Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oke, jadi, itu pasien yang pojok dekat kamar mandi atas nama Pak siapa ya ..." Valentina membuka buku catatannya saat berdiri di depan ruang P2 untuk operan jaga. "Pak Herman dengan diagnosa close fractur costa 3-5 sinistra sama close fractur 1/3 humerus sinistra. Tinggal tunggu kamar operasi, tadi dokter Raditya sudah konsul ke bagian Orthopedi."

"Wajahmu kenapa, Tin?" tanya Okin yang menangkap gelagat ekspresi wajah temannya. "Dimarahikah sama si penyihir? atau diomeli sama kepala UGD?"

Valentina menggeleng pelan tak berani membalas tatapan selidik Okin. "Enggak apa-apa. Oh iya, pasien yang dekat pintu ini, Ibu Sulastri kan diare, tadi sempat enggak sadar karena dehidrasi. Itu yang terpasang cairan ringer laktat kolf keempat ya, terus kamu sering cek terus kesadarannya. Tadi masih somnolen sih."

"Diare berapa kali? Sejak kapan?"

"Dua hari sih, enggak terhitung diarenya sampai pasien pakai pampers. Dia udah berobat ke puskesmas katanya enggak ada perubahan malah makin parah," jawab Valentina lalu menunjuk ruang P1--ruang untuk pasien gawat dan darurat--yang berhadapan dengan P2. "Ada pasien perhatian juga, bapak-bapak usia enam puluhan dengan iskemik,  riwayat hipertensi dan perokok berat. Tadi sempat enggak sadar loh!"

"Serius? Terus kamu ikut CPR enggak?"

"Ikutlah dan ..." Valentina menunduk, membiarkan ucapannya menggantung di udara.

Mendadak wajah suramnya berubah sumringah seperti menemukan cahaya Ilahi kembali. Meski mulanya Valentina kesal setengah mampus akibat dua manusia bucin mengolok masakannya, tapi untuk pertama kali Raditya memuji teknik gadis itu melakukan pijat jantung pada pasien yang bisa dibilang obesitas. Anggap saja, tenaga yang dia keluarkan untuk melakukan kompresi dada pada pasien berasal dari endapan amarah yang dipendam setiap mengingat ucapan Julia yang mengejek masakannya keasinan.

"Selamat," sambung Valentina yang dibalas lirikan sinis Okin. "Udah segitu aja, aku balik ya! Oh, besok jangan lupa orientasi ruang ICU Anestesi sama nyari kasus."

"Iya, Nyonya ..." kata Okin memasukkan buku catatan ke dalam saku skoret bertuliskan Ners Muda di bagian dada kanan. "Eh, enggak pulang bareng Brian? Dia masuk apa?"

"Malam. Enggak ah, kasian. Masa iya aku nebeng dia terus," timpal Valentina. "Udah ya, aku pulang."

Selepas keluar ruang berisi brankar yang menjadi markas mahasiswa ners, tiba-tiba terdengar suara code blue yang cukup keras. Detik berikutnya, dari lorong ruang dokter yang bersebelahan dengan ruang brankar, Valentina hampir saja tertabrak Julia yang berlari ke arah ruang P1. Merasa kepo dan mengikuti instingnya sebagai perawat, gadis itu menaruh kembali tasnya dan melangkah cepat tuk bergabung dengan tim medis lain.

Benar saja, pasien gemuk yang sempat tak sadarkan diri itu kembali terkulai tak berdaya. Detik demi detik dan saling sahut-menyahut dalam menerima instruksi Raditya yang berjaga di P1 untuk menyelamatkan pasien. Okin tampak membantu melakukan CPR sampai butiran keringat sebesar biji jagung bermunculan, sementara Julia melihat ke arah monitor yang menunjukkan pergerakan irama jantung yang cepat dan tak beraturan seperti sandi morse seraya memberikan bantuan napas dengan alat BVM (Bag Valve Mask). Perawat lain sibuk menyiapkan defibrilator dan obat-obat penunjang. 

"Saya bantu, Mbak!" Valentina berseru di sebelah perawat yang berdiri di samping kiri Okin dan  bersiap untuk oper posisi CPR. 

Okin masih bertahan sampai menit kedua, di mana monitor masih menunjukkan gambaran yang sama. Lantas Raditya menyuruh semua mundur karena akan melakukan defibrilasi--memberikan kejut listrik--120 joule dilanjut pijat jantung oleh perawat laki-laki. Okin sudah kelelahan sampai hidungnya kembang kempis, dia mendelik mendapati Valentina enggan pulang lalu berbisik, "Kenapa enggak pulang?"

"Mana bisa aku pulang kalau ada code blue?"

Tak sempat menimpali ucapan Valentina, Raditya kembali memerintah untuk mundur dan melakukan kejut listrik yang kedua kali dengan kekuatan listrik yang lebih besar. Sayangnya, sampai menit kelima gelombang jantung itu masih saja bergetar cepat sehingga perlu diberi pijat jantung lagi.

"Siapin epinefrin satu miligram," pinta Raditya mengamati monitor. Tak berapa lama, perawat yang berada di sisi kiri sang residen memasukkan obat itu melalui selang infus yang dilanjut pijat jantung lagi. 

"Kalau misalnya masih enggak berhenti, kasih amiodarone aja, Dit!" usul Julia. 

Raditya mengangguk sementara dia melakukan kejut listrik.  Monitor menunjukan irama jantung yang mulai beraturan.  Semua bernapas lega kala melihat pasien itu berhasil melewati masa kritis untuk kali kedua. Dokter bertubuh bongsor itu memerintahkan perawat untuk melakukan terapi hipotermia dengan memberikan terapi infus dingin dan menyelimuti tubuh pasien dengan selimut dingin. 

"Kamu coba konsul ke dokter jantung,  Dit,  sepertinya pasien butuh kateterisasi jantung," usul Julia lalu melihat hasil rekam jantung di rekam medis. "Apalagi ada angina nstemi ini."

"Aku tahu." Raditya bertemu pandang dengan Valentina yang melongo. "Heh! Kenapa bengong begitu! Keluar saja kalau enggak bisa bantu perawatnya!"

Seperti mendapat kejut listrik ratusan joule,  Valentina tergagap dan langsung pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata. 

###

"Di mana?" tanya Raditya melalui sambungan telepon genggam di salah satu service motor dan mobil untuk mengecat si putih. 

"Siapa?"

"Ya kamu,  Kampret!" rutuk Raditya kesal. "Udah di rumah?"

"Belum. Aku lagi belanja di supermarket."

"Di mana emang?" Raditya melirik jam Rolex silver di tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. 

"Margorejo."

"Ya udah,  tungguin di sana!" Lelaki itu memutus sambungan telepon sebelum Valentina menimpalinya.  Beruntung lokasi service motor dan mobil tak jauh dari supermarket yang dimaksud Valentina, lagipula saat berangkat tadi dia menitipkan sepeda motor milik istrinya yang benar-benar tidak enak dipakai. 

Entah kenapa semua perempuan rasanya tidak pernah peka dengan mesin motor. Mereka hanya bisa memakai kendaraan roda dua itu tanpa tahu kalau mesinnya perlu dirawat. Bahkan Raditya gemas sendiri dengan kondisi motor Valentina yang sudah kotor nan berdebu. Jiwanya bergejolak dan tangannya gatal ingin memandikan motor matic itu tapi ditahan karena perlu mengomeli si pemiliknya yang malas. 

Dengan langkah kaki panjangnya,  Raditya kembali menelepon seraya menyusuri supermarket.  Lalu,  matanya menangkap sosok Valentina melambaikan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang troli tengah berdiri di depan barisan rak berisi kotak susu. 

"Duit!" pinta Valentina saat suaminya sudah datang. "Sayur,daging, deterjen, sabun mandi, sampo, odol habis!"

Laki-laki berkacamata itu mengamati belanjaan Valentina yang sudah diletakkan ke dalam troli. "Kenapa ada sabun muka cewek,  body lotion,  parfum,  sama pembalut? Itu kan barang pribadimu bukan--"

"Dit." Nada bicara Valentina berubah lembut. "Aku bokek, kamu kan banyak duit. Beliin ya, please...  kewajiban suami." Dia memelankan kata terakhir sambil mengedarkan pandangan.  "Tahu sendiri aku sering nge-print buat tugas kelompok sama urunan buat penyuluhan juga."

"Udah tahu enggak punya duit kenapa belanja banyak,  Tina," omel Raditya sambil mengambil satu kotak susu rasa cokelat. 

"Jangan cokelat dong,  stroberi sama full cream," tunjuk Valentina yang dibalas sorot tajam suaminya.  "Oke,  aku diam."

Raditya merebut troli itu melihat-lihat harga-harga kebutuhan yang kebetulan sedang diskon.  Walau dia lelaki,  sejak kecil Raditya sudah terbiasa dan paling suka diajak belanja sampai hafal harga terbaru barang-barang pokok dibandingkan Valentina.  Selama menikah,  kebanyakan Raditya yang membelanjakan kebutuhan mereka karena tahu Valentina tipikal perempuan boros.  Dia sudah mendapat titah dari mertua untuk mengajari Valentina hidup hemat dan membeli apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan. 

"Dit," panggil Valentina.  "Tadi yang pasien tadi,  kenapa kamu ngasih terapi hipotermia?"

"Kenapa enggak nyari di internet?" balas Raditya mengambil beberapa bungkus mi instan. 

"Ck, kuotaku habis. Nanti beliin ya," pinta Valentina sambil mengedip-edipkan mata bulatnya.

"Astaga,  perasaan dua minggu lalu aku beliin kamu kuota internet.  Sekarang habis?" Raditya hampir menjerit ingin memberondong sederet sumpah serapah kepada istri borosnya jikalau bukan di supermarket.  "Udah dibilangin jangan boros,  Tina. Buat apa aja itu kuota 52 giga?"

"Nonton drakor," jawab Valentina sambil tersenyum tanpa rasa bersalah. "Mahasiswa juga butuh hiburan, emang kamu enggak?"

Tak menanggapi alasan Valentina, Raditya memilih pergi menuju kasir untuk mengakhiri belanja sebelum troli semakin penuh.  Kepalanya mendadak pening menghitung pengeluaran tak terduga bulan ini. Sepertinya Raditya harus sedikit berhemat sampai akhir bulan yang masih sepuluh hari lagi sebelum mendapat penghasilan dari menaruh investasi di salah satu teman kuliahnya. 

"Oh iya,  kamu ke sini naik apa?" tanya Valentina membantu mengeluarkan belanjaan dari troli ke meja kasir. 

"Motormu."

"Hah!" Seketika Valentina memindai tubuh tinggi besar Raditya lantas membayangkan saat lelaki itu menaiki motor matic berukuran mini. Bukankah dia mirip hulk yang naik sepeda anak-anak?

"Apa?  Mau ngomel?" sindir Raditya menenteng barang belanjaan mereka.  "Masih untung motormu kubawa ke bengkel. Oli dan kampas rem habis,  starter otomatis enggak bisa, spion juga letoy. Kalau ada apa-apa di jalan gimana?  Yang disalahin nanti aku,  Tina."

Langkah kaki yang dibalut celana jeans itu terhenti. Kepala Raditya menoleh ke belakang mendapati istri laknatnya berdiri agak jauh sambil melongo. 

"Heh!" hardik Raditya merasa diabaikan.

"Kamu masuk angin bisa perhatian gitu, Dit?" tanya Valentina membuat Raditya salah tingkah. 


Close fraktur costa 3-5 sinistra : patah tulang tertutup iga kiri ke-3 sampai ke-5.

Close fraktur 1/3 humerus sinistra : patah tulang 1/3 lengan atas kiri.

Somnolen : penurunan kesadaran pasien kondisi mengantuk tapi masih bisa dibangunkan dengan guncangan.

Iskemik : penyumbatan pembuluh darah di jantung. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro