudu mangap opo yo opo? 

(ini bibirku harus terbuka apa gimana?)

Valentina memang bukan gadis sok polos, dia juga pernah menonton film dewasa rame-rame bersama teman-temannya di indekos. Lantas berbekal secuil ingatan agar seperti scene ciuman Christian Grey dan Anastasia di lift, Valentina pun memiringkan kepala menerima belaian Raditya. Seperti sudah mendapatkan ijin, tangan Raditya merangkak naik dan masuk ke balik baju Valentina membuat si empunya tubuh langsung mendorong Raditya dan menampar seraya berseru, 

"Dit, aku masih perawan!"

###

Valentina baru bisa tidur pulas di kamar Raditya setelah menyelesaikan salat subuh dan bangun saat azan dzuhur. Seharusnya dia bisa menonton bagaimana kelanjutan film garapan Joko Anwar itu. Sayang, di pertengahan Raditya malah mencium Valentina setelah bergumam apakah lelaki itu bisa membuat anak. Valentina sampai terkaget-kaget bagaimana bisa Raditya yang sudah tertidur pulas bak orang mati, tiba-tiba bangun dan menantangnya? Lalu tanpa meminta ijin Raditya langsung menyambar bibir dan tangannya mulai bermain-main di balik baju.

Untung, Valentina berhasil kabur karena ketakutan kalau diperkosa oleh suami sendiri. Mungkin bagi pasutri lainnya, hal itu adalah sesuatu yang lumrah bahkan banyak yang bilang kalau awal pernikahan pasangan yang baru merasakan surga dunia bakal tidak mengenal waktu dan tempat untuk mencetak bayi-bayi lucu. 

Bukannya sok suci, sungguh Valentina juga ingin memiliki bayi lucu sendiri. Hanya saja, rasanya aneh kalau melakukannya bersama Raditya yang sudah dia kenal sejak kecil. Meski ada perbedaan sekitar tujuh tahun, tetap saja Valentina merasa geli sendiri. Kemarin setelah dia menampar Raditya, Valentina meminta tolong sang suami untuk menemaninya tidur dengan pembatas guling dan bertitah kalau dia masih ingin menjadi gadis perawan. 

Di sisi lain, semalam adalah hal yang tidak bisa dia lupakan seumur hidup. Buktinya sekarang, efek ciuman semalam tak mau hilang seolah Valentina sedang terjangkit virus mematikan. Gejala yang bisa menghentikan dunianya mulai muncul berupa debaran jantung seperti orang yang terkena aritmia, napasnya naik-turun secara cepat seakan oksigen di sekitar tak mampu mengisi dada, seluruh sel sarafnya terhipnotis dan menciptakan gelenyar aneh yang terkumpul di lambung dan bergerombol di diafragmanya. Valentina takut jika dia muntah jutaan bunga-bunga dari dalam mulutnya akibat ciuman manis Raditya. Apakah dia perlu menelan obat anti-muntah?

Alay anjir ... 

Di balik selimut biru yang menutupi sekujur tubuh, Valentina enggan beranjak dari kasur meski Raditya sudah pergi ke rumah sakit sejak pagi. Ini akibat kalau terlalu menjadi sok pemberani menonton film horor, pergi ke kamar mandi saja Valentina takut. Dia meraih ponsel di atas nakas yang masih melantunkan musik lalu bergegas merapikan kasur Raditya dan memilih mandi di kamar mandi masjid rumah sakit. 

Tak sengaja matanya menangkap bingkai foto Raditya dan Valentina. Dia mengernyit mendekati bingkai foto yang ada di meja berisi tumpukan buku-buku kedokteran. Seketika Valentina mencibir memandangi potret dirinya yang masih kelas tujuh SMP sementara Raditya sudah menginjak semester awal perkuliahan. Valentina mencibir penampilannya sendiri yang seperti anak perempuan yang terkena abu vulkanik. Kulitnya kusam dan tak terawat, rambutnya diikat dua, serta tubuhnya masih kurus seperti layangan.

"Kenapa juga dia nyimpen foto ini, kenapa enggak foto pas kita menikah," gerutu Valentina. "Tapi ... cakep juga si Radit meski rambutnya kayak tikus kecemplung got."

Sejurus kemudian, Valentina bertanya-tanya dalam hati, setelah kejadian kemarin, apakah hubungannya dengan Raditya akan berjalan seperti biasanya? Jujur saja, Valentina tidak sanggup bertemu lelaki itu di rumah sakit dan ragu jika dia bisa bersikap layaknya orang tak dikenal. Valentina hanya bisa berharap kepada Sang Pencipta agar tak perlu mempertemukannya dengan Raditya selama shift siang ini. Dia tidak butuh kehebatan Raditya sebagai residen sekarang. Dia butuh ketenangan agar bisa menetralkan degup jantung dan bayangan sang suami yang sudah mengusik otaknya. 

"Yuk bisa yuk! Harus bisa bersikap biasa. Cipokan doang mah ..." Valentina menjentikkan jarinya untuk menghibur diri sendiri bahwa reaksi ciuman semalam tidak akan mengubah apa pun. 

Termasuk hatinya ...

Semoga ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro