30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karma? Mungkin lelaki yang tengah duduk termangu di ruang dokter PPDS akan membenarkan kata itu. Benar apa kata pepatah, seseorang akan terlihat begitu berharga ketika sudah kehilangannya. Bukan satu, melainkan dia kehilangan dua perempuan yang berarti di hati dan sekarang sangat terasa betapa dia memang serakah atas apa yang diinginkan sebelumnya. Dia menengadah, menatap langit-langit ruang tempatnya bekerja sekaligus mengistirahatkan diri lalu meraih ponsel dan kembali menaruhnya di atas meja tak menemukan jawaban atas keresahan yang mengurung hati. 

Sudah beberapa hari sejak peristiwa itu, baik Julia maupun Raditya sama-sama saling menjauh bagai orang asing. Raditya sudah berusaha untuk mendekati gadis yang sudah menjadi mantan kekasihnya sekadar meminta maaf atas apa yang selama ini diperbuat. Dia paham perasaan kecewa Julia padanya dan tahu bahwa kebohongan yang dilakukan Raditya memang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun.

Meski satu tim, Julia selalu menganggap Raditya seakan tak ada di sana tak peduli ketika mereka sedang bed side teaching bersama pembimbing atau presentasi morning report bahkan saat ujian praktik. Tidak hanya mahasiswa sesama PPDS saja yang tahu masalah pelik ini, para dosen di kampus Raditya sampai dokter-dokter pembimbingnya telah mendengar desas-desus bahwa Raditya sudah tidak melajang lagi. Namun, mereka memilih tidak mengurusi kehidupan pribadi selama tidak mengganggu jalannya masa praktik. Selain itu, memang tidak ada yang salah dengan PPDS yang memutuskan menikah karena sejatinya manusia ditakdirkan berpasangan. Yang disayangkan, kenapa pula harus menutupi status tersebut jikalau memang pernikahan itu bukan karena ada insiden marriage by accident. 

Di sisi lain, ketika Raditya pulang, suasana rumah seperti ada yang kurang. Tidak ada lagi suara yang biasanya berteriak minta uang karena kuota habis, tidak ada suara yang protes karena kelaparan di tengah malam, atau tidak ada suara yang mengeluh karena banyak tugas yang wajib diselesaikan. Pernah sekali waktu, Raditya tak sengaja memanggil Valentina untuk dibuatkan mi instan ketika menginjakkan kaki di rumah. Kemudian, dia sadar kalau gadis itu masih merajuk dan memilih tinggal entah di mana. Yang pasti, Valentina tidak tidur di rumah orang tuanya. Lantas di mana?

Suara kenop pintu yang terbuka, membuyarkan lamunan panjang Raditya. Sosok Julia berdiri di ambang pintu dan termangu beberapa saat sebelum dia membanting pintu untuk menghindari sang mantan. Buru-buru Raditya berdiri untuk mengejar Julia yang berjalan cepat keluar lorong dari ruang rawat inap penyakit dalam khusus laki-laki. Ditarik lengan kanan gadis itu dan berkata, "Julia, please, kita perlu bicara."

"Enggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Dit!" elak gadis itu menepis tangan Raditya. "Kita sudah selesai. Kamu dan aku udah bukan jadi kita lagi, paham?"

"Maaf, aku minta maaf, Julia," ucap Raditya memelas. 

"Maaf? Gampang banget," ketus Julia memandang sang mantan dari atas sampai bawah. "Maaf doang gampang, Dit. Tapi, enggak bisa mengembalikan kepercayaanku sama kamu."

"Julia," panggil Raditya hendak menyentuh gadis itu.

"Udahlah, anggap hari ini hari terakhir kita bicara, Dit! Lainnya basi!" Kaki Julia bergerak menjauhi Raditya yang mematung menatap tubuh ramping itu benar-benar pergi darinya. 

Karma? Tentu ini adalah hukuman yang ditelan Raditya setelah mempermainkan perasaan dua perempuan. Lantas setelah ini apa? pikir lelaki itu yang terjebak dalam lubang dilema tanpa sebuah jalan keluar. Bukankah dia pantas menerima semua ini setelah bersikap kejam kepada Julia maupun Valentina? Ah, sepertinya doa sang istri lebih didengar langit daripada doanya sendiri. 

"Tina ... aku harus minta maaf sama dia," gumam Raditya berharap bisa terlepas dari belenggu karma ini. 

###

"He, kamu!" panggil Raditya kala berpapasan dengan Okin di lorong rumah sakit. Lelaki itu terlihat membawa kertas juga cool box yang diyakini Raditya kalau si mahasiswa bertubuh macam hulk keluar dari ruang laboratorium.

Waduh, mampus, batin Okin ciut ingin menghilang saat ini juga.

"Si-siap, Dok!" 

 Boleh jadi tinggi mahasiswa itu hampir menyamai Raditya, 185 cm, badannya juga boleh lebih besar dari sang dokter. Tapi kelebihan fisik yang dimiliki Okin nyatanya tak sebanding dengan mulut pedas tanpa filter si dokter yang bisa membuatnya ketakutan setengah mampus. Dipanggil Raditya seperti ini saja serasa diabsen malaikat maut hingga keringat sebesar butiran jagung langsung bermunculan di dahi Okin. 

"Kamu tahu di mana istri saya tinggal sekarang?" tanya Raditya. "Saya ada perlu penting dengannya."

Istri? Okin membatin lalu mengingat-ingat ucapan Valentina beberapa waktu lalu. 

"Kalian tahu yang paling menyakitkan? Masa iya aku dipanggil pembantu di depan Julia," keluh Valentina sambil menitikkan air mata. "Dia pernah menertawakan hasil masakanku sama si kampret itu. Bayangin, aku bangun jam empat pagi buat bikin cap cay kesukaan dia sampai jariku keiris. Sakit banget kan?"

"Oh ... tumben manggil istri, Dok, bukan pembantu," sindir Okin mencoba memberanikan diri melawan Raditya agar tak semena-mena. "Saya juga enggak tahu di mana pembantu dokter tinggal." Dia sengaja menekankan kata 'pembantu' agar Raditya sadar bahwa pernah mengejek Valentina sebagai seorang pengurus rumah tangga bukannya istri yang bersusah payah melayani diri lelaki itu. 

"Saya tanya baik-baik loh ini, bukan mengajak kamu tawuran," ucap Raditya terpancing emosi. "Di mana Tina? Saya ada perlu--"

"Maaf, Dok, saya janji enggak akan buka mulut di mana teman saya yang katanya pembantu itu tinggal," ujar Okin lalu mengangkat cool box biru milik ruangan, "Saya pamit dulu mau pasang transfusi."

"Sialan," gerutu Raditya kesal.

Perjuangan Raditya tak berhenti dari sana saja. Setiap kali bertemu dengan mahasiswa yang memakai seragam seperti Valentina, dia akan mengajukan pertanyaan yang sama apakah mereka tahu di mana sang istri tinggal. Dia sudah tidak memedulikan pandangan penuh selidik yang terpenting baginya saat ini Raditya tahu di mana Valentina berada. Tapi, jawaban yang sama juga diterima membuat lelaki itu nyaris menyerah. 

"Enggak tahu, Dok, kami enggak satu kelompok sama Tina."

"Wah, maaf, Dok, saya jarang ketemu Tina, coba tanya aja sama Dyas atau Okin."

"Lapor polisi aja, Dok, kalau Tina belum balik ke rumah. Kita juga enggak tahu di mana dia."

Pernyataan yang diterima makin lama makin ngawur bahkan sampai ada yang menyarankan untuk lapor polisi. Raditya berpikir kalau itu sudah berlebihan apalagi dia masih satu ruang tempat magang. Seharusnya lebih mudah mencari informasi kan? Tapi, kenapa sekarang mendapat satu kebenaran saja seperti mencari kutu rambut? Susah minta ampun. 

Menelepon Valentina pun percuma, nomor ponselnya diblokir termasuk media sosial dari Instagram, Twitter, Facebook, hingga Tik Tok. Walau menggunakan second account, Valentina juga tidak kunjung membalas karena semua akun itu dikunci. Meminta persetujuan pertemanan, Valentina malah menolak hingga Raditya frustrasi dibuatnya. 

Cara terakhir adalah menghubungi kedua orang tuanya atau mertua, tapi jika dia menggunakan langkah pamungkas ini bisa dipastikan Raditya akan mendapat lemparan piring karena sudah membuat gadis kesayangan mereka menangis. Tubuh Raditya bergidik ngeri membayangkan Sofia akan mengeluarkan berbagai umpatan dan ceramah berjam-jam sampai telinganya memerah tentang bagaimana memuliakan istri. 

"Gimana caranya buat ketemu dia? Mana aku enggak tahu jadwal ..." kalimat Raditya menguap di udara ketika menemukan ide brilian. Dia mengulum senyum lalu bergegas pergi ke ruang rawat inap penyakit dalam perempuan setelah melakukan visite harian ke pasien.

###

Sepertinya Tuhan memang sedang berpihak kepada Valentina ketika batang hidung gadis itu tak tampak di ruang rawat inap walau Raditya sudah menunggu sampai berlumut. Sementara itu, dia mendapat telepon dari para mak-mak yang menanyakan anak sekaligus menantu kesayangan ditambah pertanyaan yang cukup menusuk sanubari Raditya. Entah Valentina telah mengadu atau tidak kepada mereka, Sofia menyindir habis-habisan putra tunggalnya sebagai playboy tak tahu malu yang tak bersyukur memiliki istri sesabar Valentina. Sofia menyuruh Raditya untuk segera menjemput Valentina apa pun yang terjadi dan tidak akan dianggap anak jikalau tak berhasil membawa pulang menantu kesayangan. 

"Jangan sampai kamu jadi bahan bualan orang-orang, Dit, cowok yang nama depannya R ternyata sama aja yang baik cuma Reyhan," sembur Sofia melalui sambungan telepon. "Mama lihat di berita tuh lagi rame cowok playboy kayak kamu kena karma semua."

Dia menyandarkan diri di kursi ruang dokter, membuka lembar demi lembar buku catatan penyakit dalam tak minat. Pikirannya sibuk memikirkan bagaimana cara mendapatkan hati Valentina lagi terutama meyakinkan gadis itu kalau sejujurnya ada rasa yang menyapa Raditya. Jujur saja, dia sendiri tidak tahu kapan tepatnya mulai menaruh perasaan ini kepada Valentina. Mungkin sejak gadis itu mengajaknya makan tahu tek malam-malam atau semenjak ciuman pertama mereka sebagai pasangan suami-istri. Raditya menggeleng pelan, rasanya jauh sebelum hal itu terjadi. 

Apa sejak dia SMP ya? SMA? 

"Dok!" panggil perawat yang tidak disadari kehadirannya oleh Raditya. 

Lelaki berkacamata itu gelagapan dan membenarkan posisi duduknya kala perawat berambut mirip kartun Dora menyerahkan secarik kertas. "Ini alamatnya Valentina, tadi saya tanya ke temennya. Saya iming-imingi duit yang dikasih Dokter Radit."

"Wah! Makasih, Bu!" seru Raditya kegirangan membaca alamat kos yang tak jauh dari rumah sakit.

###

Si putih kesayangan Raditya berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah bergaya minimalis dengan taman sepetak. Dari sini dia melihat ada motor Valentina terparkir di antara dua motor matic. Dia mengedarkan pandangan lalu melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kampung daerah Bendul Merisi sudah sangat sepi, Raditya ragu apakah gadis itu masih terjaga atau terlelap. Tapi, mengingat sudah seminggu lebih Valentina kabur dari rumah, membuat Raditya memutuskan turun dari mobil. 

Dia berjalan perlahan, membuka pintu pagar yang belum terkunci dan melihat temaram lampu salah satu kamar diiringi lagu-lagu K-pop yang tidak dipahaminya. Raditya mengendap-endap layaknya pencuri dengan debaran jantung yang berdentum keras dalam dada. Dia berpikir apakah ini salah ketika yang dicurinya adalah istri sendiri?

"Dyas, kamu mau tahu tek enggak? Aku mau keluar!" suara Valentina terdengar mendekat membuat langkah kaki Raditya seketika berhenti. 

Napasnya langsung tersendat ketika sosok yang amat dirindukan keluar dari pintu utama rumah itu dengan mengenakan celana olahraga dan jaket merah berlogo kampus. Dunia seakan ikut berhenti, kala Valentina mematung di sana sampai tak sengaja menjatuhkan kunci motornya ke lantai teras. 

Mampus! Ketahuan! rutuk Valentina. 

Bumi sepertinya sedang menahan Raditya untuk tetap berada di posisinya dan tidak mengizinkan menjemput Valentina ketika gadis itu bergerak mundur. Lantas dia berseru, "Tina!" Sekuat tenaga, Raditya memaksa tungkainya bergerak menghampiri Valentina selanjutnya menarik kedua lengan sang istri lalu menangkup wajah berpipi chubby itu penuh kelegaan. "Aku perlu bicara sama kamu, Tin, please."

Valentina menggigit bibir bawah enggan untuk menerima permintaan Raditya. Tapi melihat sorot mata yang terlihat menyayat hati, akhirnya dia menyetujui dan menyuruh lelaki itu duduk di kursi rotan di teras. Entah apa yang akan diucapkan Raditya mengingat sebelum-sebelumnya tak pernah lelaki itu mengajak bicara seperti ini bahkan sewaktu mereka masih satu rumah. Apakah Tuhan sudah menghukum lelaki di sampingnya ini?

Tuhan, kalau menghukum Raditya tolong jangan setengah-setengah. Aku rela kok Engkau nistakan dia di dunia ini. 

Sengaja Valentina tidak membuka suara karena berusaha membentengi diri agar tidak luluh jikalau tiba-tiba lelaki itu berkata sayang. Menurut film dan buku romansa yang dilihatnya, kebanyakan adegan seperti ini akan diisi dengan permintaan maaf dan ucapan cinta kalau karakter pria tak bisa hidup tanpa wanitanya. 

Cih! Menjijikkan, batin Valentina bergidik. 

"Aku minta maaf sebelumnya," ucap Raditya membuka kalimat. 

Tuh kan?

Valentina hanya melirik lelaki di sampingnya, tapi kenapa hatinya malah bergetar menerima perkataan seperti itu? Selemah itukah Valentina sampai-sampai kristal bening yang tak diundang tiba-tiba bergumul di pelupuk mata? Dia mendongak, memilih menghitung cicak-cicak yang menempel di tembok dan menjadi saksi bisu mereka lalu memandangi bunga bougenville yang bergoyang ditiup angin malam. 

"Aku salah," lanjut Raditya. 

Valentina menoleh dengan raut wajah sedih bercampur kecewa. "Salah? Lantas di mana hatimu waktu aku dijahatin Julia, Dit? Baru sekarang kamu nyadar?"

Raditya beranjak lalu berjongkok di hadapan sang istri, menyentuh kedua tangan Valentina dan menggenggamnya erat. "Maaf, aku salah..."

"Kamu enggak bela aku, Dit," ucap Valentina dan sialnya dia malah menangis.

Dasar lemah kau Tina! Gini aja langsung mewek!

"Aku menyesal, Tina," balas Raditya memandang lurus ke arah iris mata Valentina. 

"Sekali pun kamu menyesal, enggak bikin aku bisa balik sama kamu lagi," kata Valentina sesenggukan melepas genggaman tangan Raditya. "Kita ... pikirkan baik-baik hubungan ini, Dit. Aku merasa ..."

"Tin, please, hubungan ini hanya perlu kita perbaiki," pinta Raditya menangkup wajah Valentina, menempelkan dahinya ke dahi gadis itu untuk merasakan betapa menyesal dirinya. "Aku sama kamu aja, udah enggak ada yang lain."

"Kamu pikir aku percaya?" balas Valentina menepis tangan Raditya dari pipinya lalu berdiri. "Udahlah, biarkan kita seperti ini sementara, Dit. Biar kita bisa berpikir jernih dulu."

Lalu gadis itu masuk kembali ke kamar kos dan menutup pintu utama rumah itu meninggalkan Raditya seorang diri yang terpaksa menelan keputusasaan tuk sekian kali. Valentina mengintip melalui tirai jendela dekat rak sepatu melihat wajah tertunduk Raditya sambil menghela napas panjang kemudian berjalan gontai meninggalkan kos.

Tak lama, Dyas muncul dari dalam kamarnya karena mendengar percakapan pasutri itu dan menepuk pundak temannya hendak memberikan kekuatan bahwa Valentina bisa melewati fase menyakitkan ini. Tadi, dia tidak berani keluar karena ingin memberikan privasi kepada mereka berdua. Sudah sepatutnya, Valentina menghadapi Raditya setelah rahasia mereka terkuak akibat ulah Brian. 

Valentina berbalik dengan derai air mata lalu tersenyum lebar disusul tawa menggelegar seisi rumah tak memedulikan anak kos lain yang mungkin sedang terbuai di alam mimpi. Dia merangkul pundak kanan Dyas sambil mengusap air mata dengan tangan kiri lalu bertos ria. 

"Berhasil!" seru dua gadis itu kompak. 

***
Halo! Yuk baca sampai tamat + extra part di Karyakarsa. Kalian bisa beli per volume isi dua bab dengan harga 3000 atau paketan BPJS yang lebih murah dan berlaku seumur hidup.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro