Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma telur bercampur daun bawang masih melambai-lambai di depan hidung setengah mancung milik Valentina. Dia menjunjung tinggi bungkusan berisi martabak spesial daging sapi berharap suami jahanamnya mau mengampuni kelakuan Valentina.  Dia melongok sebentar ke arah pintu rumah bercat hitam sebelum menggeser pagar. Beruntung mobil milik perempuan imitasi Donita itu sudah tidak ada, berganti dengan motor matic Valentina yang masih teronggok tak berdaya dengan ban sepeda yang bocor. 

Derit pagar berbunyi,  Valentina berjalan sambil berjinjit akibat sepatu kanannya tadi siang dilempar ke arah kekasih Raditya, menyisakan kaus kaki putih yang sudah tidak suci lagi. Setelah melepas sebelah pantofel dan kaus kaki,  dia membuka pintu dan mendapati Raditya tengah duduk di ruang tamu seraya melipat tangan di dada seakan tahu kalau gadis itu akan pulang selepas maghrib. 

"Sini!" perintah Raditya seperti akan mencekik leher Valentina. 

"Sebelum ngamuk, makan dulu," kata Valentina menyodorkan bungkusan bermerek Martabak dan Terang Bulan Bolland.  "Pasti laper kan?"

"Siapa yang nyuruh kamu duduk!" seru Raditya melihat Valentina hendak menaruh bokongnya ke sofa,  mengabaikan martabak yang sudah dibelikan susah payah.

Iris mata cokelat Raditya menyorot tajam ke wajah berpipi tembem yang kini sibuk memandangi lantai dan memilin ujung jaket jeans.  Setiap mengamati sang istri,  rasanya kesabaran Raditya langsung terisap habis sampai tak tersisa. Tak habis pikir dengan kegilaan sekaligus hal kekanakan Valentina hanya karena masalah sepele. 

Akhirnya dia tahu apa yang menyebabkan Valentina berbuat nekat.  Tapi,  Raditya tidak bermaksud merendahkan profesi gadis itu. Terlebih tanpa perawat, dokter tidak akan bekerja secara maksimal di instansi mana pun. Mereka adalah satu kesatuan yang tidak bisa berdiri sendiri sebanyak apa pun gelar yang dikoleksi. Sebagai partner di rumah sakit,  Raditya ingin mereka cakap dan tanggap ketika ditanya walaupun masih berstatus siswa magang.  Bukannya diam dan melongo seperti kerbau, datang praktik tapi tak mendapatkan ilmu.  Belum lagi pasien kemarin mengalami sindrom yang bisa menyebabkan kematian jika salah merepresentasikan hasil rekam jantung. 

"Maaf."

Sebuah pernyataan langka meluncur begitu saja dari bibir Valentina. Kedua alis tebal Raditya menyatu seperti untaian serabut saraf yang baru saja disatukan. Dia tercengang bukan main, sampai-sampai mengulang ucapan Valentina dalam hati.  Benarkah gadis itu memohon ampun? Apakah perkataannya tulus atau sekadar modus untuk tidak mendapat balasan setimpal?

"Aku khilaf. Maaf ya,  Dit," ucap Valentina lagi, melirik lelaki di depannya dari bulu mata lentiknya.  "Kan sudah aku beliin martabak."

"Terus apa dengan beliin aku martabak,  mobilku bisa kinclong lagi?" sembur Raditya jengkel jikalau mengingat si putih yang dirawat sepenuh hati kini telah dinodai. Butuh banyak biaya agar bisa mengembalikan kesucian si putih seperti sedia kala. "Kamu itu udah dewasa, ngapain sih sampe nyoret-nyoret mobil? Ngelempar Julia pakai sepatu? Kamu emangnya anak TK? Malu tahu enggak,  Tin!"

Seperti padi yang makin berisi makin merunduk,  bedanya Valentina justru tersudut dengan dua kesalahan terbesarnya sampai tak berani mendongakkan kepala. Emosi sesaat sudah menggelapkan akal sehatnya padahal Okin waktu itu sudah mencegah Valentina untuk tidak mencoret mobil. 

"Serius kamu? Kalau ketahuan kita bisa enggak lulus, Tina."

"Biar jera,  Kin. Kamu sendiri tadi malam dongkol kan sama mereka? Enggak usah sok suci deh!"

"Kalau bukan di rumah sakit, aku berani, Tin. Disuruh adu jotos, ayo-ayo aja. Masalahnya, ini instansi, nama baik kampus dipertaruhkan tahu! Jangan batu deh!"

"Ya udah, kalau gitu. Kamu pulang sana! Badan doang gede, nyali minus!"

"Kan aku udah bilang maaf,  Dit. Kamu mau apalagi?" cicit Valentina gemas. Dia merasa ingin sekali membenturkan kepala ke tembok agar besok-besok otaknya mampu mencerna masalah dengan lebih baik,  bukannya mengutamakan kekesalan. Sayang semua keberanian yang biasanya meletup-letup lenyap tanpa jejak berganti dengan kecemasan hingga matanya memerah dan berkaca-kaca.

"Laporin kamu sama temenmu lah!" ketus Raditya membuat kristal bening yang sedari tadi bergumul di pelupuk mata Valentina mendadak turun deras. "Kamu kira aku enggak berani lapor ke dosenmu? Sekalian aja jadi mahasiswa gagal kan? Apa? Nangis? Sekarang udah terlanjur gini malah nangis? Basi!"

Lidahnya mendadak lumpuh tak dapat membalas cemoohan Raditya di kala posisi lelaki itu benar.  Valentina memang salah besar dan hukuman skorsing dari pihak kampus mau pun rumah sakit kini membayangi dirinya. Selain itu,  ekspresi murka Okin menambah runyam keadaan. Dia pasti marah besar jika namanya terseret padahal dalangnya adalah Valentina sendiri. 

Dulu dosennya pernah bertitah,  selama ners,  secerdas apa pun siswa yang dinilai adalah attitude-nya.  Apalagi mereka dibagi dalam kelompok kecil selama satu semester. Mau tidak mau, suka tidak suka,  sifat-sifat asli  mereka akan muncul dalam kelompok. Jika salah satu anggota membuat keributan, maka nilai kelompok akan berpengaruh semua.

Selama pendidikan ners yang memakan waktu setahun, diharapkan mereka bisa membangun kerja sama tim yang solid.  Ini juga sebagai latihan para calon perawat dalam menghadapi berbagai masalah di ruang kerja baik itu rumah sakit atau puskesmas,  jikalau mereka ditunjuk sebagai pemimpin.

"Kita di sini sebagai kelompok, kalau ada yang enggak suka sama sifatku bilang ya!" tegas Okin.  "Nanti kalian aku traktir bakso deh! Kalau punya duit,  hehehe... "

"Kalau presentasi yang penting gantian ya. Aku sadar di sini,  IPK-ku agak di atas kalian dikit. Tapi,  jujur, aku enggak suka parasit! Paham kan?" sahut Dyas. 

"Kalau teori jujur aku paling o'on," sahut Iwan. "Kalau praktek,  ayo lah hajar!"

"Pokoknya,  aku bergantung sama kamu, Tin.  Maksudnya,  sebagai ketua kelompok aku yakin kamu bijak," tambah Okin dengan senyum tipis.

Mengingat semua percakapan ketiga temannya, menyesakkan dada Valentina.  Dia menangis tersedu-sedu menyesali perbuatan yang sudah terlanjur menjadi bubur. Waktu tidak dapat diputar, pun dia sudah dijadikan panutan walau kadang sikap sensitif dan emosionalnya bisa meledak kapan saja. 

Valentina tidak tahu harus berkata apa kala dosen memanggil kelompoknya akibat kecerobohan yang didasari emosi semata. Mungkin dia harus memohon ampun sampai bersujud kepada kelompoknya agar mereka bisa maafkan si gadis batu ini. 

"Habisnya kamu bocorin ban motorku, ngeledek aku di depan cewekmu,  siapa yang enggak sakit hati coba?" suara serak di antara isak tangis Valentina terdengar, tapi rasanya suara itu tak akan mampu menembus dinding baja yang ada di hati suaminya.  Raditya tipikal orang yang susah untuk luluh walau ribuan ucapan maaf diterima. Bahkan sepertinya sekotak martabak yang mulai dingin itu tak berarti lagi di mata sang residen. 

"Ya kamu sendiri yang mulai kan? Aku nyuruh simpel doang. Bajuku kamu cuciin. Siapa yang kemarin ngelempar bajuku ke kencingnya pasien? Kamu kan?" tunjuk Raditya. "Sekarang kamu anggap ini semua salahku?"

Valentina terdiam seribu bahasa. Sedari awal, semua memang salahnya. Dia terlalu mudah tersulut amarah semenjak praktik di instalasi gawat darurat. Entah karena perjalanan ners yang terasa berat atau kehidupan pernikahan mendadak yang tidak diinginkannya. Ditambah teguran dari si penyihir juga sederet tugas-tugas yang tidak mau berhenti sama sekali.

Perasaanya campur aduk tak karuan sampai dadanya berdebar kencang.  Resah dengan ancaman Raditya. Siapa yang tidak kenal dengan residen tampan nan ramah lingkungan itu? Hanya pada Valentina lah semua sikap bak malaikat Raditya hilang berganti dengan sikap kejam tak tahu ampun. 

Tak kunjung direspon,  Raditya memilih hengkang daripada lama-lama berinteraksi dengan Valentina. Sudah cukup dia menghabiskan seluruh energi untuk meladeni tingkah konyol istri kekanakannya itu.

"Dit!" panggil Valentina menghentikan langkah Raditya menuju kamar.  "Aku mau melakukan apa pun tapi jangan aduin ke dosen. Please! "

"Bodo amat," desis Raditya tak menghiraukan perkataan Valentina. 

###

Pukul empat pagi,  Valentina sudah berkutat di dapur untuk menebus satu-persatu kesalahannya. Meski tak begitu pandai memasak,  setidaknya Valentina mengintip tutorial membuat cap cay kuah dari kanal Youtube. Beruntung di jaman sekarang, orang yang bodoh dalam mengolah makanan pun bisa belajar secara online daripada harus mengikuti step by step dari buku. 

Seingatnya dulu saat pertama kali bertemu Raditya, ibunya memasak cap cay kuah agak banyak karena hidangan ini merupakan kesukaan calon menantunya.    Dan benar saja, sewaktu acara keluarga inti,  Raditya paling antusias dengan cap cay yang terasa gurih. 

Kini, gadis yang mengenakan daster dan rambut yang diikat asal itu berharap banyak pada olahannya agar bisa meruntuhkan pendirian Raditya. Bukankah makanan bisa meluluhkan hati seseorang yang keras kepala? Setidaknya itu yang dipelajari Valentina dari karakter Jang Bo Hwan di serial Mr. Queen. 

"Aduh!" Valentina menjatuhkan pisau ke lantai kala tak sengaja jari telunjuknya teriris.  Buru-buru dia membuka keran air dan membasuh lukanya yang terasa pedih.  "Haish,  kampret, kenapa makanan favorit dia mesti yang ribet? Kenapa bukan mi goreng atau telor ceplok aja? Kenapa?" gerutu gadis itu.

Kenapa pula aku kawin sama cowok enggak punya hati kayak Radit?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro